Friday, October 25, 2024
spot_img
HomeBukuBudaya Patriarki dan Sistem Kasta

Budaya Patriarki dan Sistem Kasta

Judul buku   : Tarian Bumi

Penulis          : Oka Rusmini

Tahun terbit : 2017

Juml               : 188 hlm

Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

Membaca cerita yang ditulis oleh Oka Rusmini, saya seperti menyelami berbagai ruang kehidupan yang nyata terjadi di masyarakat. Setiap cerita yang disampaikan, selalu dekat dengan budaya dan sejarah. Tidak hanya tulisan ini saja, Oka yang secara terang-terangan mengkritik budaya sosial yang terjadi di masyarakat. Sebab pada buku-buku lainnya seperti, Sagra, Kenanga, adalah salah satu dari sekian banyak karyanya yang memotret kehidupan perempuan dengan bayang-bayang budaya yang sangat patriarki.

Melalui buku “Tarian Bumi” Oka Rusmini menampilkan sebuah cerita yang sangat lekat dengan kehidupan Bali. Di mana tidak hanya tampil sebuah pemandangan eksotik, indah, penuh gemerlap dan sangat lekat dengan hal-hal magis.  Bali merupakan sebuah tempat yang paling direkomendasikan untuk melakukan healing dan berwisata. Bali menyuguhkan sejumlah tempat dengan keindahan yang luar biasa.

Namun di balik keindahan tersebut, ada sebuah budaya yang sangat tidak memanusiakan orang lain. Kususnya, kepada perempuan dalam persoalan kasta. Perempuan yang memiliki kasta Brahmana, tidak boleh bersuami dengan kasta yang lebih rendah. Di Bali, mayorita penduduknya adalah agama Hindu. Dalam agama ini, salah satu yang paling melekat dalam kehidupan masyarakat adalah persoalan kasta yang kerapkali menjadi sumber masalah, utamanya dalam membangun rumah tangga.

Sistem kasta setidaknya terdiri dari Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi yang sebagian besar di dalamnya adalah orang-orang yang berprofesi pendeta. Kasta kedua adalah Ksatria yang didominasi oleh para tentara dan pemimpin pemerintahan. Kasta ketiga ada Waisya yang diisi oleh para pedagang dan petani. Sedangkan kasta Sudra didominasi oleh para pengrajin dan buruh.

Melalui sistem kasta ini, perempuan di Bali tidak boleh menikah dengan orang yang memiliki kasta lebih rendah. Hal ini ditampilkan dalam sosok Telaga, perempuan Bali yang mencintai laki-laki dari kasta Sudra. Potret kebimbangan yang dimiliki oleh Telaga dengan pilihan yang sangat sulit antara cinta dan adat. Dua hal tersebut menjadi sebuah gambaran yang sangat penting, kehidupan perempuan Bali yang kompleks.

Mungkin terkesan sangat mudah untuk memberikan alternatif keputusan agar tidak memiliki laki-laki yang berasal dari kasta lebih rendah. Namun, titik permasalahannya adalah perasaan yang terpendam dan mencintai seseorang namun terhalang dengan kasta. Kehadiran neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi di griya-tempat tinggal kelurga bangsawan, menjadi salah satu faktor kebimbangan yang dimiliki oleh Telaga.

Ia selalu menjaga dan mengajarkan untuk menjaga martabat kekastaan Brahmana yang dimiliki oleh Telaga. Namun, hidupnya dikecewakan oleh pilihan anak laki-laki semata wayangnya yang menikah dengan perempuan Sudra, kasta terendah di Bali bernama Luh Sekar. Kehidupan rumah tangga keduanya tidak berjalan dengan baik meskipun ada Telaga, sebagai seorang anak. Pertikaian batin karena kasta yang dimiliki oleh Luh Sekar, nyatanya menjadi konflik yang tidak berkesudahan.

Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh…. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (hal. 25)

Baik nenek ataupun ibu Telaga, saling mengingatkan agar Telaga tetap menjaga kebangsawanana itu dengan menikahi laki-laki yang berasal dari kasta bangsawan. Ia juga dituntut untuk menjadi cantik, penari terbaik seperti selayaknya perempuan Bali yang ditampilkan sebagai ikon Bali. Tidak hanya itu, di balik dari potret penari Bali yang menjadi salah satu faktor pelestari budaya Bali, yang menarik bagi para wisatawan.

Novel ini juga mengkritik ketidakhadiran pemerintah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pelaku seni yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan Bali. Selain itu, novel ini hanya memotret sosok laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Hampir semua laki-laki yang dihadirkan dalam cerita adalah laki-laki yang sangat buruk. Mereka hanya pandai menakar tubuh perempuan demi memuaskan nafsunya.

Beberapa potret laki-laki menikahi perempuan supaya tidak perlu repot-repot untuk mencari uang. Sehingga setelah menikah bisa hidup santai sedangkan sang perempuan harus menanggung beban berat dalam pernikahan itu.  Meskipun demikian, novel ini sangat kaya tentang tradisi, pengetahuan dan pengalaman yang bercampur menjadi satu. Pembaca akan menemukan referensi yang tepat berkenaan dengan budaya patriarki yang masih mengakar.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments