Usai lulus dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Redy melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jember. Kisaran 2 jam perjalanan dari Bondowoso. Semakin bertambah usia, Redy semakin sadar untuk terus menggeluti aktivitas sosial. Kecakapan berbicara dan karakternya yang mudah berbaur menjadikan Redy sosok mobilisator di kelompoknya. Sama halnya saat SMP, di SMA pun Redy tak ketinggalan untuk bergabung Osis. Bahkan, Ia menjadi salah satu penggagas komunitas Forum Osis (Formosis) Kabupaten Jember pada 30 November 2011. Forum yang menaungi 50-60 sekolah ini dibentuk untuk membangun ruang bagi para pengurus osis se-Kabupaten Jember untuk saling belajar berorganisasi baik di tingkat sekolah maupun di tingkat kabupaten lebih luasnya. Selain menjadi penggagas, Redy juga didapuk menjadi ketua Formosis di tahun 2011 hingga 2013.
Di akhir masa kepemimpinannya, Formosis Kabupaten Jember melakukan kunjungan ke Tanoker Ledokombo, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada memperkuat ketahanan komunitas dan pemberdayaan masyarakat khususnya pada perempuan dan anak-anak buruh migran. Dalam kerja-kerjanya, Tanoker menggunakan pendekatan kebudayaan dan kearifan lokal seperti membentuk kelas bermain anak yaitu kelas Egrang dan sebagainya. Program yang melibatkan anak-anak dan mencerminkan pelestarian kebudayaan inilah menjadi pilihan formosis untuk belajar dan mengenal budaya Indonesia bersama anak-anak sebaya.
Pucuk di Cinta Ulam pun Tiba. Kunjungan ini mempertemukan Redy dengan Direktur Tanoker Ledokombo Farha Ciciek dan pasangannya yakni Suporahardjo. Mereka mendedikasikan diri untuk kegiatan sosial kemanusiaan di Ledokombo dan sekitarnya. Termasuk menumbuhkan toleransi dan anti kekerasan di kalangan kelompok muda. “Mbak Ciciek itu wajahnya Arab banget, beliau keturunan nabi. Tapi kok bisa ramah sekali dan mau merangkul saya (orang tionghoa beragama Katolik)?” ucap Redy mengingat kesan pertamanya bertemu dengan seorang feminis muslim Indonesia, Farha Ciciek.
Pertemuan pertama Redy dengan Farha Ciciek tanpa disadari saling bertautan, membekas energi semangat mewujudkan perdamaian. Setelah lulus SMA, Redy sempat bekerja dan tinggal di Bali, hingga 6 bulan kemudian ia selaku dewan pengawas Formosis diminta untuk memfasilitasi kunjungan adik tingkat ke Tanoker Ledokombo. Tak disangka, pertemuan kedua ini menghantarkan Redy memenuhi panggilan jiwanya. Bekerja untuk kemanusiaan. Ia mengambil tawaran Farha Ciciek untuk bantu mengelola sebuah program Kampung Belajar. Tak hanya itu, keterbukaan yang sangat besar terhadap kelompok berbeda, membuat Redy merasa diterima dan ia bisa tinggal dengan nyaman dan aman.
Selama 3 tahun lamanya beraktivitas di Tanoker, membukakan mata Redy bahwa ada banyak anak-anak di sekelilingnya yang memiliki pengalaman yang sama. Anak-anak buruh migran dampingan Tanoker menjadi anak yatim-piatu sosial. Mereka memiliki orang tua, tetapi secara fisik kehadirannya tidak ada. Mereka tinggal bersama nenek atau anggota keluarga yang lain. Sama seperti Redy. Dari sini Redy sadar bahwa ia tidak sendiri. Persoalan pengasuhan anak bukan hanya tanggung jawab anggota keluarga. Tetapi tanggung jawab kita semua untuk melindungi anak dan memastikan keamanan mereka. Dari sinilah, Redy akhirnya meneguhkan komitmennya untuk mewujudkan perubahan bagi sekitarnya.
Bertemu Aktivis Perempuan
Di negara timur termasuk Indonesia, feminis seringkali dipahami negatif. Feminisme diduga membawa pengaruh pemikiran barat (baca:Eropa) yang dianggap tidak relevan dengan budaya timur (baca: Asia). Padahal, di Indonesia justru nilai-nilai feminisme sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan. Tak heran lahir tokoh-tokoh perempuan hebat seperti Keumalahayati, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan Kartini. Mereka memperjuangkan akses dan partisipasi perempuan di ranah publik serta pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Sejak dulu hingga sekarang, kesetaraan dan keadilan terus diperjuangkan. Kini, para pejuang perempuan bereinkarnasi.
Bertemu aktivis perempuan dan perdamaian seperti Farha Ciciek mendatangkan panggilan jiwa Redy. Sebagai kelompok minoritas, ia merasa diterima kehadirannya dan didengar suaranya. Sikap melihat dan memperlakukan manusia sama, sebagai makhluk Tuhan yang dihormati dan dikasihi, tanpa memandang latar belakang berbeda, membuat Redy nyaman dan tentram. Meskipun seorang laki-laki, Redy menyadari pentingnya memahami dan turut menyuarakan isu perempuan. Mengapa?
Menciptakan budaya, masyarakat atau lingkungan yang damai dan anti kekerasan adalah tanggung jawab bersama, baik perempuan maupun laki-laki. Namun, realitanya perempuan termasuk kelompok rentan yang seringkali terpinggirkan. Perempuan sebagai representasi kelompok rentan juga mengalami pengalaman sosial serupa seperti yang dialami kelompok minoritas lainnya. Misalnya stigmatisasi, beban ganda, marginalisasi, subordinasi hingga kekerasan seksual. Ketika para aktivis atau publik menyuarakan isu perempuan, sama halnya menyuarakan isu kelompok rentan. Redy mengidolakan mereka dan berharap bisa mengikuti jejaknya menjadi penggerak perdamaian.
Gayung bersambut. Di akhir tahun 2013, atas rekomendasi Farha Ciciek, Redy didelegasikan mengikuti Youth Ambassador Diversity yang diadakan oleh Search for Common Ground berkolaborasi dengan the Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia. Kegiatan yang diselenggarakan selama 2 hari di Yogyakarta ini merupakan pelatihan yang fokus pada pemberdayaan kelompok muda untuk berpartisipasi secara bermakna dalam mengkampanyekan perdamaian dan toleransi.
Melalui kegiatan ini, Redy bertemu dengan Hanifah, Ghufron dan Maskur, tim AMAN Indonesia. Semakin banyak aktivis yang ia temui, semakin sering frekuensi pertemuan dengan aktivis, semakin mengukuhkan jiwa Redy untuk bergerak dalam kerja-kerja kemanusiaan. Selain mereka, Redy juga berkenalan dengan Sulis, Direktur Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember. Beliau merupakan pencetus Pasar Kita, sebuah gerakan penguatan ekonomi khusus bagi perempuan pedagang usaha mikro maupun menengah (UMKM) dengan memanfaatkan media grup Whatsapp. Inisiatif ini terinspirasi dari keberanian perempuan korban KDRT yang menggugat cerai suaminya dan berusaha mandiri secara finansial. Di ruang yang lain, Redy berkenalan dengan Misiyah, aktivis perempuan yang telah mendedikasikan lebih dari 23 tahun memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.
Perkenalan Redy dengan para feminis membuat perspektif Redy terbentuk dan semakin terasah sehingga panggilan jiwanya untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan terus menguat. Menciptakan kekuatan besar solidaritas aktivis kemanusiaan dari untaian tali pertemanan. Bermula dari sebuah camp atau kegiatan, kemudian terbentuklah sebuah komunitas bernama Youth Ambassador for Peace atau Duta Pemuda untuk Perdamaian di tahun 2014. Selanjutnya, komunitas ini bertransformasi menjadi sebuah organisasi bernama Peace Leader (PL) Indonesia, dan Redy adalah salah satu penggerak dan menjadi ketua koordinator sejak awal lahir hingga sekarang.
Membangun Komunitas Pemuda Lintas Iman, Peace Leader Indonesia
“Kerja-kerja kemanusiaan adalah kerja-kerja pelayanan yang dapat menjadi berkat bagi kita dan sesamanya,” — Redy Saputro
Youth Ambassador Diversity sebagai cikal bakal lahirnya Peace Leader Indonesia merubah hidup Redy. Bersinggungan dengan para aktivis perempuan hingga mempertemukan Redy dengan anak muda lainnya dari berbagai daerah se-Indonesia, Redy memahami bahwa perlu perjuangan meraih perdamaian, termasuk melibatkan peran kelompok muda. Redy sebagai representasi atau cerminan kelompok minoritas merasa penting untuk bersuara dan hal tersebut menjadi motivasi tersendiri baginya untuk terus berada dalam jalan perjuangan ini. Ia membawa suara-suara terpinggirkan. Tak banyak jumlahnya dari mereka (baca:kelompok minoritas) yang punya keberanian untuk bersuara.
Petuah Romo dari gereja yang Redy sering dengar setiap minggunya selalu terngiang dalam benaknya. Ia meyakini bahwa mengkampanyekan perdamaian adalah kerja-kerja kemanusiaan sama halnya kerja-kerja pelayanan yang mulia. Keteguhan motivasi inilah membawa Redy mampu menapaki 10 tahun bersama Peace Leader Indonesia. Masih jelas teringat dalam ingatan Redy, seusai mendeklarasikan diri sebagai Duta Pemuda untuk Perdamaian pada 28 Oktober 2014 di Jember, kemudian di tahun 2017 mendapat amanah membawa Peace Leader Indonesia ke ranah nasional karena transformasi AMAN Indonesia dari NGO menjadi sebuah gerakan, Redy semakin memantapkan diri untuk menjadi penggerak perdamaian. Dunia ini sebetulnya tidak baik-baik saja, kekerasan terjadi di ranah privat maupun publik, dan anak muda punya peran untuk mewujudkan perdamaian. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Peace Leader Indonesia menjadi simpul inti gerakan Muslim progresif yang dinahkodai AMAN Indonesia selaku yang membidani lahirnya komunitas pemuda lintas iman ini. Hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri karena menjadi bagian dari gerakan berarti memiliki banyak sumber daya termasuk jaringan. Kerja-kerja kemanusiaan dapat terus berkelanjutan jika mampu membangun kekuatan kolektif dan kepemilikan antar sesama organisasi masyarakat sipil. Sebagai seorang pemimpin, Redy belajar hal fundamental nan krusial itu dari perjalanan organisasinya dan pengamatannya dari pemimpin-pemimpin organisasi lainnya. Salah satunya Ruby Kholifah, Direktur AMAN Indonesia. Prinsip dan nilai tersebut menjadi pedoman Redy dan ia terapkan dalam kepemimpinannya, memobilisasi anak muda menjadi penggerak perdamaian.
Berbeda dengan komunitas lintas iman yang didominasi orang tua seperti FKUB. Kegiatan yang dilakukan terkesan terlalu formal dan kaku, seminar dari satu panggung ke panggung lainnya. Anak muda dengan segudang ide dan gagasan mereka, melahirkan beragam kreativitas yang kemudian digunakan untuk menyampaikan pesan damai dengan cara-cara menyenangkan.
Pesan damai disampaikan kepada teman sejawat, lingkar keluarga, masyarakat sekolah atau kampus, hingga masyarakat digital secara luas melalui pemanfaatan media sosial, melalui Ngopeace atau ngobrol peace (perdamaian) di cafe atau warung kopi, Peace Goes to School, Peace Goes to Campus, jelajah tempat bersejarah melalui Peace Heritage dan bersih-bersih rumah ibadah melalui Peace Service. Beragam wadah bagi anak muda dicetuskan untuk belajar toleransi secara langsung dan menerapkan nilai-nilai yang telah dipelajari sejak bangku SD, Bhinneka Tunggal Ika.
Dari Masjid, Gereja Hingga Vihara: Siasat Membuka Ruang Perjumpaan dan Merangkul Juru Damai
Penerimaan yang Redy dapatkan dari para aktivis perempuan perdamaian menggerakkannya untuk membuka lebih besar pintu penerimaan terhadap kelompok minoritas lainnya. Ia ingin lebih banyak orang yang seperti dirinya. Merasa diterima meski berbeda, merasa penting bersuara untuk memperjuangkan keadilan. Beruntungnya Redy, Peace Leader Indonesia hadir sebagai kendaraan baginya untuk mewujudkan kesetaraan dan perdamaian.
Mengingat pengalamannya saat pertama kali berkunjung ke Tanoker, Redy memulai inisiatif dengan berkunjung ke rumah-rumah ibadah. “Waktu itu kita ke Masjid Cheng Ho di Jember. Kita lihat halaman masjid banyak sampah, lalu kita pungut sampah-sampah itu. Awalnya ada salah satu teman yang menolak karena kan udah ada petugas kebersihan. Tapi kita tetap melakukan bersih-bersih sampai akhirnya dilihat pengurus masjid lalu kita diajak ngobrol dan makan bersama,” ungkap Redy.
Kunci inisiatif Peace Leader dapat diterima dengan baik ialah dengan melakukan intervensi pada hal yang dianggap menjadi kepentingan bersama, soal kebersihan. Ketika masjid hanya diperuntukkan bagi umat Muslim beribadah, gereja hanya diperuntukkan bagi umat Kristiani beribadah, Vihara hanya diperuntukkan bagi umat Buddhis beribadah, tapi menjaga kebersihan lingkungan termasuk rumah ibadah adalah tanggung jawab semua orang. Alhasil, tak ada seorang pun teman yang meragukan kegiatan tersebut. Tidak juga khawatir dengan kondisi keimanannya. Setiap agama mengajarkan penganutnya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Pada akhirnya, tercetuslah Peace Service. Bukan sekedar kegiatan bersih-bersih, tetapi ruang perjumpaan dengan umat agama lain, mengenal keberagaman.
Ajaran moderasi beragama yang digaungkan pemerintah dan menjadi program unggulan tidak akan terimplementasi dengan baik jika tidak ada mobilisator yang bisa menghubungkan masyarakat dengan rumah ibadah atau tempat yang bisa merepresentasi suatu agama seperti pesantren. Berawal dari Masjid nyentrik baik segi nama maupun fisik bangunannya yang bergaya China dengan ornamen seperti lampion dan cat merah. Rasa penasaran anak muda terhadap banyak hal termasuk rasa ingin tahu tentang ritual umat beragama yang berbeda dijadikan Redy sebagai pintu masuk menggaet anak muda.
Bermodal relasi dan kepercayaan yang ia bangun sejak usia remaja, Redy memperluas kampanye perdamaian ke rumah ibadah lainnya seperti gereja dan vihara. Dari pengalaman baru tersebut, teman-teman muda yang terlibat akan menceritakan pengalamannya dengan keluarganya, teman sejawatnya dan beberapa membagikan pengalaman menarik ini ke media sosial. Redy pun tak ketinggalan. Ia bahkan pernah mendatangkan wartawan kenalannya untuk meliput kegiatan Peace Service agar lebih banyak publik yang paham bahwa merayakan perbedaan itu indah dan mengajak turut mempromosikan perdamaian.
*Bersambung