Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeFilmFilm Semes7a: Sebuah Refleksi Merawat Indonesia

Film Semes7a: Sebuah Refleksi Merawat Indonesia

 Salah satu hal yang menarik film ini yakni menceritakan tentang merawat alam dan bumi melalui sisi positif dan semangat para kelompok agama di pelbagai daerah untuk menghidupkan nafas perjuangannya. Selama ini, film documenter tentang perubahan iklim, merawat alam, biasanya menampilkan kerusakan lingkungan. Namun, film ini justru sebaliknya, yakni menggali aktifitas kelompok masyarakat yang memiliki semangat perjuangan merawat alam di Indonesia. bahkan, mereka melakukan dengan keunikan masing-masing.

Film ini menceritakan 7 kelompok masyarakat di 7 provinsi, yakni: Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta. Dari masing-masing daerah itu, film ini menampilkan sisi emosional penonton dengan kisah nyata yang dilakukan oleh para tokoh di dalamnya. Pertama, Bali. Tokoh penting yang tampil dalan scene ini yakni Tjokorda Raka Kerthysa, seorang tokoh budaya di Ubud, Bali.

Dalam penjelasannya, ia memaknai momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Sebab dalam praktiknya, perayaan Hari Nyepi merupakan salah satu praktik menjaga alam. Masyarakat pada waktu itu, tidak melakukan aktifitas seperti biasanya. Kegiatan sehari-hari seperti menghidupkan listrik, berkendara, berhenti di momentum itu. Kegiatan ini dipahami sebagai jeda masyarakat Hindu untuk istirahat dan kembali kepada diri yang sejati yakni menyatu dengan Tuhannya.

Kedua, di Kalimantan Barat, tokoh yang ada di dalamnya yakni Agustinus Pius Inam selaki Kepala Dusun Sungai Utik. Ia menjadi motor penggerak untuk memberikan edukasi kepada masyarakat desa untuk melindungi dan melestarikan hutan. Dalam konteks ini, peran tokoh agama yang menjadi influncers di masyarakat desa sangat penting untuk memberikan edukasi menjaga alam kepada masyarakat. Sebab ia adalah orang yang cukup berpengaruh di daerah tersebut.

Ketiga, Nusa Tenggara Timur dengan tokoh Romo Marselus Hasan. Ia merupakan seorang pemimpin Agama Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dalam setiap perjumpaan dengan para jemaahnya, pesan yang selalu disampaikan yakni menjaga pelestarian alam, terutama sumber mata air. Keempat Papua. Cerita dari seornag perempuan yang bernama Almina Kacili.

Dalam praktiknya, ia membantu menyeibangkan alam melalui “Sasi”, sebuah tradisi kearifan lokalyang menjada keberlangsungan sumber daya alam dengan melindungi wilayah tersebut dari eksploitasi, terutama oleh nelayan-nelayan yang menggunaka

peralatan illegal. Dari cerita ini pula, peran Almina Kacili sebagai perempuan, justru merupakan kesadaran bagi dirinya bahwa, untuk memberikan kontribusi terhadap alam, perempuan memiliki peran yang cukup sentral dalam merawat alam.

Kelima, Aceh. Kisah yang ditampilkan yakni Muhammad Yusuf yang merupakan imam di Desa Pameu, Aceh. Dalam praktik penebangan hutan secara liar di lingkungan masyarat, ia selalu melakukan peringatan kepada masyarakat bahwa, faktor utama mempercepat terjadinya pemanasan global dengan aktifitas tersebut. Sehingga hal itu juga berdampak terhadai rusaknya habubat alami gajah liar.

Keenam, Yogyakarta. Ada sosok yang bernama Iskandar Waworuntu yang memutuskan hijrah dari kehidupannya di masa silam dan mencoba untuk hidup dari sebidang tanah kering di daerah Imogiri, Yogayakarta, kemudian diberi nama Bumi Langit. Dalam melakukan pelestarian alam, Iskandar melakukan banyak upaya untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat. Pelbagai pelatihan diberikan untuk merawat alam. Tidak sedikit, orang-orang yang datang ke Bumi Langit untuk belajar tentang pelestarian lingkungan.

Masyarakat sekitar juga dilibatkan dalam proses tersebut. Sehingga yang terjadi justru, kesadaran kolektif untuk terus merawat alam dan menjaga bumi. Ketujuh, Jakarta. Cerita diakhir dengan riuhnya kehidupan Ibu Kota yang dikenal sebagai daerah yang panas, gersang, dan tingkat polusi udara yang tinggi. Namun, Soraya Cassandra, petani kota pendiri kebun Kumara, Jakarta justru menjawabnya dengan berbeda. ia justru melakukan perubahan denagn mengelola sebuah kebun di pinggiran kota, yang kemudian diberi nama Kebun Kumara.

Sandra melakukan kampanye prinsip-prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali. Pada praktiknya, bagi masyarakat kota Jakarta, tempat ini menjadi salah satu tempat belajar istimewa untuk mengenal lingkungan. Dengan sikap dan kegiatan hedon yang dilakukan oleh masyarakat Jakarta. Ruang untuk berkebun, merawat alam, sangat jarang untuk dikenali. Hal itu justru menjadi sebuah gebrakan baru yang dilakukan oleh Sandra, untuk merawat lingkungan bisa dimulai dari hal kecil.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments