Friday, November 22, 2024
spot_img
HomeOpiniMaraknya Kekerasan Seksual Di Pesantren dan Bagaimana Nasib Marwah Pesantren ?

Maraknya Kekerasan Seksual Di Pesantren dan Bagaimana Nasib Marwah Pesantren ?

Pesantren yang seharusnya menjadi sarana pendidikan memperdalam ilmu keagamaan serta menjadikan para santri berbudi luhur (akhlakul karimah). Tapi malah sebaliknya, seolah pesantren telah kehilangan marwahnya, kesucian pesantren kian mengikis dikarenakan maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Pesantren dulunya disebut dengan penjara suci, untuk kali ini terma seperti itu semakin tereduksi oleh para predator seksual. 

Mirisnya lagi, dari banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap para santri ada juga seorang oknum Kiyai menjadi pelaku dalam melakukan kekerasan seksual. Hal ini tentunya sangat menimbulkan kontradiksi di kalangan masyarakat, dimana dulunya masyarakat percaya penuh dengan lingkungan pesantren sebagai pusat pembelajaran agama, dengan maraknya kekerasan seksual di pesantren membuat masyarakat skeptis terhadap pesantren sebagai lembaga keagamaan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam lingkungan pesantren terdapat hierarkis sosial cukup dogmatis antara kiyai dan santri, dalam pesantren dikenal dengan terminologi Talmadzah menimbulkan pola pasif santri kepada kiyai terjadi karena pola pendidikan santri. Dalam ruang sosial pesantren kiyai selalu mempunyai upaya kepemimpinan yang karismatik. Kedudukan kiyai sebagai guru di pesantren membuat para santri menghormati, mentaati, sebagai pintu keberkahan. Posisi kiyai sebagai kiblat bagi para santri menjadikan mereka sukarelawan dan rela menjalankan semua perintah kiyai. Lantas apa hubungannya moralitas sukarelawan yang cenderung dimiliki para santri dengan kasus kekerasan seksual di pesantren?

Dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, oknum kiyai melakukan tindakan kekerasan seksual kepada santri dengan memberikan narasi dogmatis kepada santri dengan sebutan ngalap berkah. Narasi semacam ini seharusnya menjadi saluran voluntary action santri kaitannya dengan menyempurnakan ilmu agama yang dipelajari, justru diselewengkan oleh “oknum” untuk mengglorifikasi kekerasan seksual di pesantren. Tindakan mencari berkah sebelumnya sudah menjadi kultur di Indonesia, khusunya di pesantren.

Realitas semacam ini menunjukan bahwa pentingnya penanaman sikap kritis pada kurikulum di pesantren. Penanaman sikap kritis merupakan wadah yang wajib untuk dimasukan dalam kurikulum pesantren saat ini. Sebagai pencari ilmu, sudah seharusnya para santri mendapat penguatan kritis dengan mengenal konsep ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi terkait pemahaman terhadap realitas yang akan dipelajari, epsitemologi terkait subtansi atau kerangka berpikir untuk mengetahui hakikat kebenaran yang ingin diketahui. Sedangkan aksiologi adalah hasil analisis dari hakikat-hakikat sebuah moralitas, kebenaran, keindahan, serta religiusitas.

Dari beberapa kasus kekerasan yang ada, 19% kasus pelecehan yang dilaporkan sepanjang 2021 terjadi di pesantren, menempati urutan kedua setelah perguruan tinggi, sebanyak 27%. Sudah sekitar 10 tahun lebih Komnas Perempuan memperjuangkan disahkannya RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Tujuan dari diusulkannya rancangan ini agar mengakhiri kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, dan disahkan pada 12 April 2022. Para pelaku kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar hubungan pernikahan, akan dikenakan hukuman penjara. 

Namun, pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dan aborsi dihapus dari draf RUU TPKS. Sejumlah organisasi Islam, termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia), menolak dengan keras RUU TPKS karena adanya anggapan normalisasi terhadap zina. Dalam hal ini sudah menjadi situasi yang cukup vital dengan maraknya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia khususnya di lingkungan pesantren. Dimana pesantren sendiri mempunyai marwah sebagai pusat pembelajaran ilmu agama dan sudah seharusnya pesantren sebagai wadah untuk mencari ilmu agama.

Perlunya kesadaran serta sikap kritis untuk menanggulangi kekerasan seksual di lingkungan pesantren, karenanya semua orang butuh ruang aman, baik di rumah, sekolah, pesantren dan lingkungan masyarakat. Dengan hal itu makna pesantren jangan sampai hilang marwahnya sebagai pusat pembelajaran agama, dalam bahasanya K.H. Husein Muhammad visi pesantren sebagai sarana pendalaman agama (tafaqquh fiddin). Hilangkan semua pemikiran konservatis mengenai alibi bahwa perempuan dengan pakaian terbuka mampu mengundang syahwat, buktinya secara realitas empiris tak sedikit kasus kekerasan seksual yang terjadi di Lingkungan Pesantren.  Perlu diingat perempuan bukan objek seksual yang kian dieksploitasi, tetapi perempuan ialah, kalau saya menyebutnya dengan radikal sebagai manifestasi abstraksinya Tuhan.

Arie Riandry
Arie Riandry
Mahasiswa Studi Agama Agama
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments