Ada yang menarik dari perhelatan Kupi 2 yang diselenggarakan di Jepara November lalu. Saat Prof. Kamaruddin Amin bertindak sebagai narasumber dalam Halaqoh Umum di hari kedua, Beliau menyajikan data fantastis terkait meningkatnya kasus cerai gugat (pihak istri yang mengajukan gugatan) di Pengadilan. Data itu kemudian ditutup dengan pernyataan “Dengan demikian, setiap tahunnnya kita memproduksi empat ratus ribu janda”.
Saya faham, sebenarnya pernyataan beliau tersebut tidak dimakudkan untuk memberikan konotasi negatif terhadap janda. Mungkin hanya dimaksudkan untuk menarik atensi para hadirin saja. Namun tetap, diksi tersebut agak kurang nyaman untuk didengarkan, apalagi bagi para hadirin yang telah memiliki perspektif gender yang sangat kuat. Setidaknya itu yang saya rasakan walaupun saya bukan seorang janda.
Hal ini pun terbukti karena tidak hanya saya saja yang merasakan hal tersebut. Beberapa dari audience bahkan maju untuk mengkritik pernyataan beliau tersebut dalam sesi dialog tanya jawab. Mereka menyampaikan bahwa tidak nyaman mendengarnya karena pernyataan tersebut terlihat seperti menyalahkan janda karena memilih untuk bercerai.
Padahal, pilihan untuk berpisah dan melepaskan diri dari lembaga pernikahan bukanlah pilihan yang mudah. Terkadang itu adalah satu-satunya pilihan yang bisa mereka ambil untuk keluar dari kondisi yan penuh kemudaratan. Prof. Kamaruddin pun langsung meminta maaf dari lubuk hatinya yang terdalam. Beliau mengatakan ini akan dijadikannya pembelajaran agar ke depannya lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan.
Dalam setiap kesalahan pasti selalu terselip kebaikan dan hikmah di dalamnya. Ada baiknya juga narasumber “salah ngomong”. Karena isu janda menjadi terangkat dan kemudian didiskusikan. Tidak dapat dipungkiri, janda masih memiliki konotasi yang negatif dalam masyarakat kita. Bercerai atau memilih lajang masih dianggap suatu kesalahan. Sayangnya yang menanggung “kesalahan” itu adalah perempuan. Itu realitasnya.
Beban Ganda Seorang Janda
Dalam sebuah pernikahan dengan segala dinamikanya, suatu hal yang wajar jika suami istri akhirnya berpisah. Baik itu karena ditinggal mati pasangan, maupun karena bercerai. Akibat dari perpisaan tersebut suami dan istri menyandang status baru. Suami menjadi duda, dan istri menjadi janda.
Sama-sama berstatus duda dan janda, namun anehnya perlakukan yang diterima dari masyarakat berbeda. Seorang janda, mulai dari proses perceraiannya, sampai ketika dia memutuskan untuk menikah lagi ataupun tidak menikah lagi selalu akan menjadi pergunjingan di masyarakat. Seakan-akan keputusan mereka selalu salah.
Berbeda dengan duda. Menurut saya, pandangan masyarakat kepadanya justru lebih positif dan terkesan kasihan. Kasihan karena jadi tidak ada yang mengurus, menjadi tidak tersalurkan hasrat seksualnya dan lain sebagainya. Maka dari itu jika duda tidak menikah lagi malah justru aneh dilihatnya.
Salah seorang teman saya yang bercerai karena diselingkuhi suaminya menceritakan betapa berat beban yang dia tanggung. Bahkan itu sudah terjadi sejak persidangan di Pengadilan. Ketika mediasi di Pengadilan, Hakim yang bertugas bahkan belum memiliki perspektif gender yang baik. Ini terlihat ketika hakim justru menyalahkannya atas perselingkuhan yang dilakukan suaminya. “laki-laki itu memang kodratnya ingin diperhatikan bu, dipenuhi hasrat seksualnya. Jika ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan wajar jika suami mencari yang lain yang lebih dapat memperhatikan dia”
Hal serupa juga dia dengar dari keluarga besarnya. Seakan-akan semua kesalahan dilimpahkan kepadanya. Sebagai teman yang sering dicurhati, saya tahu betul bahwa keputusannya untuk bercerai adalah keputusan yang tidak mudah. Saya juga tahu betul itu adalah satu-satunya cara dia bisa keluar dari relasi rumah tangga beracun yang menyakitkan, tidak hanya untuknya tetapi juga untuk anak-anaknya.
Janda seringkali mendapatkan beban lebih berat. Padahal perjuangan mereka tidaklah mudah. Di satu sisi dia harus berperan sebagai ibu, di satu sisi juga berperan sebagai ayah dan kepala keluarga yang mencari nafkah untuk anak-anaknya. Masih juga harus struggle dari pergunjingan masyarakat tentang statusnya. Dianggap tidak becus mengelola rumah tangga, dan tidak memikirkan anak-anak yang akan kehilangan ayah. Ketika mempertahankan status janda dianggap sebagai sebagai perempuan penggoda dan menjadi ancaman bagi rumah tangga. Terjadi seksualisasi terhadap janda, dan beragam stigma buruk lainnya.
Adil Sejak dalam Fikiran
Saya kemudian teringat perkataan ibu Nur Rofiah, Founder Ngaji KGI. Dalam forum Ngaji KGI yang beliau asuh beliau sering mengatakan bahwa kualitas manusia ditentukan oleh takwanya. Bukan ditentukan oleh jenis kelamin, kecantikan atau ketampanan, harta maupun pangkatnya. “Inna akromakum ‘indallahi atqookum” begitu yang selalu beliau ucapkan saat mengutip ayat 13 Surat Al-Hujurat.
Ayat ini sebenarnya adalah ayat revolusioner yang berusaha mengubah cara pandang masyarakat jahiliyah tentang keadilan. Ayat ini juga sangat relevan untuk konteks perempuan yang seringkali masih dianggap sebagai objek. Ayat ini menegaskan bahwa siapapun dia baik laki-laki maupun perempuan dua-duanya merupakan subjek penuh kehidupan. Keduanya sama-sama mengemban mandat sebagai khalifah fil ardhi yang harus sama-sama menciptakan kemaslahatan di bumi.
Jika Allah saja tidak membeda-bedakan hambanya, mengapa kita lebih jumawa daripadaNya?
Jika kualitas manusia ditentukan oleh takwanya, maka janda yang bertakwa lebih baik daripada istri yang tidak bertakwa. Janda yang bertakwa juga lebih baik daripada janda yang tidak bertakwa. Sebaliknya, istri yang bertakwa tentu juga lebih baik daripada janda yang tidak bertakwa. Kita tidak boleh megeneralisir. Tidak ada masalah dengan status apapun itu selama pribadi tersebut tetap berada dalam koridor kebaikan dan kemaslahatan.
Pemaknaan ulang terhadap status janda sangat perlu untuk dilakukan. Pangkal kezaliman dimulai dari dalam fikiran. Maka dari itu penting untuk mengubah cara pandang kita yang tidak adil terhadap perempuan, baik dia berstatus sebagai janda,istri, maupun melajang.
Tidak ada yang salah dengan status tersebut. Tidak juga lantas menjadikannya perempuan yang hina. Justru bisa jadi di mata Allah seorang janda derajatnya lebih tinggi. Bayangkan, dia melanjutkan kehidupan keluarganya dengan segala beban beratnya melawan stigma. Dia juga memastikan anak-anaknya dapat makan dan bersekolah dengan layak. Bukankah itu wonderwoman yang sesungguhnya? Jadi, Stop stigma buruk terhadapnya!