Di tengah kemajemukan dan pluralitas masyarakat Indonesia, konflik sosial menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa terhindarkan. Dalam dinamikanya, sejarah mencatat bahwa Indonesia telah beberapa kali mengalami konflik sosial. Sebut saja konflik suku Sampit-madura di tahun 2001, Konflik agama di Poso dan Ambon, konflik antargolongan contohnya kerusuhan Jakarta lautan Api 1998 atau tawuran sekolah.
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan ketertiban pada era rezim Soeharto, Laksamana Sudomo, kemudian menamakan konflik-konflik tersebut dengan istilah SARA, akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan yang kemudian menjadi istilah yang populer sampai sekarang.
Jika kita melihat dalam konteks sejarah dunia, konflik yang terjadi semuanya juga mengandung SARA. Pembunuhan jutaan Yahudi oleh Nazi Hitler adalah kombinasi antara ras dan agama, bahkan perang salib yang berlangsung berabad-abad lalu, mengandung semua unsur SARA.
Sebagai gejala sosial, konflik akan selalu ada baik antar individu maupun antarkelompok dalam setiap masyarakat. Persamaan dan perbedaan pada individu maupun kelompok menjadi kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari. Persamaan dan perbedaan tersebut pada saat tertentu saling bertemu dan bergesekan yang akan berpotensi menyebabkan konflik sosial yang berujung pada kekerasan.
Karena itu, faktor penyebab terjadinya konflik di berbagai rujukan biasanya disebabkan oleh perbedaan. Perbedaan kebudayaan, perbedaan pandangan,perbedaan kepentingan atau bisa juga karena perubahan sosial yang terlalu cepat di masyarakat. Tentu saja rujukan ini tidak salah. Tetapi menurut saya penting untuk kemudian melihat dari sudut pandang yang berbeda untuk menemukan pengetahuan yang komprehensif terkait penyebab konflik ini.
Banyak teori dikembangkan untuk menjelaskan mengapa konflik selalu terjadi, selain disebabkan oleh perbedaan tadi. Sebagian pakar mengatakan bahwa sumber konflik bisa berasal dari ambisi kekuasaan, ideologi atau perebutan sumber ekonomi. Namun argumen tersebut dibantah dengan kenyataan bahwa faktanya konflik bisa terjadi tanpa disebabkan oleh faktor tersebut.
Makassar contohnya yang sangat terkenal dengan mahasiswanya yang sangat hobi sekali berkelahi, unjuk rasa, membakar ban dan perilaku desruktif lainnya. Jika ditelaah, tidak ada sumber ekonomi yang diperebutkan, ideologi yang diperjuangkan, atau ambisi kekuasaan oleh golongan orang tertentu. Karena itu menarik untuk melihat ini dari sudut pandang psikologi individu maupun kelompok.
Dalam hal ini pendapat dua orang psikolog asal Pennsylvania, Amerikat Serikat Bernama Roy J. Eidelson dan Judy I. Eidelson menarik untuk disimak. Dalam artikelnya yang berjudul “Dangerous Ideas” mereka berpendapat bahwa ada lima ide berbahaya yang jika terjadi pada individu akan menyebabkan perasaan tidak senang, tidak percaya diri, gelisah dan mengalami gangguan neurosis. Sementara pada tingkat kelompok dapat memicu kekerasan antarkelompok.
Ide pertama adalah Superioritas. Ide ini menganggap bahwa kelompoknya lah yang terpilih atau dipilih Tuhan sebagai kelompok yang paling unggul. Kelompok lain adalah inferior dan karenanya boleh diperangi atau dibunuh jika mengancam eksistensi kelompok terpilih tersebut. Ajaran Osama bin Laden dan Imam Samudra bisa menjadi contoh dari ide ini karena mengklaim kelompoknya sebagai kelompok terpilih. Ide ini kemudian memicu sikap desdruktif. Mati pun tidak masalah selama dalam kepentingan mempertahankan superioritas tersebut.
Ide yang kedua adalah Ketidakadilan. Contohnya Anggota GPA (Aceh), OPM (Papua) dan juga JI (Jemaah Islamiyah) merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. JI menamakannya sebagai pemerintah Thagut yang Islam tetapi tidak membela Islam, malah menzalimi Islam. Karena itu mereka memberontak dengan kekerasan dan senjata.
Ketidakadilan ini tidak harus terhadap pemerintah atau penguasa, namun juga bisa terjadi antar kelompok. Persepsi ketidakadilan ini biasanya subjektif dan biasanya ada provokator-provokator yang menyulut nyala api perasaan tidak adil tersebut.
Ide yang ketiga adalah Kerentanan, kekhawatiran akan masa depan, bagaimana memberi makan anak istri, uang sekolah anak, bayar cicilan adalah beberapa pemicu kerentanan tersebut. Kerentanan ini bisa menjadi konflik seperti Unjuk rasa kenaikan BBM, konflik perebutan lahan yang jika tidak diredam akan meletus dan berkembang menjadi kerusuhan berujung pada kekerasan.
Ide yang keempat adalah Ketidakpercayaan. Sepertinya ide ini yang sekarang mendominasi terjadinya konflik di Indonesia. Rakyat tidak percaya pada presiden, tidak percaya pada KPK, MK apalagi polisi. Belum lagi berbagai isu yang digoreng media massa sehingga tambah panaslah rasa ketidakpercayaan yang kemudian menyebabkan konflik.
Ide yang terakhir adalah Ketidakberdayaan. Perasaan tidak berdaya dimanfaatkan untuk mendorong perjuangan kebangkitan kelompok. Kebangkitan Nasional melawan Belanda dimulai dari ketidakberdayaan terhadap penjajahan. Revolusi Nelson Mandela di Afrika Selatan juga merupakan perlawanan si lemah kulit hitam terhadap superioritas kulit putih. Kerusuhan di Sampit juga merupakan kebangkitan etnis Dayak yang merasa tidak berdaya atas dominasi etnis Madura yang merupakan pendatang.
Dari berbagai macam teori yang menjelaskan faktor penyebab konflik, lima ide berbahaya ini bisa menjadi sudut pandang lain dalam membantu kita merubah atau minimal mencegah lahirnya ide-ide berbahaya ini di tengah masyarakat. Harapannya, Pemerintah bisa lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai keidakpuasan di masyarakat. Memperkuat komunikasi baik antar individu maupun antarkelompok untuk mengurangi prasangka dan mempererat kerukunan.
Ralph K White seorang Psikolog Perdamaian yang terkenal mengatakan”Nobody Wanted War”. Saya percaya pernyataan itu adalah benar adanya. Tidak seorang pun yang menyukai peperangan atau konflik. Manusia juga sebenarnya menginginkan interaksi yang positif terhadap sesamanya sehingga terjalin keterdekatan dan hubungan yang lebih dalam antara satu dan yang lainnya. Semoga ke depannya, ide-ide berbahaya seperti yang sudah disebutkan dapat dihilangkan dan dicegah sehingga kedamaian dan kerukunan tetap terjaga.