“Kasih sayang Tuhan itu nyata, wujudnya tidak hanya diberikan kepada lawan jenis. Namun, ke semua manusia yang hidup di bumi”
Kalimat di atas merupakan kalimat yang saya simpulkan ketika bertemu dengan para suster. Dalam agama Katolik, biarawati atau suster, panggilan akrabnya jika di Indonesia. Biarawati biasanya tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius. Mereka tidak boleh menikah ataupun berhubungan seksual. Sebab mereka sudah berkhidmat untuk memberikan pelayanan kepada umat melalui berbagai jenis pelayanan, seperti Kesehatan, pendidikan ataupun agama.
Perjumpaan dengan suster menjadi cerita yang menarik untuk saya tulis. Bertemu mereka, menyimpan memori perjalanan menjadi perempuan. Sengaja saya sematkan kata ‘menjadi’perempuan. Sebab, terkadang saya iri kepada laki-laki yang memiliki privilege untuk memilih hidup seperti apapun. Terlahir perempuan harus berupaya membuktikan terlebih dahulu agar bisa diberi pilihan untuk menjalankan kehidupan. Harus menunjukkan prestasi terlebih dahulu untuk diberikan kebebasan untuk berpendidikan, ataupun dengan usaha yang lain.
Maka dari itu, kata ‘menjadi’ adalah sebuah proses panjang yang harus ditempuh seorang perempuan dalam kehidupannya. Agar juga memiliki kesempatan seperti makhluk yang lain. Memilih karir, pendidikan, atau perjalanan hidup yang dirasa baik untuk dirinya. Tapi, mari lupakan perdebatan tentang budaya yang membelenggu perempuan itu. Saya akan kembali pada pertemuan dengan suster.
Pertama, saya bertemu dengan suster yang kemudian dipanggil suster Grace. Perempuan ini sangat ramah sekali dan lembut. Pertemuan pertama kami mengantarkan saya pada beberapa percakapan yang cukup intens. Saya masih ingat pertama kali berkenalan dengan para biarawati di Jogja.
“Suster, pernah gak sih merasa kalau suster ingin hidup seperti perempuan lain? Seperti menikah, menyalurkan kasih sayang kepada lawan jenis, atau lainnya,” tanya saya dengan penasaran.
Tapi saya merasa bahwa pertanyaan di atas cukup sensitif. Makanya, sebelum suster Grace menjawab, saya izin apabila tidak ingin menjawab tidak perlu di jawab. Tapi suster Grace membuat saya merefleksikan arti perempuan.
“Saya pernah berada di fase itu, dan sampai sekarangpun masih. Banyak teman-teman saya yang memilih keluar menjadi suster. Mereka kemudian berkarir, menikah dan hidup selayaknya perempuan lain. Tapi, saya sudah berjanji untuk menjadi pelayan. Ada banyak hal yang saya korbankan, termasuk tentang ego. Di asrama permasalahan selayaknya manusia biasa ya tetap. Tapi kita mencoba untuk terus belajar supaya ego kita tidak tinggi. Ini proses belajar,” ucap suster Grace.
Obrolan dengan suster Grace membuat saya sadar bahwa, nyatanya setiap manusia memiliki kemampuan untuk marah, iri, dengki, ingin dianggap lebih baik, ataupun sifat buruk lain. Dari sinilah ego berperan dalam diri. Tugas kita adalah, bagaimana sifat buruk ini supaya tidak menghancurkan sifat kemanusiaan dalam diri. Bahwa dalam dunia suster ada masalah tentang saling iri, dengki, ataupun marah karena sikap yang satu dengan lainnya merupakan sebuah kewajaran.
Disinilah letak kemanusiaan yang ada dalam diri untuk senantiasa ingat bahwa, kita adalah manusia, bukan Tuhan yang Maha Suci. Suster Grace banyak menjelaskan pilihannya ketika menjadi suster. Di tentang oleh orang tuanya dan keluarga besar. Sebab ia akan tinggal jauh. Pindah dari satu pulau ke pulau lain untuk memberikan melayani umat. Namun, pilihan itu adalah jalan hidup yang ditempuh. Seperti apapun jalan yang ia lalui, itu adalah pilihan hidupnya.
Kedua, pertemuan dengan suster Mariati dan Cecilia. Kedua adalah sosok perempuan yang saya kagumi dari kiprah pergerakan sosial yang dilakukan. suster Mariati bisa ditemui di Syantikara Yogyakarta. Jika bertemu dengan sosoknya, kita akan mendapati sosok yang tegas dan penuh bijaksana. Orangnya yang ramah dan penuh dengan wibawa. Barangkali karena pengalamannya melayani semua orang dengan berbagai latar belakang, membuatnya selalu tampil dalam sosok yang meneduhkan.
Bersama dengan suster Cecilia, kita bisa menemuinya di belakang RS Panti Rapih Yogyakarta. Saya bertemu dengan mengobrol banyak hal. Termasuk soal bagaimana menginisiasi kegiatan tentang pemberdayaan lingkungan, terutama untuk anak muda. Baginya, upaya untuk merawat bumi dan lingkungan adalah upaya wajib yang harus terus dilakukan.
Kami mengobrol banyak dimulai dari kebun sayur, hingga kebun bunga yang sedang dikelolanya. Bagi saya, pertemuan dengan suster ini adalah bagian dari perjalanan ‘menjadi’ perempuan yang sangat berkesan. Sebab saya tidak hanya belajar tentang keberagaman agama, melainkan tentang komitmen, pengabdian dan kebermanfaatan untuk sosial.