HomeOpiniMenjawab Potret Rasisme Papua di Pulau Jawa

Menjawab Potret Rasisme Papua di Pulau Jawa

Sebagai orang yang terlahir dari Jawa, menjadi kelompok mayoritas di negara Indonesia, rasanya seperti tidak merasa bersalah ketika dalam sebuah perkumpulan menggunakan bahasa jawa, tapi dihadiri oleh banyak kalangan termasuk teman-temanyang berasal dari luar pulau Jawa. Perkumpulan yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia, menjadi tidak inklusif karena tidak mempertimbangkan orang-orang yang hadir pada forum tersebut. Selain itu, menjadi orang Jawa seperti menduduki kasta tertinggi bangsa Indonesia.

Hal ini bisa terlihat dari keunggulan dalam pendidikan, wilayah strategis yang digunakan seperti halnya ibu kota Indonesia, hingga berbagai tempat dibutuhkan tersedia di pulau Jawa. Tidak jarang, ketika berasal dari di luar pulau Jawa seperti: Kalimantan, khususnya Papua yang selalu merasa menjadi inferior ketika berhadapan dengan orang Jawa. Di Yogyakarta, kelompok mahasiswa Papua kerapkali dicap sebagai kelompok yang keras, sering bermasalah dan memiliki banyak catatan merah.

Hal ini bisa dilihat di daerah Babarsari, Yogyakarta yang beberapa waktu lalu ramai karena terjadi perselisihan antara dua kelompok Papua yang menyebabkan adanya korban Jiwa. Konflik rasisme semacam ini muncul dan terjadi karena permasalahan yang berbentuk fisik antara yang satu dengan yang lain. Isu rasisme yang terjadi di Indonesia ini mengakibatkan bentuk perbedaan berdasarkan warna kulit sehingga memiliki dampak yang memicu lahirnya gerakan-gerakan yang kurang pantas dengan mengunggulkan rasnya sendiri.

Sikap superior yang muncul dalam diri/kelompok akan melahirkan sebuah rasialisme yang akan menjadi faktor pemicu pemecah belah bangsa Indonesia. Atas dasar konflik ini, menjadi sebuah semangat positif yang luar biasa atas hadirnya Film Srawung lan Tetulung yang terbitkan oleh Pemerintah Yogyakarta. Film pendek ini memotret sebuah kehidupan anak muda Papua yang sedang merantau ke Yogyakarta dengan pesan hangat dan kekeluargaan begitu mendalam. Melalui durasi sekitar 6.52 menit, film ini mampu memberikan pesan bahwa, lingkungan Yogyakarta sangat menerima segala bentuk perbedaan yang datang, termasuk masyarakat Papua.

Dibuka dengan scene pria Papua yang sedang membereskan motornya sedang macet, terjadi dialog antara seorang bapak dengan laki-laki itu untuk mengundang acara kerja bakti. Laki-laki Papua yang tidak terbiasa dengan kegiatan kerja bakti, justru mempertanyakan bahwa kerja bakti tersebut tidak perlu dilakukan pada masa sekarang karena bisa dilakukan dengan menyewa tukang bersih-bersih. Padahal, secara sosial, budaya gotong royong menjadi salah satu kekayaan masyarakat desa untuk menguatkan kerukunan dan keberagaman.

Scene selanjutnya menampilkan motor laki-laki Papua yang mogok kekurangan bensin. Laki-laki tersebut bertemu dengan sepasang laki-laki dan perempuan dari desa setempat, kemudian membantu untuk membelikan bensin. Pada fase ini, laki-laki Papua tersebut merasa kalau kebaikan masyarakat desa setempat kepada orang Papua, penduduk baru di daerah itu membuktikan bahwa kekeluargaan yang tercipta di desa itu sangat terlihat. Saling mengasihi satu sama lain menjadi salah satu nilai utama bagi masyarakat desa untuk menerima seluruh kalangan.

Selanjutnya, scene ketiga menampilkan motor mogok yang kemudian, ia bertemu dengan sekelompok pemuda yang membawa golok, celurit dan alat tajam lainnya. laki-laki Papua ini kabur karena mengira bahwa ia akan dibunuh atau diperlakukan tidak baik. Akan tetapi, nyatanya sekelompok pemuda ini justru adalah pemuda desa yang akan kerja bakti. Selepas kerja bakti, mereka justru secara sigap memberikan bantuan kepada laki-laki Papua yang sedang bermasalah dengan motornya.

Film pendek ini tidak hanya mengajarkan tentang keterbukaan yang tercipta pada masyarakat desa. Kehadiran orang Papua dalam film itu, memberikan  kesan bahwa Yogyakarta adalah tempat yang menerima semua kalangan. Sikap tolong menolong adalah bukti bahwa, karakter yang dimiliki masyarakat Yogyakarta adalah terbuka dan saling mengasihi satu sama lain.

Sayangnya, film ini belum ada peran perempuan yang mendukung terhadap perilaku hidup saling tolong menolon dan mengasihi satu sama lain. Perempuan dalam film singkat ini hanya sebagai pemeran hiburan yang menemani laki-laki untuk mengendarai motor lalu memberikan bensin kepada pemuda Papua. Seharusnya, peran perempuan dalam film ini bisa ditonjolkan sebagai sikap welas asih dalam mengayomi satu sama lain. Sebab bagaimanapun, posisi perempuan untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, ruang perdamaian dan saling tolong menolong sangat besar apabila diberi ruang.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments