Menganal Satoko Kishimoto
Sebagai negara maju, Jepang memang dipandang penuh ketakjuban oleh banyak orang di luar negeri. Namun bagi seorang Satoko Kishimoto, Jepang masih memiliki banyak pekerjaan rumah terutama yang berkaitan dengan keadilan gender. Satoko Kishimoto, perempuan berusia 48 tahun itu memang bukan perempuan biasa.
Ia baru saja memecahkan rekor sebagai walikota perempuan pertama di wilayah Suginami, salah satu distrik di Tokyo. Dalam kampanyenya, ia menerapkan metode demokratis partisipatif, di mana ia banyak melakukan pendekatan personal kepada warga untuk berdialog dan berbagi gagasan. Metode tersebut sangatlah berbeda dengan strategi yang dilakukan oleh lawan politiknya, Tanaka.
Tanaka seperti kebanyak politisi Jepang lainnya menerapkan pendekatan top-down dalam kampanye. Sehingga, ia lebih banyak menawarkan gagasan dibandingkan mengakomodasi aspirasi masyarakat bawah. Hal baru yang diimplementasikan Satoko dalam berkampanye tersebut ternyata disambut sangat antusias oleh warga lokal Suginami.
Banyak warga, terutama kelompok perempuan mengelu-elukannya. Ia dianggap sebagai “wajah baru” politik Jepang dan diharapkan membawa lebih banyak perubahan. Usai kampanye yang sukses, akhirnya pada tanggal 20 Juni 2022 lalu, Satoko Kishimoto memenangkan pemilihan walikota Suginami dan ia telah mulai menjabat pada 11 Juli kemarin.
Melawan segala rintangan, Satoko Kishimoto menerima lebih dari 76.000 suara dan mengalahkan walikota periode sebelumnya dengan selisih 187 suara. Terpilihnya Satoko Kishimoto sebagai walikota perempuan pertama Kota Suginami, merupakan perkembangan penting di Jepang, di mana hingga sekarang jumlah perempuan sangatlah sedikit dalam dunia politik.
Problem Kesenjangan Gender di Jepang
Keterwakilan perempuan dalam politik Jepang memiliki akar masalah yang sangat kompleks. Salah satunya dikarenakan ruang publik yang aman di Jepang amatlah terbatas. Di lingkungan dunia kerja saja, tercatat satu dari tiga perempuan di Jepang merupakan korban pelecehan seksual.
Dan sekitar 63% korban tersebut lebih memilih tidak melaporkan kejadian buruk tersebut karena berbagai alasan. Termasuk, takut akan dianggap berlebihan yang bisa saja mengakibatkan pemecatan. Belum lagi ketika perempuan hamil, dalam beberapa kesempatan, perempuan hamil dalam lingkungan kerja di Jepang kerap mengalami diskriminasi.
Ia dikucilkan bahkan ketika anak yang lahir sudah bersekolah, ia masih saja kesulitan untuk kembali mendapatkan kesempatan bekerja. Budaya patriarki yang kental di masyarakat Jepang tersebut kemudian berefek domino dalam berbagai bidang, termasuk pada dunia politik. Dalam politik Jepang yang masih didominasi oleh laki-laki, perempuan yang mengutarakan pendapatnya acap kali dipandang remeh.
Mereka memang didengarkan, tapi esensi dari pendapatnya tidak direspon sama sekali. Menurut pengakuan politisi perempuan Jepang lainnya, Tomomi Higashi, ketika ia berbicara, kolega politiknya dengan sembrono melakukan pelecehan fisik secara sengaja. Bahkan terkadang, mereka menyela sambil melancarkan bahan candaan seksual sembari tertawa-tawa.
Tidak hanya itu, meskipun ia telah berupaya melakukan pekerjaannya seprofesional mungkin. Rekan-rekan dalam partai politiknya kerap kali tidak melihat itu. Mereka sering melihat dirinya sebagai objek seksual semata. Alih-alih diajak berdiskusi terkait kebijakan publik dan isu sosial politik, mereka lebih sering mengajaknya minum tengah malam. Hal yang menurut Tomomi amatlah tidak pantas.
Menyadari situasi pelik dalam dunia politik tersebut, saat memulai kampanye pemilihannya sebagai kandidat independen yang mewakili kelompok warga akar rumput dari Suginami, Satoko juga menggarisbawahi isu-isu pelecehan seksual dan bagaimana ia akan berusaha mewujudkan ruang publik yang lebih aman. Belakangan kampanye tersebut mendapat dukungan dari beberapa pihak.
Program-program kampanye yang diusung Satoko ternyata memenangkan hati warga. Ia menyadari tanpa bantuan warga setempat, yang menginginkan arah politik baru untuk lingkungan Suginami, ia tak akan berhasil memenangkan kampanye. Oleh karena itu, setelah periode kampanye selesai, Satoko Kishimoto berjanji untuk berinvestasi dalam peningkatan layanan publik. Bahkan, memperkenalkan administrasi kota yang lebih demokratis, partisipatif, dan transparan.
Harapannya, kasus-kasus pelecehan seksual yang banyak dialami oleh perempuan di Jepang semakin mengemuka ke publik. Dan hal tersebut membuat lebih banyak orang sadar bahwa pelecehan seksual bukanlah yang harus dinormalisasi, justru perlu diperangi. Selain itu, untuk meringkankan beban orangtua di wilayah pemilihannya, Satoko juga akan berupaya untuk mengegolkan kebijakan penyediaan makanan sekolah yang sehat dan gratis agar generasi penerus di Jepang, kesejahteraannya lebih terjamin.