Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) berdiri pada tahun 1976 sebagai kelompok separatis Tamil di Sri Lanka, dengan cita-cita membentuk negara merdeka bernama Tamil Eelam (Negara Bagian) di wilayah utara dan timur pulau tersebut.
Pada tahun 2008, Federal Bureau of Investigation (FBI) bahkan menyebut LTTE sebagai “kelompok ekstremis paling berbahaya dan mematikan di dunia”. Bukan tanpa alasan, LTTE mempelopori taktik bom bunuh diri dan penggunaan rompi peledak.
Selain itu, kelompok ini telah merenggut ratusan nyawa melalui serangkaian serangan yang menargetkan warga sipil, infrastruktur nasional, dan instalasi militer sebagai upaya mereka untuk mencapai tujuan. Seiring perang yang berlarut-larut, kebutuhan akan sumber daya manusia mendorong LTTE mengubah strategi dengan melibatkan perempuan ke dalam struktur organisasi mereka, bahkan sebagai pelaku bom bunuh diri. Membawa perempuan ke medan tempur—secara sepintas tampak sebagai upaya emansipasi, namun pada saat yang sama dieksploitasi untuk kepentingan strategis dan taktis.
Perempuan LTTE: Dari Pendukung hingga Pelaku
Awalnya, perempuan bergabung dengan LTTE hanya sebagai pendukung dalam bidang propaganda, logistik, penggalangan dana, perawatan medis, dan perekrutan. Namun pada 1983, LTTE mendirikan Women’s Front of the Liberation Tigers dan membentuk sayap militer perempuan bernama “Birds of Freedom”, yang mencakup bidang politik, militan (terlibat dalam operasi tempur), dan unit bunuh diri.
Itulah alasan LTTE mengklaim diri sebagai pionir kesetaraan gender karena membuka ruang bagi perempuan terlibat langsung dalam medan tempur. Bagi banyak perempuan Tamil, bergabung dengan LTTE bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah perlawanan—melawan patriarki yang mengekang, sistem kasta yang menindas, dan kekerasan berbasis gender yang membungkam mereka dalam masyarakat konservatif.
Pada aspek politik, mereka mengadakan kelas mengenai pemberdayaan perempuan, kampanye anti-diskriminasi, dan menentang sistem mas kawin. Mereka juga berupaya menjamin kesetaraan gender di bidang sosial, politik, dan ekonomi, menindak tegas pelaku kekerasan seperti pelecehan seksual dan KDRT, serta mendirikan pusat rehabilitasi bagi perempuan Tamil.
Sementara pada aspek militer, LTTE mendirikan Brigade Sothiya pada 1989 sebagai brigade militer perempuan pertama, disusul Brigade Malathi pada 1994. Perempuan-perempuan ini mendapatkan pelatihan tempur lengkap, mulai dari penggunaan senjata api, peledak, pengoperasian alat berat, hingga menjadi bagian dari unit anti-tank dan anti-pesawat.
Hal ini memungkinkan perempuan LTTE tidak hanya berperan di garis belakang, tetapi juga terlibat aktif di garis depan pertempuran, sebagai penembak, pejuang, bahkan pelaku bom bunuh diri.
Salah satu serangan bunuh diri yang paling terkenal dilakukan oleh Thenmozhi Rajaratnam, yang juga dikenal sebagai Dhanu, seorang remaja perempuan anggota Black Tiger. Ia membunuh Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi, saat kampanye di India selatan pada Mei 1991.
Dhanu mendekati Gandhi dengan memberikan karangan bunga dan membungkuk seolah memberi penghormatan, sebelum akhirnya meledakkan bom yang menewaskan Gandhi, dirinya, dan 19 orang lainnya. Saat itu, Dhanu tidak menimbulkan kecurigaan karena ia tampil sebagai gadis remaja biasa dengan pakaian tradisional.
Serangan Dhanu kemudian diikuti oleh anggota Black Tiger perempuan lainnya, yang digunakan untuk mengeksekusi target politik bernilai tinggi di Sri Lanka. LTTE bahkan memperkenalkan inovasi taktis seperti bom yang disembunyikan dalam bra, pakaian dalam, dan bom yang disamarkan sebagai kehamilan untuk meningkatkan efektivitas serangan.
Pada 2006, seorang Black Tiger yang menyamar sebagai wanita hamil berhasil menembus Markas Besar Angkatan Darat dalam upaya membunuh Panglima Angkatan Darat Sri Lanka, Letnan Jenderal Sarath Fonseka.
Sementara itu, pada 2004 dan 2007, Menteri Douglas Devananda berhasil selamat dari dua upaya pembunuhan oleh pembom perempuan yang menggunakan bom bra. Perang selama 26 tahun berakhir pada Mei 2009, ketika tentara Sri Lanka berhasil menembak mati pemimpin LTTE, Vellupillai Prabhakaran, di Mullaitivu, Sri Lanka Utara.
Paradoks Emansipasi Perempuan
Selama bertahun-tahun, LTTE menggaungkan pemberdayaan dan peningkatan status perempuan dengan mengaitkan emansipasi—membangun identitas di luar tugas domestik—dengan perjuangan pembebasan nasional. Bagi banyak perempuan, pembebasan nasional ini identik dengan kebebasan pribadi mereka, sekaligus memperkuat komitmen mereka terhadap ideologi etno-separatis LTTE.
Namun, meskipun perempuan memiliki ruang peran yang lebih luas, pengambilan keputusan tetap didominasi laki-laki. Sejumlah penulis seperti De Mel, Maunaguru, de Alwis, dan Coomaraswamy telah meremehkan klaim pemberdayaan dan kesetaraan perempuan ini tidak lebih dari upaya LTTE memenuhi kebutuhan sumber daya manusia. Dalam konteks inilah LTTE menggambarkan, mengeksploitasi, dan mengangkat status perempuan demi memenuhi kepentingan strategis gerakan.
Perempuan sering dijadikan pion strategis, terutama dalam serangan bom bunuh diri yang memanfaatkan persepsi bahwa perempuan dianggap “tidak mencurigakan.”
Kini, setelah perang usai, perempuan Tamil dan mantan kader perempuan LTTE masih menghadapi tantangan besar di fase pasca konflik. Mereka kembali mengalami marginalisasi, stigma sosial, dan kekerasan berbasis gender, akibat tatanan sosial yang rusak oleh perang.
LTTE memang memberikan ruang bagi perempuan untuk melampaui batasan gender tradisional, tetapi harga yang mereka bayar adalah hilangnya masa depan, rasa aman, dan penerimaan dalam masyarakat yang kembali ke pola lama setelah perang.
Dalam konteks Tamil dan sering juga terjadi, keterlibatan perempuan dalam LTTE menunjukkan paradoks; di satu sisi membuka ruang untuk keluar dari penindasan tradisional, namun di sisi lain menjadikan mereka sebagai alat dalam strategi perang.
Sejarah LTTE, khususnya peran perempuan dan klaim emansipasinya, memperlihatkan kompleksitas perjuangan perempuan dalam konflik bersenjata Mereka menjadi simbol kekuatan sekaligus menyisakan luka panjang yang masih dirasakan perempuan Tamil hingga hari ini.
Sumber:
Dissanayake, Sara. (2017). Women in the Tamil Tigers: Path to Liberation or Pawn in a Game? Counter Terrorist Trends and Analyses, 9(8), 1–6.