Menyimak rangkaian acara dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (baca: KUPI), saya banyak melihat perempuan-perempuan hebat dengan latar belakangnya masing-masing. Berangkat dari kegelisahan tentang isu-isu yang sedang hangat namun, belum lama menyadarinya. Saya tidak hanya disuguhi oleh realistisitas tentang isu tersebut, tetapi juga bagaimana pandangan-pandangan para ulama terhadap isu dan kasus sampai penyelesaiannya, sebagaimana tujuan dari KUPI itu sendiri.
Banyak hal yang kadang tidak disadari banyak orang seperti isu lingkungan, keberadaan perempuan dan lain sebagainya. Di KUPI paling tidak kita disuguhi data faktual dan juga bagaimana data itu diolah serta dicari bagaimana penyelesaiannya. Kemudian, KUPI juga menghasilkan Fatwa-fatwa yang tentunya lahir dari ikhtiar para ulama dari berbagai daerah di Indonesia yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits (dengan metodologi KUPI) dengan melihat fakta realitas yang terjadi di masyarakat juga lingkungan.
Perhelatan KUPI ke dua ini dilaksanakan di UIN Walisongo dan juga di Jepara yakni di Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Di UIN Walisongo Semarang berisi International Conference (IC) yang dihadiri oleh para aktivis-aktivis yang bergerak di isu-isu perempuan dari Indonesia dan juga luar negeri dengan jumlah 31 negara.
Salah satu yang turut serta dalam acara tersebut adalah Kamala Chandrakirana. Ia merupakan aktivis dan advokat untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Ia juga merupakan anggota pendiri dan direksi Musawah, ketua dan Dewan Direksi “Ugrent Action Found for Wommen’s Human Right” Asia Pasific, Ketua dan dewan Dewan Direksi “Indoneia for Humanity”, sekaligus menjadi anggota pendiri dan dewan Pembina Rahima. Kemudian, ia juga termasuk salah satu dari penggerak KUPI dan turut serta dalam merumuskan fatwa KUPI.
Kamala Chandrakirana merupakan aktivis perempuan yang tidak lahir dari kalangan pesantren, karena ia adalah seorang sosilog yang sangat aktif di berbagai kegiatan kemanusiaan sebagaimana yang sudah disebutkan. Namun, ia aktif dalam pergerakan Islam dengan keterlibatannya dengan para santri melalui (P3M) Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.
Tergabungnya ia di sini sehingga mempertemukannya dengan aktivis pesantren yang concern pada hak reproduksi perempuan di dalam pesantren. Program ini menjadi cikal bakal berdirinya Rahima yang merupakan sebuah lembaga yang bergerak dengan isu utama penegak hak-hak perempuan dengan perspektif Islam. Ia juga menjadi pengurus Fahmina yang berbasis pesantren. Kemudian, ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri dari Musawah salah satu LSM di Kuala Lumpur dengan gerakan internasional dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim.
Dikutip dari kupipedia.id Kamala Chandrakirana menjadi peneliti tentang desa di Nusa tenggara Timur untuk memahami institusi-institusi lokal pada era reformasi yakni tahun 1998. Pada saat itu, ia bertemu dengan LSM perempuan, dengan jaringan ini Kamala Chandrakirana mendampingi para korban kekerasan dan membangun gerakan bersama Saparinah Sadli bersama kawan-kawan lain dan bertemu dengan presiden Habibie. Berdasarkan pertemuan ini, maka lahirlah komnas perempuan dengan Saparinah sebagai ketua dan Kamala Chandrakirana sebagai sekjend.
Saat menjadi komnas perempuan, Kamala Chandrakirana menindaklanjuti Musawa dan mengumpulkan tokoh-tokoh perempuan yang berasal dari organisasi pesantren seperti Fatayat, Aisiyah dan juga LSM. Mereka mengnisiasi forum di Indonesia untuk memperjuangkan hal-hal yang sudah mereka tangkap dan terjadi di dunia global melalui Musawah. Maka untuk mengakomodasi hal tersebut dibentuklah Alimat atau gerakan pemikiran dan aksi masyarakat Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dengan perspektif Islam.
Dengan ini, Rahima, Fahmina dan Alimat menginisiasi forum pertemuan ulama perempuan dalam sebuah kongres agar jaringan mereka semakin kuat dan luas, maka terbentuklah KUPI 1 tahun 2017. Pada saat itu, KUPI melahirkan fatwa tentang kekerasan, perkawinan anak dan kerusakan lingkungan. Gerakan-gerakan Kamala Chandrakirana dalam membela dan memperjuangkan kemanusiaan sangatlah besar sebagaimana yang telah dipaparkan. Hal ini membuktikan bahwa perempuanpun mampu bergerak sebagaimana manusia seutuhnya. sampai pada perhelatan di KUPI II yang tidak lagi bicara masalah eksistensi tetapi membahas peran untuk berperadaban yang berkeadilan sebagaimana yang disampaikan ketua penyelenggara KUPI II Nyai Hj. Badriyah Fayumi.
Selain beliau tentunya banyak ulama-ulama yang bergerak di bidangnya masing-masing. Ulama di sini juga berisi kalangan anak muda yang tentunya aktif di isu-isu perempuan dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya masing-masing. Mulai dari dosen-dosen muda, santri, mahasiswa dan lain sebagainya. Tentunya mereka semua membawa aspirasi juga isu yang hendak dimusyawarahkan.
Dengan ini, paling tidak suara-suara perempuan di dengarkan dengan sangat antusias selain itu keresahan-keresahan dari beberapa perempuan setidaknya bisa diatasi sehingga ini menjadi wadah dan juga momentum dalam penyaluran aspirasi juga pelindung bagi perempuan. Selain disuguhkan dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan peserta dari kupi juga ada yang merupakan penyintas dan atau korban dari kekerasan tersebut.
Di luar sana, tentu masih ada pihak yang tidak sepaham dengan pemikiran KUPI, namun disisi lain, banyak pula yang terbantu sebagaimana tujuan kemanusiaan KUPI. Dengan adanya KUPI suara perempuan dapat tersalurkan dan mendapat respon baik dari berbagai pihak. Ini dapat dilihat dari proses musyawarah yang dihadiri oleh banyak kalangan dari penjuru Indonesia sampai manca negara. Dari sini, mereka menyuarakan berbagai problematika di daerah mulai dari perkawinan dini, kesehatan reproduksi, lingkungan dan lain sebagainya sampai pada rencana tindak lanjut yang bisa dilaksanakan di bidangnya.
Tokoh perempuan seperti Kamala Candrakirana dan ulama-ulama perempuan lain yang hadir di KUPI tentunya memberi tauladan juga rasa aman dan kedamaian untuk para perempuan. Dengan ini, perempuan memiliki banyak akses tentang problematikanya juga suara yang akan tersampaikan. Di sisi lain, perempuan juga memiliki tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya sebagaimana tugas manusia sebagai khalifah fi al ardh.
Wallahua’lambishshawab