Friday, September 6, 2024
spot_img
HomeCeritaComfort Women: Tragisnya Perempuan dalam Perang

Comfort Women: Tragisnya Perempuan dalam Perang

Pembahasan kondisi perempuan dalam kondisi perang, rasanya tidak pernah lepas dari ketertindasan, pemerkosaan dan kondisi tragis lainnya. Dalam konteks ini, kejadian bersejarah yang masih menyisakan luka adalah ketika Jepang menguasai Indonesia. Serangan besar-besaran tersebut dilakukan oleh sekutu di Asia Tenggara pada tahun 1943. Kondisi ini menyebabkan Jepang mengalami perubahan gerakan dari agresif menjadi defensif.

Tak ayal kondisi ini juga menyebabkan hubungan laut dan udara tentara Jepang di Asia Tenggara menjadi sangat sulit. Sehingga Jepang tidak bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, Cina dan Korea. Keberadaan wanita penghibur dalam ruang lingkup kehidupan tersebut menjadi sangat penting sebagai pemuas nafsu. Kekerasan semacam ini menjadi sangat lazim terjadi dalam sebuah kondisi perang, di mana perempuan sebagai korban.

Dalam kondisi sulit ini, dimanfaatkan oleh tentara Jepang untuk mencari perempuan dari berbagai kalangan. Biasanya, perempuan yang berasal dari Korea Selatan yang paling banyak dicari untuk menjadi objek dari perbudakan seksual. Akan tetapi, perempuan-perempuan dari beberapa negara kecil turut dicari juga. Bahkan, perempuan asal Indonesia turut menjadi korban dalam fenomena ini.

Kenyataan ini dikenal sebagai comfort women. ‘Comfort women ‘merupakan sebuah sistem perbudakan seksual yang dibuat oleh Jepang. Sistem tersebut memaksa para perempuan dari wilayah jajahannya untuk menjadi budak seks tentara Jepang di medan perang. Perempuan ini kemudian akan ditempatkan dalam sebuah rumah bordil yang kemudian disebut dengan comfort women station yang tersebar di beberapa wilayah pendudukan Jepang.

Yohanna, merupakan salah satu korban budak seks pada saat penjajahan Jepang. Ia terpaksa memenuhi permintaan tantara Jepang dengan beberapa asalan, di antaranya: Pertama, kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Kedua, dijanjikan untuk memiliki pendidikan tinggi dan akan disekolahkan di Jepang atau di Singapura. Ketiga, posisi sebagai bawah daripada tentara Jepang, membuat Yohanna tidak memiliki kekuatan untuk menolak untuk segala hal yang diminta oleh Jepang.

Dari sini terdapat dominasi kuasa yang dimiliki oleh Jepang kepada budak seks. Sehingga, eksploitasi yang dilakukan kepada perempuan terus mengakar dalam dinamika perang tersebut. Di samping itu, untuk melihat kekejaman yang dialami oleh perempuan dalam perang tersebut, terdapat potret foto Wainem karya Jan Banning. Sosok dalam foto tersebut adalah korban budak seks tentara Jepang yang sempat ramai diperbicangkan oleh banyak kalangan.

Keberadaan “comfort women” selama perang dunia kedua memang mengundang pro dan kontra di Jepang ditengah-tengah tekanan berbagai negara yang saat itu wanita mudanya menjadi “korban” kekerasan seksual oleh tentara Jepang. Bagi Jepang “comfort women” merupakan sisi gelap sejarah kemanusiaan Jepang yang memalukan. Oleh karena itu, tidak heran jika isu ini selalu menjadi pemberitaan hangat dan selalu terjadi pro dan kontra.

Sementara itu, kita melihat bahwa keberadaan perempuan dalam kondisi perang merupakan kenyataan pahit yang tidak terantahkan karena selalu menyisakan ruang ketertindasan yang dialami. Masalah ‘comfort women’ merupakan sisi kelam sejarah perjalanan Jepang sebagai negara adikuasa. Pemerintahan Jepang tidak memiliki pilihan lain selain meminta maaf dan mengakui kesalahan kepada korban comfort women. Pemerintahan Jepang memberikan kompensasi berupa uang kepada korban. Ia juga sudah membuat sebuah Private Fund yang diberikan nama Asian Women’s Fund (AWF).

Private Fund ini merupakan sebuah kebijakan pemerintahan Jepang dalam 24 The Korean Council for the Women Drafted fot Military Sexual Slavery by Japan.   Sejarah ini memperkuat posisi perempuan yang kecil dan inferior dengan kenyataan banyak korban perempuan sebagai budak seks. Serta mengalami luka mendalam atas apa yang dilakukan oleh Jepang di masa silam. Ddiskriminasi dan penindasan nyatanya tidak cukup sampai pada persoalan itu saja.

Sebab pada tahun 2000-an sejumlah masih memiliki Pekerjaan Rumah (PR) panjang terhadap diskriminasi yang dialami oleh perempuan dengan berbagai alasan. Seperti Afghanistan, Burundi, Colombia, the Demorati Republic of the Congo, Indonesia, Liberia, Myanmar, Rwanda, Sierra Leone, dan Uganda. Perjuangan panjang perempuan dalam mendapatkan keadilan atas segala ketertindasan yang terjadi pada masa silam, perlu terus disuarakan dan dikampanyekan agar ke depan, ada kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menebus dosa di masa silam.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments