Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Yang artinya, segala agama yang diakui di Indonesia diberi hak untuk mengekspresikan keyakinan dalam agamanya dengan tetap menghargai keyakinan agama lain. Namun sepertinya, keyakinan akan kebenaran suatu agama yang seharusnya diyakini dalam forum internum, justru ditampakkan dalam forum eksternum. Sehingga antar satu agama dengan agama lain berebut narasi kebenaran tunggal dan berujung pada konflik agama. Hal itu sebagaimana terjadi pada konflik di Sigi, Sulawesi Tengah. Lantas seperti apa konflik agama di Sigil yang pernah terjadi di Indonesia? Dan bagaimana dampaknya bagi perempuan?. Berikut ini akan disampaikan kajian mengenai konflik agama di Sigi Sulawesi Tengah pada November 2020.
Konflik Agama di Sigi Sulawesi Tengah
27 November 2020, menjadi masa mencekam di wilayah Sigi Sulawesi Tengah. Terjadi pembantaian terhadap 4 orang laki-laki dewasa, tepatnya di Desa Lembatongoa, Kecamatan Palolo, Sigi Sulawesi Tengah. Tak hanya itu, pelaku juga membakar 5 rumah warga yang salah satunya digunakan sebagai rumah ibadah agama Nasrani (Gereja). Pelaku juga merampok rumah rumah dan mengambil harta benda yang ada didalamnya.
Konflik berdasarkan agama ini berkaitan dengan aksi kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin oleh Ali Kalora. Berdasarkan hasil penyidikan, aksi tersebut dilakukan untuk menciptakan suasana teror dan mencekam di wilayah Sigi.maka korban yang disasar pun dipilih secara acak, tidak berdasarkan ras atau suku tertentu. Bahkan para korban juga tidak memiliki kaitan sama sekali dengan jaringan MIT.
Kasus ini menyita perhatian banyak pihak, termasuk dari President RI Djoko Widodo. Dalam konferensi pers, beliau menyatakan bahwa kejahatan di Sigi di luar batas kemanusiaan sehingga harus segera diusut. Kasus pembantaian di Sigi adalah tragedi kemanusiaan yang tidak dilakukan oleh manusia.
Meninggalnya 4 laki-laki dalam peristiwa pembantain berdarah tersebut telah menyebabkan 4 perempuan menjadi janda dan sekaligus orang tua tunggal. Mereka juga mengalami trauma sepanjang hidup karena melihat pembantaian atas suami mereka dengan mata kepala sendiri. Belum lagi mereka harus kehilangan tempat tinggal akibat pembakaran rumah yang dilakukan oleh pelaku teror. Mereka dipaksa untuk memulai kehidupan dari nol, dengan terus terbayang trauma secara psikis.
Padahal, masyarakat patriarki menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Dimana pengambil kebijakan dan juga pemenuhan kebutuhan keluarga dipenuhi oleh sosok ayah sebagai kepala rumah tangga. Pun demikian dengan Undang-Undang Perkawinan kita, menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga sehingga kepergian kepala rumah tangga yang sangat tiba-tiba ini tentu akan menggunjang jiwa seorang istri. Belum lagi mereka harus mendapatkan stigma negatif atas status janda yang disandang.
Berdasarkan data UN Women, situasi pasca konflik yang terjadi di Sigi meningkatkan resiko ekstrimisme jika trauma pasca konflik yang dialami oleh perempuan tidak segera ditangani. Intoleransi, ketidakpercayaan terhadap aparat, dan ujaran kebencian terhadap para anak korban konflik akan memicu ekstrimisme kekerasan yang lebih masif lagi.
Kebijakan bagi Perempuan di Wilayah Konflik
Beban ganda yang dialami perempuan saat terjadi konflik berawal dari tidak dilibatkannya perempuan dalam proses rekonsiliasi perdamaian. Menurut Asep Saepudin dalam penelitian yang berjudul “Bisnis, Media, dan Perdamaian” Ada beberapa alasan mendasar kenapa perempuan harus dilibatkan dalam rekonsiliasi perdamaian.
Pertama, perempuan memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak dan memasukkan nilai perdamaian kepada anak semenjak dini. Hal ini sebagaimana dipraktekkan di Tanzania dan masyarakat traditional Afrika. Nilai perdamaian diinternalisasi melalui proses sosialisasi. Kedua, perempuan memiliki peran penting dalam manajemen krisis dan resolusi konflik. Saat terjadi adu senjata, perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mengundang pihak ketiga guna melakukan mediasi. Ketiga, perempuan memiliki peran penting dalam mengkonsolidasi perdamaian.
Karena perempuan tidak dilibatkan dalam upaya rekonsiliasi damai, maka pendekatan yang dilakukan dalam meredam konflik di suatu wilayah tidak melibatkan pengalaman perempuan. Hal ini diperparah dengan regulasi pemerintah tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan data catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, fokus pada korban terorisme saja dan terkesan abai dengan korban kejahatan HAM di masa lalu. Padahal korban teroriseme maupun korban konflik bagian dari kejahatan kemanusiaan yang seharusnya mendapatkan porsi yang seimbang.
Mendorong kepemimpinan perempuan sekaligus penguatan suara perempun sangat penting untuk mempercepat pemulihan pasca konflik. Perlu dipahami bahwa kondisi perempuan saat terjadi konflik memiliki kaitan yang sangat erat dengan ketidaksetaraan gender. Maka ketidaksetaraan gender dan meminimalisir dampak negatif bagi perempuan di wilayah konflik harus berjalan seiringan.