Saturday, August 23, 2025

Lasminingrat, Tokoh Perempuan Pra Kemerdekaan yang Memperjuangkan Akses Pendidikan bagi Perempuan

Raden Ayu Lasminingrat biasa dipanggil Lasminingrat, putri dari Penghulu Limbangan dan Penyair Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria. Tokoh perempuan ini namanya masih terdengar asing di telinga banyak orang. 

Namanya tidak sepopuler R.A. Kartini jika kita berbicara tentang pahlawan perempuan, dan tidak se terkenal Ki Hajar Dewantara jika kita berbicara tentang pendidikan. Lasminingrat lahir di Garut pada 29 Maret 1854. Sebagai putri seorang bangsawan, Lasminingrat memanfaatkan privilege itu untuk mendobrak segala paham patriarki yang tumbuh subur di masanya. 

Ia menjadi anak asuh Levyson Norman, seorang Belanda yang pernah menjadi controleur atau pejabat di Sumedang. Di masa itu, menjadi hal yang wajar bila anak perempuan dari keluarga ningrat Sunda tinggal dengan satu keluarga Belanda selama beberapa tahun sebelum menikah. 

Lasminingrat dibawa ke Sumedang dan tumbuh dengan keluarga Levyson untuk belajar bermacam-macam keilmuan dan keterampilan. Dari privilege itu, Lasminingrat berhasil membuktikan bahwa ia tumbuh menjadi seorang perempuan cerdas. Ia bahkan dikenal Belanda sebagai perempuan dengan kemampuan berbahasa yang sangat cakap, berwawasan literasi yang luas, intelektual, dan seorang sastrawan. 

Lasminingrat kerap menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda. kebanyakan buku yang diterjemahkannya adalah buku anak-anak yang banyak dibaca di Belanda dan dibawa ke Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar Orang Sunda ikut memiliki kegemaran membaca dan dapat memetik intisari pesan moral melalui cerita. 

Lasminingrat jauh lebih tua dari Kartini, maka di masa ketika Kartini lahir, Lasminingrat sudah menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang dijadikan buku bacaan wajib di HIS, Schakel School, dan sekolah lainnya hingga berakhirnya masa penjajahan Belanda.

Perjuangan Lasminingrat dalam memperjuangkan pendidikan untuk bangsa tak berhenti pada perannya menerjemahkan buku. Ia bahkan mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1907 di Ruang Gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Sekali lagi ia memanfaatkan privilege-nya sebagai istri dari Bupati Garut saat itu,  R.A.A. Wiratanudatara VIII, yang berwibawa dan disegani. Ia juga mendapat bantuan dari pejabat-pejabat pemerintah kolonial. 

Pada awalnya, perjuangannya tidak mudah sebab pengaruh adat lama yang menganggap kaum perempuan tak perlu mendapatkan pendidikan di sekolah. Menanggapi persoalan itu, Lasminingrat tak menyerah, ia mengerahkan anak-anak gadis sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai negeri sebagai role model untuk menjadi murid di sekolahnya. 

Ia bersama kerabatnya mengajarkan murid-murid menulis, membaca, dan mengasah berbagai keterampilan seperti menjahit, menyulam, merenda, membordel, merajut, membatik, juga membuat berbagai kerajinan tangan.

Perjuangan Lasminingrat perlahan membuahkan hasil. Sekolah Kautamaan Istri berkembang dengan pesat karena Lasminingrat menerapkan sistem kurikulum. Pada tahun 1911, jumlah muridnya mencapai 200 orang yang terbagi ke dalam lima kelas. Sekolah Kautamaan Istri akhirnya mendapat pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913. 

Pada masa pendudukan Jepang, Sekolah Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima murid laki-laki. Sejak tahun 1950, SR berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat II Garut. Kemudian pada tahun 1990-an hingga kini, namanya berubah menjadi SDN Regol VII dan X.

Kisah Lasminingrat mengajarkan betapa pentingnya pendidikan. Tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan orang banyak. Pendidikan adalah kebutuhan setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. 

Pendidikan adalah jalan membentuk manusia yang berkarakter, percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya, melahirkan keberanian, dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas secara intelektual maupun moral. Ketika seseorang merdeka dari kebodohan, merdeka pula cara pandangnya, tidak lagi bisa dibohongi, tahu mana yang benar dan mana yang salah. 

Di momen kemerdekaan yang ke-80 ini, realita pendidikan di negeri ini menjadi bahan refleksi dan evaluasi. Seperti halnya Lasminingrat, akses pendidikan perlu diperjuangkan oleh berbagai pihak. Tak boleh ada lagi yang memisahkan perempuan dari akses pendidikan, maupun yang memaksa anak perempuan menghadapi pernikahan dini. Bonus demografi yang digadang akan didapatkan Indonesia di 100 tahun kemerdekaannya nanti perlu dipersiapkan sejak dini, salah satunya melalui merdekanya akses pendidikan untuk setiap anak negeri.

Belva Rosidea
Belva Rosidea
dokter gigi yang tak hanya jatuh cinta pada gigi, tapi juga pada kata, sastra, dan kamu yang membaca

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here