Judul buku : Di Balik Dinding Penampungan (Kisah Nyata Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri),
Penulis : Woro Januarti
Penerbit : Obor Indonesia,
Tebal Hlmn : 188 hlm
ISBN : 978-623-6421
“Mas I, semoga engkau tidak tersinggung. Jika aku susuri korban-korban lelaki sebenarnya masih banyak sekali. Disadari atau tidak, entah apa yang mengilhami para lelaki merasa lebih superior dibandingkan perempuan. Walaupun logika “laki-laki pasti menjadi imam.” Tetapi dalam penafsirannya, dalam penceritaan, Sang Nabi begitu baik terhadap para istrinya. Bagaimana beliau ikut membersihkan rumah, memperbaiki tambalan pakaian dan sepatunya sendiri (hlm.112).
Tulisan ini menceritakan sekelumit perjuangan para tenaga kerja wanita (TKW). Kalau kita lihat berbagai perjuangan tetangga, bahkan saudara kita dalam mencari pekerjaan ke luar negeri, novel ini menyingkap ketakutan, kekhawatiran di balik usaha menjemput kesuksesan yang menjadi tujuan para TKW.
Undang-undang nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomo 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia berkenaan dengan perlindungan para TKW, nyatanya tidak berjalan dengan baik. Ada banyak kekerasan, penindasan yang terjadi para TKW, khususnya di tempat penampungan. Tulisan ini seperti sebuah oase di tengah gurun pasir. Menyingkap segala bentuk kekerasan yang dialami oleh para TKW dan bisa menjadi bagian dari referensi kehidupan dalam memperjuangkan kelompok-kelompok pinggiran.
Bagi saya, pengalaman membaca novel ini adalah sebuah pelajaran yang sangat penting untuk memahami perempuan. Sebab selama ini, kelompok TKW luput menjadi pembahasan karena berbagai kondisi dan latar belakang berbeda, atau karena alasan akses publik kepada para TKW yang cukup jauh.
Novel ini dibuka dengan alur kisah dengan tokoh “aku” yang sedang beribadah ke tempat suci “Mekkah” yang menerima pinangan seorang laki-laki yang disebut “Mas I”. Dalam ceritanya, pinangan tersebut secara sukarela diterima oleh keluarga besar si perempuan lantaran sikap baik dan sopan yang ditampilkan oleh laki-laki “Mas I”. Setelah lamaran tersebut diterima, nyatanya “Mas I” tanpa kabar dan tanpa tujuan serta hilang seperti di telan bumi.
Patah hati yang dialami oleh tokoh “Aku” berlarut-larut. Sepanjang cerita perjalanan hidupnya, ia selalu bercerita dalam buku diarinya, termasuk perjalanan hidupnya ketika bercerita tentang pengalamannya menelusuri kehidupan para TKW di penampungan, di mana para TKI belajar dan mempersiapkan diri sebelum berangkat ke negeri di mana mereka akan bekerja.
Strata Sosial yang Kuat dan Pelanggengan Kekerasan
Malam itu penampungan riuh membicarakan keberanianku melawan Bachtiar. Aku bertanya kepada mbak Nur, mengapa para calon TKI tidak melawan saat Bachtiar membalikkan ember hingga airnya tumpah ke mana-mana? Dengan suara lirih mbak nur menjawab, “Kami cuman orang kecil dan bodoh, apa yang bisa kami buat? Ke luar negeri pun Cuma jadi babu. Wajar jika dikejemi.” (hlm.123)
Percakapan tersebut terjadi ketika Bactiar, salah satu karyawan dalam penampungan tersebut yang marah-marah dan mencoba melempar ember. Berbeda sikap yang ditampilkan oleh tokoh “aku” ketika dimarahi oleh Bachtiar, ia justru melawan. Peristiwa tersebut belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan semua orang di tempat penampungan tersebut cukup kaget dengan respon yang ditampilkan oleh tokoh “Aku”.
Perlawanan yang dilakukan bisa jadi karena strata pendidikan yang dimiliki oleh sosok perempuan tersebut. Ia adalah lulusan S1, pernah menjadi surveyor di tempat penampungan itu, dan berasal dari keluarga menengah ke atas. Tujuannya bekerja di luar negeri hanya untuk membuang patah hatinya kepada “Mas I”.
Satu hal yang unik dalam tulisan ini adalah percakapan tunggal oleh tokoh “aku” yang menuliskan surat-surat kepada “Mas I” untuk setiap pengalaman hidupnya. Melalui tulisan ini, setidaknya penulis mencoba mengulik secara mendalam kehidupan TKW di penampungan yang dipenuhi dengan berbagai kekerasan dan stigma sosial.
Salah satu persoalannya adalah persoalan rambut perempuan. di penampungan, rambut para TKW dicukur seperti laki-laki. Padahal dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, rambut adalah mahkota perempuan. Menerapkan aturan potong rambut pendek kepada TKW sama saja seperti memperlakukan perempuan dengan sangat rendah. Perlakuan kasar yang diterima oleh para TKW, di mana mereka adalah lulusan SD, SMP ataupun SMA, bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan, seperti sistem yang mengakar dalam lingkungan kerja yang ada di tempat penampungan. Para TKW ini sama sekali tidak pernah membantah ataupun menolak perintah.
Kata kasar, umpatan bahkan caci maki diterima oleh para TKW dengan sangat logowo. Disinilah kita memahami adanya kekerasan yang sudah menjadi sistem dikarenakan relasi kuasa yang mengakar dalam diri masing-masing individu yang bekerja di tempat penampungan. Merasa superior dan merasa ada di kasta tinggi dibandingkan dengan para TKW membuat mereka berkehendak melakukan apa saja.
Perjalanan itulah yang membuatnya mengetahui betapa kejamnya kehidupan di penampungan bagi perempuan. Novel ini mencoba menyingkap segala bentuk kekerasan, ketidakadilan yang dialami oleh para perempuan TKW karena latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah.