HomeFilmMelihat Kerentanan Perempuan dalam Film Cross The Line

Melihat Kerentanan Perempuan dalam Film Cross The Line

Siapa yang sudah menonton film Cross the line? Film yang Shenina Chinamon bintangi sebagai Maya, dan Chicco Kurniawan sebagai Haris ini adalah film yang mengisahkan sepasang kekasih yang hendak mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Namun harapan itu pupus begitu saja, ketika mereka malah mendarat dan bekerja di kapal. Alih-alih mendapatkan kemakmuran dengan bekerja di negeri orang, mereka malah justru menjadi budak di negeri sendiri. Haris bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal), adapun Maya sebagai cleaning servis dan pelayan restoran dengan gaji yang tentu kurang layak.

Lalu, kenapa Haris dan Maya bukannya bekerja di luar negeri (Singapura) justru malah bekerja di Kapal? Awal mula adegan film ini menampilkan sepasang kekasih dan para pekerja lainnya yang berada di pelabuhan hendak menaiki kapal dengan tujuan negeri seberang. Dengan dalih transit, pada akhirnya justru mereka bekerja di kapal. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak mendapatkan migrasi aman, yaitu prosedur migrasi yang aman bagi pekerja migran untuk mereduksi kerentanan, serta memperkuat akses perlindungan dan hak pekerja migran. Adapun konsep ini sebenarnya sudah disepakati dalam konvensi PBB No. 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Theirs Families).

Indonesia sendiri sebenarnya sudah menjadi negara ke 46 yang telah meratifikasi Konvensi Migran 1990. Yang selanjutnya Ratifikasi tersebut diundangkan menjadi undang-undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Theirs Families (Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya), yang ditandatangani oleh Presiden pada 12 Mei 2012.

Awal Mula Kerentanan Perempuan

Maya merasa begitu kecewa ketika janji Haris untuk membawanya bekerja di Singapura tak kunjung digenapi. Namun Haris juga tak bisa berbuat apa-apa karena ia juga merasa dirugikan oleh agen pekerja. Masalah menjadi semakin pelik ketika adiknya Maya mengabari bahwa Ibu mereka tengah sakit parah dan membutuhkan biaya lebih untuk pengobatan.

Keikutsertaan Maya sebagai seorang pekerja perempuan adalah realitas bahwa meskipun perempuan sudah mulai dilibatkan dalam ruang publik namun peluang perempuan untuk berpartisipasi di ranah kerja sama sekali tidak memberikan kebebasan bagi perempuan. Mereka diterima sebagai pekerja, namun tetap saja di tempatkan di wilayah-wilayah yang mempresentasikan aktivitas domestik.

Adegan berlanjut di mana para pekerja sedang mengantri untuk mendapatkan upah. Ketika giliran Maya, ia malah hanya mendapatkan sedikit sebab dilakukan pemotongan upah dengan dalih menutup hutang Maya yang berlimpah. Haris berinisiatif untuk membantu pengobatan Ibunya Maya dengan memberikan sebagian upahnya, tapi Maya menolak sebab ia tahu kalau Haris juga perlu untuk biaya sekolah adiknya.

Jeratan hutang juga merupakan salah satu bentuk kerentanan yang dialami perempuan pekerja migran. Sumber daya yang dibutuhkan dan seharusnya menjadi hak sebagai pekerja baik berupa materil dan imateril dirampas. Kondisi structural yang terjadi ini adalah akibat ketimpangan relasi kuasa antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh sehingga akan menyulitkan perempuan pekerja migran keluar dari jeratan hutang.

Dalam film tersebut, juga ada seorang Mucikari yang beroperasi di Café yang berada di kapal. Melihat kemurungan Maya, Sang Mucikari mencoba menawarinya untuk bekerja sebagai pekerja seks. Sebab baginya, bekerja sebagai cleaning servis dan pelayan restoran biasa tidak akan membuat Maya menjadi kaya. Meski awal mula Maya menolak, namun himpitan ekonomi dan kondisi keluarganya membuat hatinya goyah. Maya akhirnya menerima tawaran sang Mucikari meski dengan terpaksa.

Melihat kisah Maya dalam hal ini, diskriminasi dan kasus kekerasan yang dialami para pekerja perempuan menjadi fenomena yang harus benar-benar ditangani. Pekerja migran perempuan juga menjadi rentan korban pelanggaran perlindungan hukum karena tidak memiliki bargaining position atau sebagai pencari kerja, sehingga potensi terhadap tindakan eksploitatif  rentan dilakukan oleh berbagai pihak.

Banyak perempuan yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri meski dengan kemampuan dan keahlian yang minim dan akhirnya hanya bisa ditempatkan sebagai pekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga, bahkan melalui proses migrasi yang tidak aman. Sehingga penting sekali memberikan perlindungan hukum kepada pekerja migran perempuan dengan jaminan perlindungan keamanan terhadap semua bentuk kekerasan fisik atau psikologi. Agar menghindari kesewenang-wenangan tindakan individu atau kelompok atau negara.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments