”Ada seseorang yang bilang kepada saya, jika saya berhak bahagia. Pernyataan tersebut membuat saya bahagia dan itu menyenangkan,” begitu kata Tia dalam wawancara bersama tim She Builds Peace.
Suaranya sedikit tersendat ketika mengucapkan hal tersebut. Saya membayangkan jika Tia Brizantiana telah membayangkan seseorang itu. Wawancara kami begitu mendalam, saya baru mendengar cerita darinya secara personal. Selama ini, saya hanya berinteraksi sebagai rekan kerja yang sama-sama fokus dalam isu ekstremisme kekerasan dan kolaborasi konten.
Sejak kecil, Tia selalu dilabeli akan masuk neraka. Label tersebut diterima karena selalu melogikakan agama. Sejak kecil, dirinya berpikir kritis mulai dari masalah qada dan qadar, kematian, hingga adanya surga dan neraka. Pertanyaan kritis Tia sulit dijawab oleh orang tuanya. Sedangkan, dalam dirinya terus berkecamuk keinginan untuk mendapatkan jawaban dari keraguannya tersebut.
”Saya sering mempertentangkan atau mempertanyakan beberapa hal agama dengan logika. Contohnya jika memang seseorang sudah mempunyai takdirnya, ada qada dan qadar. Jika qodarnya adalah sakaratul maut dalam keadaan tidak beriman apakah tidak akan bisa masuk surga?” tanya Tia.
Tia lahir dari keluarga yang religius. Kakeknya merupakan salah satu tokoh agama di Kota Solo yang menganggap pertanyaan-pertanyaan Tia menentang agama. Hingga akhirnya Tia dilabeli akan masuk neraka yang membuat dirinya kesal dan sedih. Bagaimana tidak, neraka adalah sebuah tempat yang paling menakutkan bagi manusia beragama setelah meninggal. Semua orang tidak ingin masuk neraka. Sedangkan, dirinya sejak kecil sudah dilabeli hal itu.
Selain itu, diskriminasi yang dialami membuat Tia membenci dirinya karena terlahir sebagai perempuan. Namun kepintarannya mengantarkan Tia masuk ke SMA favoritnya hingga mencetak banyak prestasi. Tia ditunjuk menjadi ketua cheerleader yang membawa banyak pengalaman yang menyenangkan. Melalui ekstrakurikuler cheerleader, Tia dan timnya terpilih untuk beraksi di pembukaan konser grup musik Sheila on 7 di Gelanggang Olahraga Manahan, Solo. Begitu juga dengan pembukaan pembukaan pertandingan sepakbola oleh Pelita Solo di Stadion Manahan yang bergengsi. Tia dan tim cheerleader-nya terpilih untuk tampil bersama penampil dari dua sekolah lainnya.
Masa SMA yang dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan positif dan menyenangkan juga membuat Tia berprestasi secara akademik. Setelah lulus, ia pun berhasil masuk Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret.
Awal Mula Pendampingan Anak Muda
Pengalaman diskriminasi sejak kecil hingga dewasa membuat dirinya terus berkembang. Tia memiliki tekad untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi anak muda. Tekad tersebut membawa dirinya untuk bekerja sebagai program officer di sebuah lembaga non profit yaitu Solo Bersimfoni.
Tia percaya, bahwa cinta dan kasih sayang adalah kunci dalam mendampingi anak muda. Hal ini dapat diwujudkan dengan melawan kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi di dunia pendidikan. Tia yakin bahwa setiap anak muda memiliki potensi besar untuk menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Namun, kekerasan dan intoleransi dapat menghambat perkembangan mereka.
Sebagai pendamping anak muda, Tia berusaha memberikan edukasi dan pemahaman tentang pentingnya toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan kesetaraan gender. Namun, tantangan selalu ada. Tia masih sering mendapati kasus kekerasan seksual dan intoleransi di lingkungan sekolah. Sebuah pengalaman yang sangat menggugah hatinya adalah ketika seorang anak muda berkata padanya bahwa perempuan korban perkosaan yang hamil berarti menikmati perlakuan buruk yang menimpanya.
Tia tidak tinggal diam. Ia terus memperjuangkan hak-hak anak muda dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tia percaya bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat, semua orang dapat berkontribusi dalam memberantas ketidakadilan dan kekerasan di dunia pendidikan.