Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan, selama kurun waktu 10 tahun (2012-2021) terdapat 49.729 kasus kekerasan seksual. Dimana 69% dari keseluruhan kasus kekerasan seksual berupa KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) dan 49% berupa kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan juga terjadi di lingkup pendidikan. Tragisnya, perguruan tinggi menempati urutan pertama (35%) sebagai instansi yang paling banyak menangani kekerasan seksual.
Disusul pada urutan kedua pesantren atau Pendidikan berbasis agama Islam di angka 16%. Dari segi actor atau pelaku yang dilaporkan, 9% terlapor kekerasan seksual justru berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi panutan di masyarakat. ASN, dosen, dan kepala desa menjadi terlapor terbanyak sepanjang tahun 2018-2021. Adanya relasi kuasa antara pelau dan korban menjadikan kekerasan seksual sebagai kejahatan yang tidak memiliki titik temu dan penyelesaian.
Program PTRG Sebagai Keharusan
Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 menginstruksikan agar pengarusutamaan gender dimasukkan ke dalam seluruh proses pembangunan. Pengarusutamaan gender adalah bagian yang tidak terpisahkan dari instansi dan lembaga pemerintah, termasuk lembaga pendidikan. Salah satunya diwujudkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP & PA) dengan menyusun indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) bersama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) di tahun 2019.
Namun sayangnya, indikator yang telah disusun tersebut masih sangat global. Sehingga tidak semua perguruan tinggi memiliki kesiapan dan infrastruktur yang sama dalam mewujudkan PTRG. Maka dari itu, indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) perlu dibahas lebih detail agar operasional. Atas dasar itulah, JASS dan Hivos mendampingi Rumah KitaB dalam memfasilitasi aliansi PTRG untuk menyusun draff operasionalisai PTRG.
Alinasi PTRG terdiri dari 8 perguruan tinggi meliputi IAIN Metro, IAIN Pekalongan, IAIN Ponorogo, UIN Walisongo Semarang, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, dan UNISNU Jepara. Aliansi ini terbentuk karena ada program penyusunan operasionalisasi draff Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG).
Indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender
Dalam mewujudkan PTRG, maka perguruan tinggi harus memenuhi sembilan indikator yaitu: 1) Adanya Pusat Studi Gender dan Anak atau Pusat Studi Wanita; 2) Memiliki data profil gender perguruan tinggi; 3) Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi; 4) Pendidikan & pengajaran responsif gender; 5) Penelitian responsif gender; 6) Pengabdian masyarakat terintegrasi gender; 7) Tata kelola perguruan tinggi responsif gender; 8) Peran serta sivitas akademika dalam perencanaan sampai dengan evaluasi & tindak lanjut tridarma perguruan tinggi yang responsif gender; 9) Zero tolerance kekerasan terhadap perempuan dan laki- laki.
Sembilan indikator tersebut dipadatkan menjadi empat bagian kunci: Pertama, Kelembagaan yang meliputi: adanya Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak atau Pusat Studi Wanita, memiliki data profil gender perguruan tinggi, dan adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi. Kedua, Tridarma perguruan tinggi yang meliputi: pendidikan & pengajaran responsif gender dan inklusi sosial, penelitian responsif gender, dan pengabdian masyarakat terintegrasi gender. Ketiga, tata kelola & monitoring/evaluasi yang meliputi penganggaran responsif gender. Keempat, Budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan.
Saat ini, dokumen operasionalisasi PTRG dalam tahap finalisasi dokumen oleh ahli. Finalisasi ini perlu dilakukan mengingat karakteristik dan kondisi perguruan tinggi berbeda-beda dan memiliki pengalaman yang khas. Dokumen ini juga bersifat living document, maka setiap pihak terbuka untuk berkontribusi dalam menyempurnakan dokumen. Disesuaikan dengan konteks dan terus mengalami perbaikan.
Implementasi pengaurusutamaan gender di perguruan tinggi akan tercipta. Hal tersebut terjadi jika seluruh elemen di lembaga pendidikan menjadikan nilai kesetaraan dan kemanusiaan sebagai nilai pokok yang dijadikan landasan. Pengaurusutamaan gender bukan masalah pemberian dukungan pada jenis kelamin tertentu dengan mendiskriditkan jenis kelamin lainnya.
Namun pengarusutamana gender adalah sebuah upaya untuk memberikan perlindungan bagi pihak yang paling terdiskriminasi diantara pihak lainnya. Tanpa mewujudkan perguruan tinggi yang responsive gender, kasus kekerasan seksual selamanya akan dianggap sebuah aib yang justru akan semakin rapat disimpan. Korban akan semakin terpuruk dan menyalahkan diri sendiri, sedangkan pelaku semakin bebes mencari mangsa dan target selanjutnya dengan memanfaatkan relasi kuasa.