Beberapa hari ini, kita melihat solidaritas masyarakat Pati begitu luar biasa menolak kenaikan pajak yang berlaku. Perjuangan warga Pati melawan ketidakadilan bukan hal yang baru. Sejarah mengisahkan perlawanan oleh masyarakat Pati sudah turun temurun sejak zaman penjajahan hingga sekarang.
Di Pati, ada masyarakat Samin, sering disebut Sedulur Sikep yang memiliki ajaran tanpa kekerasan. Mereka merupakan kelompok penghayat yang sehari-hari merawat lingkungan, utamanya di lereng pegunungan Kendeng.
Dulu, mereka pernah menolak membayar pajak yang tinggi kepada kolonial Belanda. Ajaran tanpa kekerasan Sedulur Sikep pun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (kebudayaan.kemdikbud.go.id, diakses 2020).
Perlawanan atas ketidakadilan itu terus hidup dan menyala. Perempuan adat merupakan salah satu penggeraknya. Perempuan punya hubungan yang dekat dengan lingkungan. Pengalaman-pengalaman khas perempuan, seperti salah satunya menstruasi, membutuhkan akses air bersih yang mudah dan memadai untuk membersihkan alat reproduksi serta menjaga tubuh perempuan tetap terhidrasi.
Gunarti, perempuan adat di lereng pegunungan Kendeng, pernah menyaksikan Gua Lawa yang menjadi salah satu sumber kehidupan itu dieksploitasi besar-besaran fosfatnya demi pendirian pabrik semen.
Hatinya teriris karena alam diobrak-abrik untuk kepentingan penguasa. Beliau pun bersumpah untuk menyelamatkan tempatnya demi keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan.
Beberapa waktu lalu, saya dan komunitas perempuan Muda Bersuara datang ke lereng Kendeng. Kami dipersilakan masuk ke Omah Kendeng oleh Gunarti dan para perempuan Kendeng.
Omah berbentuk joglo tersebut menjadi tempat Gunarti mengumpulkan warga sekitar, khususnya perempuan. “Perempuan perlu memahami bahwa mereka punya peran besar untuk menjaga lingkungan agar lestari hingga anak cucu nanti,” ucap Gunarti.
Beliau bercerita perihal perjuangannya untuk mengumpulkan perempuan yang tidak mudah. Mengayuh sepeda ontel berjarak puluhan kilometer, melewati desa satu ke desa lain, melampaui bukit dan lembah.
Lelahnya diiringi semangat dan sabarnya demi merangkul perempuan-perempuan, bergerak dan berdampak untuk masa depan Pegunungan Kendeng yang menjadi sumber kehidupan.
Masyarakat di Pegunungan Kendeng memeluk beragam agama dan kepercayaan. Dibalut indahnya keberagaman, mereka sama-sama ingin melindungi Pegunungan Kendeng agar tetap hijau dan bisa terus memberikan manfaat bagi kehidupan.
Salah satu ruang yang dimanfaatkan Gunarti untuk memobilisasi masyarakat dan membangun kekuatan kolektif melalui Tahlilan dan Yasinan. Tempat dimana masyarakat berkumpul, bercengkrama, dan saling menyadarkan tentang pentingnya membela sumber air mereka dari eksploitasi perusahaan semen.
Menjaga kelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab semua pihak, tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan. Apabila lingkungan rusak, kegiatan sosial dan spiritual pun akan terganggu.
Gunarti mengambil peran bersama para perempuan Kendeng. Melibatkan partisipasi perempuan secara bermakna dapat mendorong tumbuhnya rasa empati dan dapat mengakomodir suara-suara kelompok rentan lainnya. Perempuan sebagai interpretasi kelompok rentan, sehingga pandangan dan pengambilan keputusan bisa se-inklusif mungkin.
Perempuan lereng Kendeng pun membuat gebrakan dengan membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh bermakna dua sumber mata air; Simbar Joyo dan Gua Wareh. Kedua sumber air tersebut akan terancam, bahkan hilang ketika pabrik semen berdiri di tempat mereka melangsungkan kehidupan.
Para perempuan menggerakkan perekonomian dan mengenalkan produk hasil dari Pegunungan Kendeng yang berupa rempah-rempah Kendeng. Gunarti menguatkan perempuan lereng Kendeng untuk memproduksi beraneka macam jamu yang berguna bagi kesehatan, seperti kunyit, kunyit asam, beras kencur, dan temulawak.
Produk jamu membawa pesan kepada masyarakat bahwa Pegunungan Kendeng perlu dijaga kelestariannya, termasuk merawat Warisan Budaya Takbenda di wilayah Jawa Tengah. Perilaku meracik jamu merupakan kearifan lokal yang bertahan karena lingkungan dan budaya yang saling menjaga.
Ketika lingkungan hancur, warisan budaya pun bisa saja musnah. Menjaga Warisan Budaya Takbenda pun harus menjaga perajin dan subjek yang terlibat dalam pelestarian, termasuk perempuan.
Kepemimpinan perempuan senyatanya punya dampak signifikan. Gunarti, para perempuan, dan masyarakat lereng Kendeng hingga saat ini terus berjuang melawan kerusakan alam yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri.
Pada akhirnya, yang benar-benar menjaga alam adalah perempuan. Sebab hanya perempuan punya rahim. Bersifat melindungi, merawat, menjaga, dan memberikan kehidupan. Tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi bagi orang-orang di sekitarnya.