HomeCerita Kustiah: Kepemimpinan NU Mengayomi (Part 3)

Cerita Kustiah: Kepemimpinan NU Mengayomi (Part 3)

Kustiah terus memainkan narasi positif dengan menggali nilai-nilai dan praktik genuin yang dijalankan oleh para pendahulu NU dan tokoh-tokoh besar NU. Bahkan dalam upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri pada Kyai untuk mengambil sikap tegas terhadap tindakan intoleransi yang terjadi di masyarakat, Kustiah tidak segan-segan mengambil contoh-contoh tauladan yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar. 

Narasi tauladan ini dihadirkan dalam cerita-cerita tentang Gus Dur yang sering pasang badan untuk kelompok yang terdiskriminasi, sehingga banyak orang merasa nyaman dan merasa terlindungi. Gus Dur juga dikenal sangat banyak temannya dari berbagai macam agama berbeda-beda. Kustiah juga tidak segan-segan membawa cerita tentang Kyainya sewaktu dia mondok, dimana Kyainya dia yakini adalah tokoh yang mengayomi dan tauladan karena bisa menyelesaikan sejumlah persoalan publik. Kustiah tidak bermaksud mengkomparasi, tetapi memberikan referensi kepada Kyai yang sedang dia hadapi agar tidak takut dalam mengambil sikap tegas terhadap intoleransi. 

Kustiah terus melancarkan kembali kepada nilai-nilai ke-NUan, termasuk dalam mempopulerkan kepemimpinan NU yang dikenal mengayomi. Narasi NU sebagai rumah bersama terus dikumandangkan di setiap kesempatan. Terutama untuk memperkuat keyakinan para tokoh NU agar kembali menjalankan sebuah kepemimpinan yang mengayomi, artinya siapa saja yang Hadir atau bersama dengan NU akan merasa nyaman dan terlindungi. 

Dengan sejumlah pendekatan informal dan lebih bersifat kekeluargaan, kepercayaan terhadap Kustiah meningkat dengan sejumlah tokoh NU. Pertemuan-pertemuan kecil untuk diskusi sering dilakukan untuk membahas hal-hal penting. Panggilan Bu Ustazah kepada Kustiah merupakan pertanda pengakuan atas pengetahuan yang dimiliki Kustiah. Ini mengubah pola perbincangan yang lebih setara dan melihat Kustian bukan hanya pemimpin perempuan, tetapi orang berilmu yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh para kyai di NU. 

Membangun kultur baru Majlis Ta’lim 

Di kultur Bogor, Majlis Ta’lim ini selain sebagai ruang publik berkumpul para perempuan muslim, juga dianggap sebagai medium belajar Islam yang paling populer. Tidak semua MT berafiliasi dengan NU. Tetapi hampir banyak MT menjalankan amalan NU. Inilah yang mendorong Kustiah untuk tertarik melakukan pengorganisasian pada MT. Menurutnya kalau mereka telah menjalankan praktik amalan NU, maka itu artinya mereka nyaman dan bisa menerima ajaran NU, khususnya nilai-nilai yang dibangun oleh pendiri NU. 

Kustiah menyadari bahwa tidak semua pimpinan MT atau penceramah yang dihadirkan untuk mengajarkan agama di MT itu memiliki keterbukaan perspektif. Banyak dari para penceramah yang menunjukkan perspektif sangat konservatif. Maka Kustiah merasa perlu untuk melakukan sejumlah intervensi kepada MT, agar betul-betul menjalankan nilai NU. Melalui pemberdayaan perempuan yang terlibat dalam MT, maka perubahan bisa dilakukan. 

Kustiah menggunakan berbagai pendekatan untuk membahas tentang pentingnya kesetaraan gender, misalnya melalui program Parenting, dimana kegelisahan para orang tua atas ketergantungan anak pada gadget , dijadikan entry point dalam membicarakan parenting yang baik. “ibu-ibu ada gak yang anaknya gak pegang HP? “gak ada”.  Jadi saat ibu memanggil apa reaksi anak? “wah diem aja di kamar aja” . Khususnya membangun relasi terbuka antara orang tua dengan anak. Kustiah mengajarkan bahwa orang tua seharusnya tidak memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi kepada anak, karena kemudian sangat mudah terjebak pada perilaku kekerasan. Berikut cara Kustiah memancing forum diskusi di dalam MT. 

Dengan pemberdayaan perempuan di MT, Kustiah yakin kualitas perempuan akan meningkat. Pasalnya mereka adalah orang pertama yang menghadapi keluarga dan termasuk perubahan di komunitas. Perempuan dengan karakter komunal dan tingkat kepedulian yang tinggi (sering orang menyebutnya kepo tinggi), seharusnya bisa menjadi agen perubahan yang kuat, jika dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang benar.  Kustiah juga mengajarkan kepada anggota MT untuk memetakan para penceramah yang dianggap bias gender, dan tidak mengundangnya dalam forum selanjutnya. 

“kenapa melalui majelis taklim itu, karena satu ibu kan dalam satu keluarga di ruang meja makan itu  bisa mempengaruhi anak- anaknya juga bisa dengan suaminya.  Kalau dia berdaya, memiliki argumentasi yang cukup, maka sangat mungkin mempengaruhi seluruh anggota keluarganya. “ 

Sayangnya, potensi perempuan ini sering belum dilihat oleh banyak pihak. Bahkan ketika perempuan yang mengetahui banyak peristiwa, mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pengalaman dan aspirasinya. Di masyarakat telah terbukti ada banyak kontribusi perempuan, dan manuver-manuver dalam pembangunan yang dilakukan perempuan. Jadi, dalam skup Majlis Ta’lim diharapkan bisa menjadi ruang affirmative action buat perempuan untuk mengembangkan skill kepemimpinannya. 

Camat Perempuan dan harapan inklusivitas 

Selain pendekatan kultural, Kustiah juga melakukan sejumlah pendekatan informal kepada sejumlah perwakilan pemerintah. Pendekatan dengan Kepala Desa dilakukan dengan sangat informal dan tidak langsung pada pokok permasalahannya. Ini karena sifat kepala desa yang sensitif terhadap peristiwa pelarangan natal. Juga ada banyak pressure terhadap kepala desa, yang membuatnya lebih bersikap hati-hati. Kabar punya kabar, sejumlah wartawan bodrek sering memeras kepala desa. Kustiah dalam konteks ini juga terpaksa menggunakan pengalaman menjadi bagian dari AJI, untuk menegaskan bawa tindakan meminta uang tidak dibenarkan dalam kode etik jurnalis.

Kehadiran Bu Camat, membuat proses penyelesaian kasus intoleransi menunjukkan proses yang berbeda. Bu Camat dikenal sebagai pihak yang terbuka dan memiliki perspektif bagus dalam soal perdamaian, perempuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Kepedulian Bu Camat pada persoalan perempuan, ditunjukan dengan sikap terbuka dan merangkul. Dalam konteks penyelesaian kasus intoleransi beliau memberikan kesanggupan untuk memfasilitasi prosesnya. “Rumah saya menganggap rumah pertama saya itu setelah lingkungan kecamatan, yang satunya lagi NU. Saya bersiap memfasilitasi,”. 

Sebagai seorang pemimpin perempuan yang memiliki kepedulian, Bu Camat sangat strategis untuk menyampaikan sejumlah data dampak kekerasan terhadap perempuan, dampak intoleransi pada perempuan dan anak. Peluang untuk mendengarkan banyak perempuan sebagai saksi maupun korban pelarangan Natal, akan memberikan detail dan keragaman cerita. Semoga ini bisa menjadi kekuatan positif dalam menggerakkan empati para aktor, sehingga jalan keluar yang moderat bisa diambil. 

Penutup: Dealing dengan Si Kolot 

Penyelesaian kasus intoleransi biasanya memakan waktu yang tidak pendek. Maka dibutuhkan lapis-lapis resiliensi pada aktor-aktor yang terlibat dalam penyelesaian kasus intoleransi. Terutama pada korbannya langsung, resiliensi individu sangat dibutuhkan karena mereka secara intensif akan terus dilibatkan dalam dialog-dialog dengan berbagai pihak. Resiliensi pada individu bisa kuat Jika para korban juga mendapatkan peningkatan kapasitas dan terus bersama. Kustiah memberikan sejumlah tips untuk menjadi resilien sebagai berikut:

Pertama, melawan baper, gugur dan bangkit. Keputusan untuk terjun dalam penanganan kasus membutuhkan mental kuat yang berlapis-lapis. Tekanan dari berbagai pihak akan muncul. Meskipun dirinya berasal dari lingkungan NU, tetapi tidak menutup kemungkinan serangan dari pihak NU sendiri kepadanya juga sangat besar. Itu makanya setiap langkah penyelesaian konflik, Kustiah mempertimbangkan budaya lokal NU dan menggunakan tradisi yang diyakini bisa membuka tabayun di berbagai pihak. Karena ideologi intoleran mungkin sudah turun temurun, maka diperlukan kesabaran dalam mengurai dan menghadirkan pendekatan kontra wacana. 

Kedua, diplomasi ala perempuan harus terus dikembangkan dalam mendekati persoalan-persoalan intoleransi. Cara Kustiah untuk melakukan safari sowan ke sejumlah kyai dan tokoh-tokoh NU terbukti membuka perbincangan yang lebih terbuka. Sowan (mengunjungi rumah yang lebih tua/dituakan) sendiri selain sebagai simbol kerendahan hati, juga dipercaya dalam tradisi pesantren, pantas dilakukan seorang santri kepada kyai, yang di masyarakat memiliki kedudukan sosial yang tinggi. 

Dalam pengalaman Kustiah, sowan justru membukakan pintu-pintu informasi yang lebih mendalam tentang latar belakang setiap kyai dan sejarah afiliasi kepada ideologi tertentu. Sowan juga membuka peluang bagi Kustiah untuk meluaskan pendekatan kepada istri Kyai dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti ekonomi dan sosial. 

Kustiah yakin bahwa meskipun banyak aktor memiliki cara berpikir kaku, tetapi jika memiliki berbagai macam cara untuk membuka pembicaraan dan menghadirkan perasaan nyaman untuk berbicara terbuka, dan pendekatan yang multidisipliner misalnya menghubungkan dengan kegiatan pemberdayaan ekonomi, maka sangat mungkin sebuah kesepakatan dicapai. 

Ketiga, NU tegak lurus konstitusi, korban terlindungi. Kunci dari menghadapi intoleransi adalah konstitusi dan pandangan keagamaan yang terbuka. Menghadapi sebuah komunitas yang merasa memiliki nilai-nilai NU, maka pendekatan yang paling tepat adalah mengembalikan kepada genuinitas nilai NU yang toleran.

Berbagai tauladan yang diberikan oleh para pendahulu dan tokoh-tokoh kharismatik NU, seperti Gus Dur telah terbukti memberikan pengayoman kepada banyak orang, termasuk orang yang termarginal. Maka, saya setuju dengan pendekatan Kustiah yang mengembalikan keNUan ini sebagai pendekatan dalam memenangkan hati dan pikiran para kyai dan tokoh-tokoh NU, untuk menjadikan NU sebagai rumah bersama.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments