Saturday, October 11, 2025

Ita Fatia Nadia, Perempuan Pembela HAM Perempuan Korban Pemerkosaan Massal Mei 1998

“Apakah diam menjadi pilihan ketika kekerasan terjadi di depan mata?” Begitulah pertanyaan retorik Ita Fatia Nadia dalam monolognya di panggung TEDx Talks: “Narrating May 1998 History, Healing Gendered Trauma” yang tayang di YouTube pada 18 Januari 2024.

Dalam monolog berdurasi hampir 13 menit itu, Ita menceritakan sedikit tentang dirinya. Sejak remaja, Ita senang menulis dan membaca. Saat ia masih menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM), ia mendirikan perpustakaan jalanan bagi anak-anak kampung yang tidak punya cukup privilese atau akses membeli buku. 

Lulus sebagai sarjana, Ita bergabung dalam Yayasan Kalyanamitra, sebuah gerakan feminis perempuan Indonesia pertama yang didirikan pada 28 Maret 1985 fokus pada pendampingan dan advokasi perlindungan hak-hak perempuan.

Sebuah wawancara mendalam oleh Kabari TV bertajuk “Kisah Aktivis Ita Fatia Nadia dalam Rekam Jejak Hak Asasi Manusia di Indonesia” menampilkan cerita personal Ita yang lebih lengkap. Ketergugahan Ita pada hal-hal rumpang, timpang, dan tidak patut dalam tatanan masyarakat ternyata temurun dari keluarganya yang melek isu-isu sosial. 

Ayahnya seorang aktivis Partai Sosialis, satu angkatan dengan Amir Sjarifuddn, politikus sosialis dan Perdana Menteri Indonesia kedua. Ibunya seorang aktivis sosial yang giat bergerak dalam aktivisme kemerdekaan Republik Indonesia. Ita bercerita bahwa ibunya mendidik dirinya untuk peka dan peduli pada situasi sosial di sekitarnya, sehingga mendorongnya untuk kemudian terjun sebagai aktivis kemanusiaan.

Ita Fatia Nadia dikenal luas sebagai seseorang yang berdiri di garda terdepan dalam pendampingan korban kekerasan seksual yang terjadi dalam rangkaian tragedi Mei 1998 menuju keruntuhan rezim Orde Baru. Pada 13 Mei 1998, sebagai respon atas semakin banyaknya temuan kasus kekerasan seksual di lapangan, utamanya terhadap perempuan etnis Tionghoa, Ita ditunjuk sebagai ketua Tim Relawan Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP) oleh Romo Sandyawan Sumardi yang kala itu menjabat sebagai pimpinan Tim Relawan Kemanusiaan (TRK).

 

Ingatan Pilu Pemerkosaan: Menyaksikan, Mendampingi, Mendoakan

Masih melansir pada wawancara Kabari TV, Ita bercerita sebenarnya sejak Februari, tiga bulan sebelum puncak kerusuhan, ketakutan perempuan Tionghoa akan ancaman kekerasan seksual sudah mulai muncul. 

 “Ada seorang perempuan Tionghoa naik bajaj. Saat ia ingin minta kembalian dari pembayaran ongkos, supir bajaj malah bertanya, kamu minta kembalian? Kamu mau saya perkosa atau saya bunuh?” cerita Ita. 

Bayangkan ancaman tersebut datangnya dari seorang supir, rakyat biasa. Rasisme yang memicu kebencian akut hingga ancaman pembunuhan dan pemerkosaan bisa dilakukan oleh rakyat biasa sudah tentu tidak datang secara kebetulan. Ada rencana sistematis oleh pihak tertentu yang memicu berkobarnya kerusuhan, pembakaran, hingga pemerkosaan.

Saking masih tajamnya ingatan tentang sejarah pilu itu, kepada pewawancara Kabari TV, Ita menceritakan satu kisah heroiknya dengan menggebu-gebu. Suatu sore di kantor Tim Relawan, Ita menerima laporan sedang terjadi penganiayaan oleh gerombolan pemuda terhadap beberapa orang perempuan Tionghoa di daerah Glodok, Jakarta Utara. Saat itu, akomodasi Tim Relawan masih sangat terbatas sebab belum memiliki mobil sendiri. 

Ita, bersama seorang rekan, buru-buru pergi ke tempat perkara dengan menaiki ojek. Sesampainya di sana, Ita menemukan empat orang perempuan Tionghoa–tiga usia muda & satu paruh baya–sedang dikerubungi banyak orang yang semuanya lelaki. “Pakaian mereka sudah tercabik-cabik,” kata Ita. 

Dengan segenap keberaniannya, Ita menerobos kerumunan sambil berteriak, “berhenti!” Seakan patuh, segerombolan penganiaya ini berhenti, diam, memberi jalan Ita, dan bubar dengan sendirinya. Akhirnya, keempat perempuan Tionghoa tersebut dievakuasi langsung oleh Ita ke hotel dekat gedung Harco Glodok kepunyaan seorang Tionghoa kenalan Ita. Ia merasa, hotel itu bisa menjadi tempat aman sementara.

Ita juga bercerita tentang Fransiska, anak perempuan usia 11 tahun yang diperkosa menggunakan pecahan botol setelah segerombolan pelaku membunuh ibu dan kakak perempuannya. Cerita Fransiska terus-menerus dikisahkan Ita dalam setiap perbincangan menyoal tragedi pemerkosaan massal Mei 1998 sebab peristiwanya begitu membekas. 

Ita menyaksikan penderitaan Fransiska menahan sakit pada vaginanya sebelum akhirnya dinyatakan meninggal. Ita juga yang memandikan tubuh Fransiska, mengkremasinya, dan melarungkannya di Tanjung Priok.

Ada satu nama lagi yang membekas dalam ingatan Ita, ialah Ita Martadinata. “Peristiwa yang dialami Ita Martadinata sangat berat dan traumatis. Namun, ketika saya bertemu dengannya dan mamanya, saya melihatnya bangkit,” ungkap Ita dalam monolognya di TEDx Talks. 

Ita Martadinata adalah simbol perjuangan penyintas. Ia benar-benar berjuang mencari keadilan, tidak hanya untuk dirinya, namun juga bagi ratusan perempuan korban pemerkosaan Mei 1998. Sayangnya, Ita Martadinata dibunuh tiga hari menjelang ia bersaksi di hadapan PBB.

 

Pentingnya Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) dalam Situasi Konflik

Ita Fatia Nadia adalah potret perempuan pembela HAM perempuan, berupaya melindungi korban KBGS dalam situasi konflik. Dalam konteks sejarah tragedi kerusuhan Mei 1998, kekerasan seksual yang terjadi jelas bagian dari pelanggaran HAM. Ita adalah seorang Perempuan Pembela HAM. Merujuk pada Komnas Perempuan, Perempuan Pembela HAM (PPHAM) adalah perempuan yang melakukan pembelaan HAM, dalam semua dimensi dan konteks, baik individu maupun kolektif, yang menamai diri sebagai aktivis perempuan, pekerja sosial, relawan, atau pendamping korban.

Ita Fatia Nadia kini berusia 67 tahun dan masih aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan. Dari dulu hingga detik ini, Ita selalu konsisten bersuara, mewakili suara korban, merawat ingatan dan mengajak orang-orang muda untuk menolak lupa akan sejarah bangsa. 

Aya Canina
Aya Canina
Aya Canina lahir di Jakarta, 22 Januari 1995. Buku puisinya adalah Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020). Ia adalah mantan vokalis Amigdala, dan penggubah lirik lagu Kukira Kau Rumah dan lagu-lagu lainnya. Ia juga menulis buku Upaya Membalut Luka (2023), dari sebuah proyek pencatatan kerja-kerja paralegal LBH Apik Jakarta dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Berbagai artikelnya muncul di media seperti Konde dan Magdalene. Ia menulis dan menjadi narator tunggal untuk siniar Hati Suri (Noice).

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here