Salah satu rangkaian kegiatan fellowship KBB 2022 CRCS UGM adalah mengunjungi masyarakat penghayat yang terletak di Onggosoro Giri Tengah, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pada hari Minggu, 18 Juli 2022 peserta fellowship KBB 2022 berkesempatan untuk bertemu secara langsung tokoh atau sesepuh dari penghayat Urip Sejati. Selain itu, peserta juga berkesempatan untuk mengunjungi rumah peribadatan atau sanggar penghayat Urip Sejati dan mengikuti salah satu ritual budaya keagamaan yang mereka lakukan.
Masyarakat penghayat sudah ada di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui perjuangan yang panjang, melalui putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 masyarakat penghayat berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. Sebelum putusan MK, penghayat Urip Sejati “dipaksa” untuk memilih salah satu agama dari 6 agama yang ada di Indonesia. Adapun untuk ritual penghayat tetap dilakukan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Diskriminasi atas Nama Agama
Pada tahun 1994 silam, terjadi gejolak di masyarakat Onggosoro Giri Tengah. Muncul anggapan masyarakat bahwa penganut Urip Sejati adalah kelompok sesat. Karena mereka memiliki KTP dengan agama tertentu, namun menjalankan ritual penghayat yang sama sekali bertentangan dengan peribadatan dalam agama yang tercantum di KTP.
Penghayat Urip Sejati mengaku terpaksa mencantumkan agama tertentu dalam KTP untuk mendapatkan hak pelayanan publik. Pencatatan sipil untuk perkawinan, hak untuk mengakses pendidikan dan mendapatkan layanan kesehatan hanya bisa mereka peroleh jika mereka menganut salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia.
Berdasarkan penuturan salah satu penganut penghayat Urip Sejati, sebenarnya mereka terbiasa hidup berdampingan dengan agama lain. Adapun konflik yang terjadi pada 1994 silam berawal dari provokasi salah satu warga di luar Onggosoro karena percakapan yang berujung kesalahpahaman. Di saat yang sama, muncul beberapa penganut agama radikal, yang terus menyatakan ritual penghayat Urip Sejati tidak sesuai dengan inti ajaran sebagaimana agama yang tercatat dalam KTP masing-masing.
Sanggar atau rumah peribadatan penghayat Urip Sejati dibakar, para penganut didiskriminasi dan diintimidasi. Sedangkan Mbah Kamijan, sesepuh penghayat Urip Sejati mendapatkan ancaman dan serangan fisik. Tidak lama setelah peristiwa pembakaran sanggar tersebut, beberapa provokator berhasil diamankan polisi. Namun para penghayat Urip Sejati diwakili oleh Mbah Kamijan memilih untuk melakukan restorative justice sehingga para provokator pada akhirnya bebas dan tidak menjalani hukuman penjara.
Mbah Kamijan menuturkan, keputusan untuk tidak melanjutkan kejadian tersebut ke ranah pidana karena mereka tidak ingin hubungannya dengan masyarakat menjadi berjarak. Penghayat Urip Sejati memilih untuk bersama-sama membangun kembali sanggar dengan tetap hidup berdampingan dengan agama lain tanpa dendam.
Putusan MK sebagai Ruang Aman Bagi Penghayat
22 tahun setelah peristiwa pembakaran sanggar tersebut, penghayat Urip Sejati baru bisa mencantumkan kepercayaannya pada kolom KTP dengan tetap mendapatkan hak pelayanan publik sebagaimana penganut agama lainnya. Saat ini, penghayat Urip Sejati leluasa untuk mengekspresikan keyakinannya tanpa ketakutan dan kekhawatiran karena dianggap sesat.Dalam menjalankan ritual perkawinan, penghayat Urip Sejati memiliki hak untuk melakukan sebagaimana tuntunan yang diyakininya. Di depan sesepuh penghayat, calon pengantin mengikuti beberapa ritual disaksikan oleh keluarga dan juga penghayat lainnya.
Setelah ritual selesai, sesepuh penghayat yaitu Mbah Kamijan menuliskan peristiwa tersebut ke dalam sebuah berita acara. Selanjutnya berita acara dibawa ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil guna mencatatkan perkawinannya. Mereka juga mendapatkan buku catatan perkawinan dan perkawinannya sah di depan hukum.Begitupula dengan hak untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Mereka bisa masuk ke daftar penerima program bantuan dinas sosial, bisa mendapatkan Kartu Indonesia Sehat, dan beasiswa pendidikan. Nyaris tidak ada bedanya dengan para penganut agama lainnya.
Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 adalah titik balik dari penderitaan dan perjuangan masyarakat penghayat untuk mempertahankan keyakinannya. Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pembuka pancasila dibuktikan dengan keterbukaan pemerintah terhadap penghayat kepercayaan. Negara memberikan akses kepada masyarakat penghayat secara umum untuk menjalankan peribadatan sebagaimana kepercayaan yang diyakini, tanpa harus berpura-pura memeluk agama tertentu demi memenuhi kolom agama di KTP.
Penghayat Urip Sejati Hidup Berdampingan dengan Muslim
Penghayat Urip Sejati menjalin hubungan baik dengan seluruh pemeluk agama pada umumnya, utamanya dengan muslim. Hal ini karena masyarakat di Onggosoro mayoritas beragama muslim. Meskipun memiliki bentuk peribadatan dan keyakinan yang berbeda, namun perbedaan tersebut berjalan secara harmonis. Terlebih dalam hubungan sosial yang mereka jalin.
Masyarakat penghayat sering diundang muslim untuk acara keagamaan muslim seperti selametan, kenduri, dan acara lainnya. Begitupula dengan muslim, juga sering terlibat dengan acara keagamaan penghayat Urip Sejati. Saat tiba waktu pembacaan doa, pimpinan majlis menyatakan doa dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Jika dilakukan di rumah penghayat, biasanya muslim melantunkan doa setelah penghayat menyelesaikan ritualnya. Karena ritual kirim doa yang dipanjatkan masyarakat penghayat memiliki runtutan dan cara khusus.
Begitupula saat kunjungan fellowship KBB 2022 yang terdiri dari berbagai agama. Saat melakukan “ingkungan” atau biasa kita kenal dengan potong tumpeng, Mbah Kamijan membuka dengan doa keselamatan penghayat Urip Sejati. Setelah sampai pada bagian tertentu, Mbah Kamijan mempersilahkan semua peserta untuk berdoa sesuai agama dan keyakinannya masing-masing menggunakan diksi mengheningkan cipta. Adapun mbah Kamijan dengan penghayat lainnya melanjutkan doa dengan mengangkat kedua tangan di atas kepala dengan telapak tangan yang saling bertemu dan melanjutkan membaca mantra keselamatan .
Sanggar peribadatan masyarakat penghayat memiliki satu lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak. Meskipun berada bersebelahan dengan sanggar, namun murid di TK tersebut terdiri dari multi agama. Tidak ada doktrin agama dan keyakinan tertentu di TK tersebut. Kurikulum yang ditetapkan murni menggunakan kurikulum pemerintah yang mengedepankan toleransi, menjunjung Ketuhanan Yang maha Esa, dan Ke-Bhinekaan.
Potret kerukunan beragama di Onggosoro mengingatkan kepada kita semua bahwa diatas segalanya, kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Tak ada satupun agama yang membolehkan kekerasan dalam dakwah. Karena inti agama adalah bagaimana kita berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dimanapun kita berada.