Mewujudkan Peradaban yang berkeadilan sebagai tagline sekaligus misi yang dibawa Kupi Nyatanya tidak hanya tentang keadilan terhadap sesama manusia saja, namun juga adil terhadap alam semesta. Karena itu, salah satu isu krusial yang dibahas di sana adalah tentang pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga terhadap lingkungan.
Dampak perubahan iklim yang kentara dan masalah sampah menjadi peringatan keras bagi kita semua untuk lebih aware terhadap masalah lingkungan. Data di Kementrian Lingungan hidup pada tahun 2021 menunjukkan jumlah sampah di Indonesia mencapai 21,88 juta ton. Dari jumlah tersebut sampah rumah tangga menjadi penyumbang paling banyak yaitu 42,32 persen, menyusul setelahnya sampah perniagaan, sampah dari pasar, sampah dari perkantoran dan sampah dari sumber lainnya.
Karena itu tagline “Buanglah sampah pada tempatnya” yang dulu sering kita lihat tertulis di tempat sampah umum. Sekarang sudah sangat tidak relevan. Karena pada kenyataannya, sampah tersebut hanya berpindah tempat ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan menumpuk di situ, tidak benar-benar musnah.
Pengelolaan sampah dengan cara memilah sampah adalah solusinya. Namun sayangnya, belum banyak masyarakat yang sadar akan urgennya isu tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena sosialisasi yang kurang dan juga tidak adanya peran para stakeholder dan para regulator dalam mengkampayekan dan mefasilitasi masyarakat dalam mewujudkan kebiasaan baik tersebut.
Praktik Baik di Akar Rumput
Sadar akan pentingnya menyelesaikan masalah yang pelik tersebut, Kupi II menghadirkan narasumber para ulama perempuan yang memiliki fokus perjuangan pada isu lingkungan. Ada Dr. Nur Arfiyah Febriari yang menjadi salah satu narasumber dalam halaqah umum. Mengusung tema Peran Ulama perempuan dalam merawat dan melestarikan alam beliau menceritakan aksi-aksinya dalam merawat lingkungan baik dalam level rumah tangga, komunitas dan akademik.
Sebagai dosen tetap di PTIQ Jakarta, Nur Arfiyah memperkenalkan Quranic Ecogender dalam kurikulum, seminar dan juga Forum Group Discussion. Dengan harapan semua belah pihak dalam ekosistem kampus mempunyai kesadaran yang sama terkait pelestarian lingkungan. Lingkungan terbuka hijau, disediakannya sampah dengan tiga kategori sehingga memudahkan dalam pemilihan sampah, dan diadakannya seminar-seminar tentang pengelolaan sampah merupakan beberapa praktik yang dilakukan.
Di Lingkungan sekitar rumah beliau juga mempraktikkan bagaimana memanfaatkan komunitas dalam pengelolaan sampah. Dalam hal ini penyediaan bank sampah di desa merupakan suatu solusi yang baik. Para warga dimotivasi untuk memilah sampah rumah tangga untuk kemudian ditabung di bank sampah. Jadi, sampah juga bisa menghasilkan. Sampah organik seperti bekas sisa makanan, kulit buah, sayuran, bisa dimanfaatkan untuk membuat kompos yang kemudian mendorong warga untuk bercocok tanam di sekitaran rumah.
Selain itu, Romlawati yang bertindak sebagai co-direktur organisasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) juga menceritakan bagaimana pengalaman organisasinya dalam pengelolaan sampah. Organisasi ini mempunyai Gerakan yang namanya 3-AH yaitu Cegah, Pilah dan Olah. Gerakan ini membuat para anggotanya akan berfikir dua kali ketika akan membeli barang, pakaian, atau apapun. Karena setiap pembelian ada konsekuensi di mana mereka harus mengelola barang tersebut ketika telah menjadi sampah.
Sampah pakaian misalnya, bisa mereka donasikan atau dijual kembali sebagai barang preloved, sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos, sampah plastik dapat direuse menjadi kerajinan lain yang bermanfaat. Adapun sampah yang tidak bisa dikelola sendiri, bisa mereka setorkan ke bank sampah yang dikelola organisasi pekka. Karena namanya bank, maka sampah yang disetor akan diganti dengan uang simpanan atau bisa juga ditukar dengan kebutuhan pokok yang disediakan.
Urgensi Fatwa Kupi Tentang Pengelolaan Sampah
Melihat realitas lingkungan kita sekarang dan dampaknya bagi kehidupan anak cucu kita kelak, maka sudah saatnya ruang-ruang keagamaan dipenuhi oleh diskusi terkait iklim dan lingkungan. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat agamis. Dalam berbagai bidang di luar masalah lingkungan, nilai-nilai keagamaan terbukti menjadi kekuatan yang besar.
Dalam kontestasi politik misalnya, sosok yang agamis memiliki nilai yang lebih untuk memenangkan suara di masyarakat. Ritual seseorang dalam melaksanakan ibadah seperti solat, puasa dan lainnya dianggap sebagai tolak ukur moralitas. Bahkan soal vaksin pun, penolakannya lebih banyak karena rumor mengandung babi, bukan soal efektivitas atau zat kimianya. Ini bukti bahwa sensitifitas masyarakat kita terhadap agama masih kental sekali.
Namun sayangnya, instrument agama masih sering digunakan untuk hal-hal yang sifatnya desdruktif. Sebagai alat untuk menebar kebencian, kekerasan dan melanggengkan patriarki. Karena itu diperlukan kerja lebih para pemuka agama dan ulama dalam mengkampayekan nilai-nilai Islam yang memajukan peradaban, salah satunya tentang masalah ekologi dan lingkungan.
Di sinilah Kupi hadir mengisi ruang tersebut. Sehingga dalil seperti yang tertuang dalam surat Al-A’raf ayat 56 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi” dapat dipraktikkan dalam perilaku umat muslim dan juga umat beragama lainnya.
Dari rentetan diskusi terkait ekologi yang dimulai dari halaqoh umum, halaqoh pararel sesi 1 dan 2, selanjutnya musyawarah keagamaan sampai refleksi. Kupi sampai pada kesimpulan bahwa pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah akan sangat berdampak pada kehidupan dan keselamatan manusia, khususnya perempuan.
Karena itu Kupi mengeluarkan fatwa atau sikap keagamaan bahwa haram hukumnya melakukan pembiaran polusi sampah baik bagi mubasyir (pelaku langsung) atau eksekutor mutasabib (penyebab tidak langsung). Sedangkan makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) dikenakan bagi orang yang tidak mempunyai wewenang. semua pihak juga wajib untuk mengelola sampah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Terutama pemerintah yang wajib membangun kesadaran masyarakat akan bahaya sampah dan terus melakukan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
Sikap keagamaan kupi ini membuktikan bahwa agama hadir tidak hanya untuk persoalan ibadah mahdoh ataupun muamalah dengan manusia saja, namun juga menjadi kekuatan besar dan pendorong utama dalam kerja-kerja ekologi seperti pemeliharaan lingkungan, pengelolaan sampah dan upaya-upaya pelestarian alam lainnya. Semoga misi Kupi dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan dapat tercapai. Insya Allah.