Suku Semende terletak di Sumatera Selatan. Di sana, sistem keturunan yang masih kuat ialah garis keturunan ibu. Sehingga secara hukum adat, gelar Tunggu Tubang akan diberikan pada anak perempuan pertama di sebuah keluarga.
Tunggu Tubang adalah bagian penting dari sistem adat masyarakat Suku Semende, karena dalam sistem ini perempuan diberi kuasa untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan tebat (danau buatan).
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki? Di Suku Semende sosok mejare atau anak laki-laki biasanya akan diberi tugas untuk mengasuh dan membimbing anak belai (calon tunggu tubang), sekaligus menjadi pembimbing perempuan yang sudah menjadi tunggu tubang agar tidak melakukan pelanggaran atau pengabaian terhadap sistem adat yang sudah diwariskan.
Dilansir dari mongabay.co.id, selain bertugas menjaga pusaka yang diwariskan keluarga, Tunggu Tubang juga harus bijak mengelola hasil panen. Karena, selain untuk kebutuhan keluarga, padi yang dihasilkan oleh Tunggu Tubang wajib dibagikan kepada orang lain, di sekitar desa yang memiliki hajatan. Seperti acara kawinan sedekah kampung, yasinan, dan acara adat lain.
Menurut Umaya, salah satu Tunggu Tubang menyebutkan bahwa keharusan berbagi dengan orang lain itu merupakan aturan adat turun temurun. Bahkan jika dihitung-hitung, hasil panen yang dihasilkan 70 persennya digunakan untuk berbagi. Baru sisanya dikelola untuk kebutuhan keluarga dan disimpan di tengkiyang (tempat penyimpanan padi dekat sawah atau pondok).
Selain aturan berbagi dengan sesama, masyarakat adat Semende juga punya cara sendiri dalam memanen dan menyimpan hasil panen. Ngetam atau memotong padi beserta batangnya merupakan cara yang dipakai oleh para petani di Semende. Metode ini diyakini bisa menjaga kualitas padi tetap bagus, dan dapat bertahan selama bertahun-tahun.
Selain itu, padi juga akan disimpan di tengkiyang, dan hanya akan digiling sesuai kebutuhan saja. Sebab, jika hasil panen digiling semua, kualitas padi akan menurun. Berasnya tidak akan bertahan lebih dari tiga bulan.
Ada lima jenis padi lokal yang ditanam di persawahan Tunggu Tubang, yakni padi pandan, padi pulut, padi berang, padi sebur putih, dan padi sebur kuning. Namun, saat ini hanya empat jenis padi terakhir yang sering ditanam.
Dari empat jenis padi tersebut tidak semuanya digunakan untuk makan sehari-hari. Dua diantaranya yaitu padi pulut, biasanya digunakan untuk acara sedekah atau undangan meraje. Sementara padi berang dipakai untuk membuat tapai (fermentasi), padi sebur putih dan sebur kuning disimpan untuk bahan makanan keluarga.
Tunggu Tubang Sang Penjaga Alam
Para Tunggu Tubang di Suku Semende diyakini sebagai penjaga ketahanan pangan dan alam. Sebab, tugas mereka adalah menjaga pusaka warisan keluarga agar tetap ada, tidak boleh diperjualbelikan atau ditelantarkan.
Dilansir dari Tempo.co, beberapa ilmu dalam merawat sawah juga diturunkan langsung oleh leluhur atau orang di Semende menyebutnya dengan “Puyang” pada para Tunggu Tubang.
Salah satu ilmu bertani yang diajarkan oleh puyang pada Tunggu Tubang adalah cara menanam padi dengan periode satu kali dalam setahun. Biasanya Januari-Februari digunakan untuk menanam, lalu pertengahan tahun waktu untuk panen. Hal ini bertujuan untuk memberi sawah waktu untuk beristirahat.
Sebab dalam keyakinan Adat Suku Semende, sawah padi bersifat sakral. Sawah dirawat seperti anggota keluarga. Bahkan, ibarat manusia, sawah butuh istirahat atau tidak dikelola sementara waktu. Selain itu, waktu jeda ini juga mampu menjaga tanah agar tetap subur, sehingga padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik.
Menurut pengakuan tokoh adat Suku Semende pada jurnalis Mongabay, dengan perlakuan seperti itu, persawahan di Suku Semende hampir setiap tahunnya tidak pernah mengalami kegagalan atau diserang penyakit.
Tidak hanya itu, pemahaman mengenai kelestarian sumber air juga turut diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dengan menjaga sumber di tebat yang tidak boleh dirusak karena fungsinya mengaliri persawahan.
Ketahanan Pangan, Perkuat Komunitas
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, dalam adat Semende padi yang dihasilkan oleh Tunggu Tubang harus dikelola untuk kebutuhan keluarga dan acara adat, seperti acara perkawinan, hajatan, dan musibah. Padi tidak boleh diperjualbelikan, demi ketahanan pangan.
Padi yang dihasilkan disimpan sepanjang tahun di tengkiang (lumbung padi) dan hanya akan digiling sesuai kebutuhan saja. Tujuannya supaya padi tetap tahan hingga bertahun-tahun.
Selain itu, setiap akan panen dilakukan sedekah adat, yang disebut “zekat”. Sedekah adat ini berupa doa bersama, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Sedekah dilakukan keluarga besar pemilik sawah. Setelah panen, setiap anggota keluarga menerima jatah padi.
Dilansir dari Tempo.co, hukum adat Tunggu Tubang ini diyakini dapat menjaga ketahanan pangan masyarakat Semende. Bahkan dalam catatan Badan Pusat Statistik atau BPS 2017, Semende memiliki 4.167 hektare sawah yang dapat menghidupi tiga kecamatan; Semende Darat Tengah, Semende Darat Laut, dan Semende Darat Ulu.
Data itu diyakini masih relevan hingga kini. Ahmad Karmansyah, tokoh Masyarakat Adat Suku Semende menyatakan bahwa belum pernah ada literatur sejarah yang menyebutkan Semende mengalami krisis pangan oleh gagal panen, apalagi oleh menyusutnya persawahan.
Sebab, dia meyakini, masih terjaganya hukum adat Tunggu Tubang, yang memang mampu menjaga ketahanan pangan di Semende. Lebih dari itu, sesuai aturan adat, padi yang disimpan di Tengkiang juga tidak boleh habis hingga panen berikutnya.
Tantangan sebagai Tunggu Tubang
Melansir dari projectmultatuli.org, meski warisan keluarga sepenuhnya dikuasai, namun, pundak Sang Tunggu Tubang tak sejatinya ringan. Ia menanggung tanggung jawab yang tak mudah.
Pemangku Tunggu Tubang bukan hanya memiliki hak mengatur tetapi juga kewajiban untuk menjaga aset seperti mengatur waktu tanam dan panen. Mereka juga harus menentukan siapa yang berhak diberi hasil panen.
Tidak hanya itu, rumah Tunggu Tubang juga biasanya dihuni oleh seluruh keluarga, karena itu bahan makanan pokok, seperti beras harus betul-betul dipastikan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga.
Meski berbagai tantangan menghamipiri para Tunggu Tubang, mereka tetap berjuang untuk meneruskan warisan leluhurnya. Bagi mereka, ini merupakan salah satu cara untuk menghormati adat. Mereka tidak ingin, tradisi tersebut akan hilang dan hanya akan menjadi dongeng anak menjelang tidur saja. []