“The more miserable you are, the happier your social media posts.”
Sebuah riset dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang tidak puas dengan kehidupannya, cenderung menampilkan hal-hal sebaliknya di media sosial. Meski tidak semua berperilaku seperti itu, namun satu kasus pembunuhan di daerah pinggiran Colorado ternyata membuktikan asumsi itu. Bagaimana korelasi antara tampilan platform media sosial dengan realita sesungguhnya. Bahkan sempat mengaburkan penyelidikan pembunuhan anggota keluarga yang terekam penuh di film documenter “American Murder: The Family Next Door”.
Seorang istri sekaligus ibu dari dua anak perempuan, Shanann Watts adalah sosok yang selalu membagikan momen-momen bahagia bersama keluarganya. Ia kerap memperlihatkan bagaimana manis kedua anaknya tumbuh. Begitu juga tampilan sosok suami yang penuh kasih sayang lewat jepretan kamera. Namun siapa sangka rentetan postingan menyenangkan tersebut berbanding terbalik ketika ia ditemukan hilang mendadak sesaat akan melakukan pemeriksaan kehamilan.
Seorang kawan dekat yang akan menemaninya ke dokter pun kebingungan karena seluruh pesan dan panggilan telpon, tak dihiraukan oleh Shanann. Ia betul-betul kehilangan jejak wanita berambut gelap itu. Bahkan ketika ia mendatangi rumah Shanann, ia pun tak berhasil dijumpai. Ponsel dan tasnya masih tertinggal di rumah. Hal yang sangat mengganjal terjadi jika ia memang ingin meninggalkan rumah dalam jangka waktu lama.
Chris Watts, suami Shanann kemudian menyampaikan bahwa ia merasa kehilangan istri dan kedua anak perempuannya. Ia mengaku pada pihak polisi bahwa mereka pergi begitu saja dari rumah. Pengakuan Chris ini awalnya dipercaya polisi, tapi hal-hal yang pihak berwenang temukan di rumah Chris dan Shanann justru kemudian menggiring polisi untuk memeriksa Chris lebih mendalam.
Ketika diperiksa polisi, Chris Watts mengaku bahwa ia tak mengetahui keberadaan anggota keluarganya. Karena tak percaya atas pengakuannya, pihak kepolisian akhirnya melakukan tes poligraf atau pendeteksi kebohongan. Dan Chris ternyata gagal melewati tes tersebut, yang menandakan bahwa ia selama ini berbohong pada pihak berwajid. Usai beberapa kali pemeriksaan, Chris akhirnya mengaku. Ia sebenarnya telah mencekik istrinya yang sedang hamil, yang berusia 34 tahun pada saat kematiannya, di tempat tidur pada pagi hari tanggal 13 Agustus setelah percakapan penuh emosi tentang kemungkinan perceraian mereka.
Setelah upaya yang gagal untuk membekap kedua putrinya yang masih kecil di rumah, film dokumenter Netflix menceritakan bagaimana Chris lalu membawa mereka, hidup-hidup, di dalam mobil dengan mayat ibu mereka menuju ke klang minyak tempat dia bekerja. Setelah ia berhasil mengubur Shanann di kuburan yang dangkal, Chris lalu membekap dan mendorong tubuh Bella dan Celeste melalui lubang kecil di tangki minyak besar hingga mereka tak lagi bernafas.
Mengapa Orang Terdekat Tega Melakukan Familisida? Meskipun tidak banyak penelitian tentang familicides atau pembunuhan anggota keluarga oleh orang terdekat, namun sebagian besar kasus sejenis melibatkan relasi gender yang toksik. Sebagian besar kasus kekerasan ini biasanya dipengaruhi oleh dimensi sosial dan struktural gender. Dalam kasus familicides, riset yang ada menunjukkan bahwa mereka hampir secara eksklusif dilakukan oleh laki-laki dalam hubungan keluarga heteroseksual.
Meski ada juga yang dilakukan oleh pihak perempuan. Riwayat kekerasan dalam rumah tangga kerap menjadi faktor utama pemicunya. Studi familisida individu menunjukkan tingkat yang bervariasi, tetapi tinjauan baru-baru dari studi ini menemukan riwayat kekerasan dalam rumah tangga. Faktor pendorong lainnya adalah korban terindikasi akan meninggalkan atau mengomunikasikan niat mereka untuk meninggalkan hubungan – yang selanjutnya membuat galau atau panik pelaku yang tak dapat mengontrol emosinya dengan baik.
Namun, pembunuhan keluarga tidak selalu didahului dengan kekerasan. Sebuah keinginan dan rasa hak untuk mengontrol – terutama atas keuangan dan “unit” keluarga bisa juga menjadi latar belakang. Familisida sering terjadi saat “kepala rumah tangga” laki-laki merasa kehilangan otoritas atau tak diakui lagi sebagai sosok yang paling dihargai dalam keluarga.
Hilangnya kendali atas domain “maskulin” adalah inti dari familisida, bahkan di mana tidak ada riwayat kekerasan dalam rumah tangga yang jelas. Beberapa pelaku yang tindakannya mungkin tampak “tiba-tiba” sejatinya punya akar permasalahan kompleks yang mungkin tidak pernah dikomunikasikan dengan terbuka bersama pasangan. Alih- alih membuka dialog dan mencari jalan keluar, kedua belah saling memendam, dan ketika emosinya sudah memuncak, efeknya justru sangat fatal.