Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniKebebasan Berkeyakinan dan Pengakuan Negara Terhadap Penghayat, Sudahkah Implementatif?

Kebebasan Berkeyakinan dan Pengakuan Negara Terhadap Penghayat, Sudahkah Implementatif?

Jika selama ini anda menganggap bahwa agama di Indonesia hanya ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu, maka anggapan anda 100% salah. Faktanya, Indonesia jauh lebih beragam daripada itu. Keberadaan suku-suku dan penganut penghayat kepercayaan sudah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri. Bahkan jauh sebelum agama seperti Islam dan Kristen masuk ke Nusantara ini. Fakta sejarah tersebut tidak bisa kita ingkari.

Dilansir dari detik.com, ada sekitar 187 organisasi penghayat yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa penghayat yag cukup besar di antaranya seperti Kejawen yang dianut masyarakat Jawa, Sunda Wiwitan yang berasal dari orang Sunda, Kaharingan yang dianut masyarakat Dayak di Kalimantan atau Parmalim dari suku Batak. 

Sayangnya, nasib agama kepercayaan dan penghayat tersebut tidak semulus enam agama yang yang diakui. Keberadaan penghayat sejak dahulu antara ada dan tiada. Mereka masih luput dari keadilan regulasi pemerintah dan belum sepenuhnya dianggap ada oleh negara. Butuh perjuangan panjang bertahun-tahun untuk mendapatkan pengakuan. Mengapa demikian?

Diskriminasi yang Terstruktur dan Sistematis

Sejak dahulu, para penghayat mengalami diskriminasi secara sistemik. Negara seperti tidak mengakui.  Mereka seringkali mengalami kesulitan dalam mengurus hal-hal administratif seperti akses Pendidikan, administrasi kependudukan, pengurusan akte perkawinan, KTP, KK, akses tempat ibadah dan layanan yang lainnya. Hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dinafikan sama sekali. Jaminan dan perlindungan sbagaimana digariskan oleh UUD1945 tidak mereka terima.

Diskriminasi dan peminggiran tersebut tidak lepas dari landasan hukum yang sangat kuat. Salah satunya adalah TAP MPR no.IV/MPR/1978 yang didalamnya ditegaskan bahwa: “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan Agama”. Ketetapan ini kemudian menjadi pijakan Menag mengeluarkan Instruksi Menteri Agama No.4 dan 14 Tahun 1978 yang menjadi landasan bagi keputusan-keputusan Depag selanjutnya terhadap penghayat.

Karena mereka digolongkan sebagai kelompok yang “belum beragama”, akibatnya perkawinan yang dilakukan penghayat tidak diakui, tidak tercantum di KTP dan KK, bahkan sampai soal pemakaman pun mereka di persulit. Belum lagi stigma masyarakat yang menganggap mereka tidak memiliki agama sehingga kurang mendapat penerimaan di masyarakat. Mereka dikucilkan dan dipinggirkan.

Tekanan yang dihadapi penghayat tersebut menyebabkan banyak dari mereka yang memilih jalan yang lebih pragmatis. Alih-alih memperjuangkan identitas spiritualnya, banyak yang memilih pindah ke agama yang diakui pemerintah. Langkah tersebut dinilai lebih aman. Padahal dalam pasal 29 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Sungguh ironis sekali.

Setelah berbagai hal dan dinamika yang dialami penghayat, akhirnya keluar Putusan MK No.97/PUU-XIV/2016. Putusan yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 memberikan hak bagi penghayat mencantumkan agama dan kepercayan mereka di KTP dan KK. Sebuah bentuk pengakuan negara terhadap penghayat sekaligus sejarah baru yang merupakan buah perjuangan bertahun-tahun.

Mendapat Pengakuan,Selanjutnya Apa?

Dengan adanya putusan tersebut, setidaknya masyarakat penghayat mendapatkan secercah harapan baru. Harapan di mana mereka bisa mengekspresikan keyakinan mereka dengan aman. Dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di KTP seharusnya dapat memudahkan mereka dalam mendapatkan hak-hak sipil yang sebelumnya sulit mereka dapatkan.

Namun, harapan tersebut menuntut kerja lebih dari berbagai pemangku kepentingan. walaupun secara identitas keberadaan kelompok penghayat telah diakui, namun pekerjaan rumah masih banyak. Mengingat Akibat yang ditimbulkan dari diskriminasi dan peminggiran para penghayat sejak dahulu tidak main-main. 

Sepanjang sejarah kelompok penghayat tidak pernah dianggap. Mereka hanya diakui sebagai warisan budaya dan marketing pariwisata saja. Praktik-praktik diskriminasi yang berlangsung mengalami pembiaran yang begitu lama sehingga mempengaruhi hampir seluruh aspek relasi-relasi sosial keagamaan.

Masyarakat masih beranggapan bahwa penghayat adalah aliran kepercayaan yang tidak memiliki agama. Hal ini kemudian menyebabkan stigma yang masih menyulitkan mereka dalam bersosialisasi dengan masyarakat mayoritas. Banyak kemudian yang masih mendapatkan penolakan walaupun statusnya sudah diakui. Penganut Kaharingan misalnya, dianggap sebagai pemuja berhala sehingga dikucilkan oleh segelintir kelompok masyarakat.

Karena itu, perlu adanya edukasi lebih lanjut kepada masyarakat luas terkait keberadaan dan status penghayat kepercayaan. Bahwa penghayat merupakan bagian dari masyarakat yang juga harus dijaga dan dihormati. Warisan politik diskriminatif terhadap penghayat harus dihilangkan. Memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. 

Kedepannya diperlukan pengelolaan keragaman berbagai agama termasuk penghayat kepercayaan dengan menggunakan metode inklusi sosial yang memperluas akses bagi penghayat dan kaum minoritas untuk menggunakan haknya sebagai warga negara. Hak untuk dihormati dan diberi rasa aman dan nyaman atas keyakinan yang dipilihnya. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi, kekerasan dan ekslusi sosial. Perdamaian pun akan lebih mudah diwujudkan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments