“Saya dilahirkan dari keluarga nelayan di Rembang. Keluarga saya nelayan, Bapak saya nelayan, saudara saya nelayan, bahkan keponakan-keponakan saya juga nelayan. Saya sudah melihat keterpurukan dan keprihatinan mulai dari diri saya sendiri sebagai anak perempuan.” (Masnu’ah)
Mbak Nu adalah panggilan akrab seorang perempuan yang lahir dari keluarga nelayan. Nama lengkapnya Masnu’ah, lahir di Rembang, 4 Juli 1974. Saat ini Mbak Nu berdomisili di kabupaten Demak, Jawa Tengah. Sebagai anak perempuan, ia telah melihat dan merasakan keterpurukan dan keprihatinan akibat budaya patriarki yang mengungkung perempuan, tak terkecuali perempuan nelayan.
Sebagai individu yang lahir dan besar di lingkungan nelayan, Mbak Nu mengalami keresahan keluarga ketika anak perempuannya mulai beranjak dewasa. Umumnya, para orang tua di lingkungan ini akan berpikir bahwa anak perempuannya harus segera dinikahkan. Jika tidak, mereka khawatir anak perempuannya akan dicap perawan tua. Kondisi ini semakin sulit untuk dihindari dengan kondisi ekonomi keluarga yang buruk. Mbak Nu dinikahkan tanpa bisa menolak sama sekali. Ia tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat dan menyampaikan apa yang sebenarnya ia inginkan.
Lahirnya Puspita Bahari Melawan Ketidakadilan
Atas pengalamannya, Mbak Nu belajar dan berefleksi. Sebagai seorang perempuan yang sudah menikah, ia semakin mafhum dengan ketidakadilan yang dirasakan perempuan. Khususnya bagi perempuan nelayan, yang jelas terlihat mengalami keterpurukan, ketimpangan akses, dan perbedaan perlindungan antara nelayan perempuan dan laki-laki. Kesemuanya menggerakkan hati Mbak Nu untuk melakukan perubahan. Hingga tepat pada 25 Desember 2005 lahirlah Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari yang didirikan Mbak Nu untuk mendobrak setiap ketidakadilan bagi perempuan nelayan.
“Tidak boleh seperti ini terus. Karena memang saya memiliki pengalaman sendiri sebagai perempuan korban budaya tersebut,” Mbak Nu menegaskan.
Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari terbentuk dari rembuk bersama 30 orang perempuan. Mbak Nu mengajak mereka membangun gerakan dan wadah pendidikan bagi perempuan nelayan. Meskipun mayoritas perempuan saat itu tidak lulus SD serta tidak mengenyam pendidikan formal, harapannya dengan komunitas yang dibentuk para perempuan, mereka dapat belajar tentang apa itu gender, kesetaraan, akses publik, dan belajar mengapa perempuan harus berani bersuara agar tidak melulu menjadi korban kekerasan.
Komunitas ini menjadi salah satu inisiatif terbentuknya Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) pada tahun 2010 yang juga beranggotakan perempuan nelayan. Saat ini PPNI sudah tersebar di 12 provinsi yang ada di Indonesia. Mbak Nu yang merupakan Sekretaris Jenderal PPNI adalah satu dari 16 perempuan nelayan Puspita Bahari lainnya yang juga menjadi anggota kepengurusan di PPNI.
Mbak Nu bercerita, salah satu upaya Puspita Bahari yaitu memperjuangkan agar perempuan nelayan mendapatkan hak setara nelayan laki-laki. Perjuangan ini dimulai dengan pencantuman identitas pekerjaan perempuan sebagai nelayan, setelah selama ini yang diakui sebagai nelayan hanyalah laki-laki. Perjuangan ini mendapat titik terang setelah disahkannya Undang-Undang No. 7/2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam Pasal 1 Ayat (3) dijelaskan, Nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Jelas, tidak ada pernyataan bahwa nelayan adalah laki-laki atau perempuan.
“Sebelumnya kami sudah memperjuangkan tapi tidak berhasil, itu tahun 2013. Karena memang belum ada dasar hukumnya. Ketika ada undang-undang itu lahir, (di mana kami ikut mendorong adanya UU No. 7/2017 itu), akhirnya kami berani mengadvokasi pengakuan tersebut. Butuh tiga tahun untuk mengubah pekerjaan perempuan dari ‘Ibu Rumah Tangga’ menjadi ‘Nelayan’. Padahal hanya mengubah KTP itu nggak sulit ya. Namun, memang advokasinya juga nggak mudah,” jelasnya.
Ada beberapa hambatan yang dialami Mbak Nu saat melakukan advokasi. Misalnya, mendapatkan surat pernyataan dari pemerintah desa. Hal ini dikarenakan perempuan dianggap tidak pantas menjadi nelayan, bahkan ada dalil-dalil agama yang dipelintir sehingga perempuan tidak dimuliakan dan hak-haknya sebagai nelayan dipinggirkan. Diskriminasi ini tidak hanya terjadi di pemerintah desa, tetapi juga di dinas dan instansi terkait lainnya.
‘Gerakan Melawan Kodrat’ hingga ‘Gerakan Radikal’
Sudah berjalan 18 tahun, Puspita Bahari berjalan bukan tanpa hambatan. Puspita Bahari, bahkan Mbak Nu pribadi mendapatkan stigma dari masyarakat, bahwa gerakan yang dilakukan untuk memperjuangkan perempuan nelayan adalah gerakan melawan kodrat.
(bersambung)
*
Kisah Kustiah selengkapnya beserta perempuan perdamaian lainnya didokumentasikan oleh AMAN Indonesia bersama She Builds Peace Indonesia dalam buku She Builds Peace Seri 1: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara.
Banyak pembelajaran tentang agensi perempuan yang bisa ditemukan dengan membaca semua cerita di buku ini. Untuk mendapatkannya, bisa dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuSBPseri1.