Selain pendekatan geografis, pendekatan etnografis juga perlu dilakukan guna mengetahui alasan kenapa bangsa Arab dan juga Islam selalu diidentikkan dengan tradisi perang. Menurut Marvin Harris dan Orna Johnson (2000) pendekatan etnografis adalah gambaran dari kehidupan masyarakat, baik dari budaya maupun kebiasaannya. Keyakinan, dan perilaku suatu masyarakat berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan melalui pendekatan lapangan.
Seiring dengan maraknya wacana literasi digital, maka pendekatan etnografis juga mengalami perubahan. Pendekatan etnografis tidak hanya dilakukan dengan studi lapangan, namun juga bisa dilakukan melalui penelurusan literatur-literatur yang ada baik secara online maupun offline. Hal ini sebagaimana diterapkan oleh Andrey Caesar Effendi (2021) dalam penelitiannya.
Kondisi Sosial Masyarakata Arab Pra Islam
Dalam kehidupan sosial, Bangsa Arab dikenal hidup dalam kabilah-kabilah atau klan-klan. Mereka hidup berdampingan antar kabilah dengan perjanjian damai yang disebut al-Ahlaf. Kecintaan mereka terhadap keluarga, garis keturunan (nasab) dan kabilah mengalahkan kecintaan mereka terhadap hal lainnya. Ibn Khaldun menyebutnya dengan istilah al-‘Ashabiyah ( Phillip K. Hitty, 2014).Â
Fanatisme kabilah ini seringkali menimbulkan percekcokan dengan kabilah lain yang berujung pada peperangan bahkan dalam hal sepele sekalipun, seperti kalah dalam pacuan kuda, persengketaan hewan ternak, mata air atau padang rumput.
Kepala kabilah Arab, selain tegas dan keras, terkenal juga dengan bertanggungjawab, murah hati, menjamu tamu dan ringan tangan dalam menolong mereka yang membutuhkan bantuannya. (Phillip K. Hitty, 2014) Meskipun demikian, bangsa Arab terkenal kurang baik dalam pengorganisasian kekuatan dan penyatuan aksi karena tidak adanya hukum reguler dan universal dan lebih mementingkan kekuatan pribadi dan pendapat suku atas lainnya (Supriyadi Dedy, 2016) Inilah penyebab sulit bersatunya suku-suku dan kabilah di Arab.
Sistem hidup mereka yang terdiri atas kabilah-kabilah tidak menafikan adanya pemerintahan pusat. Bentuk pemerintahan yang ada kala itu adalah oligarki atau pemerintahan oleh suatu kelompok atau beberapa orang yang membagi-bagi kekuasaan dalam bidang-bidang tertentu. Ada kabilah yang menangani masalah peribadatan, ada yang bertugas menangani pertahanan juga perekonomian. Pusat pemerintahan kala itu adalah Dar al-Nadwa yang bertugas sebagai Majlis Syura dan berkedudukan di Kota Suci Mekkah, dimana didalamnya terdapat Ka’bah, bangunan suci bangsa Arab. (Karim, M. Abdul. 2015)
Kondisi Perempuan di Masa Arab Pra Islam
Diantara preseden buruk yang melekat pada Arab pra-Islam adalah kondisi dan kedudukan wanita yang dipandang sebelah mata, bahkan setengah manusia. Meskipun ditemukan beberapa kepala suku wanita di Mekkah, Madinah, Yaman dan sebagainya, namun jumlah mereka amat sedikit sekali.
Di mata masyarakat mereka, wanita tidak ada harganya dan tidak lebih berharga dari barang dagangan di pasar. Beberapa pendapat bahkan lebih vulgar menyebutkan bahwa mereka tidak lebih dari binatang, wanita dianggap barang dan hewan ternak yang tidak memiliki hak. (Supriyadi Dedy, 2016)
Mereka tidak dapat menjadi pewaris suami atau orang tua. Para lelaki juga bebas menikah dengan wanita mana saja berapapun jumlahnya, sedangkan tidak demikian bagi wanita. Seorang istri yang ditinggal suaminya meninggal juga dapat diwarisi oleh anak tertuanya atau salah satu kerabat mendiang suaminya. Sungguh jauh berbeda dengan posisi suami setelah menikah yang berkedudukan layaknya raja dan penguasa. (Karim, M. Abdul. 2015)
Mereka juga terkenal dengan tradisi penguburan anak hidup-hidup. Namun, perlu dipahami bahwa tradisi tersebut tidak terjadi di seluruh suku Arab. Hanya beberapa suku dan kabilah saja yang menerapkan tradisi tersebut. Tradisi tersebut dilakukan dengan dasar bahwa anak (kebanyakan perempuan) adalah penyebab kemiskinan dan aib bagi keluarga.Â
Bila mereka kalah dalam peperangan, maka istri dan anak perempuan mereka akan dirampas oleh musuh. Karenanya, mereka beranggapan lebih baik membunuh mereka terlebih dahulu sebelum ditawan oleh musuh. (Yuangga Kurnia Yahya, 2019)
Kondisi Sosial dan Kondisi Perempuan dan Hubungannya dengan Tradisi Perang
Tidak adanya hukum universal, dan penerapan hukum rimba di masa Arab Pra Islam memicu adanya kontak fisik dalam bentuk peperangan. Kekuatan suatu suku ditentukan oleh siapa yang paling kuat fisiknya. Sehingga kekerasan dan aksi main hakim sendiri menjadi sesuatu yang lumrah bagi masyarakat Arab Pra Islam kala itu. Hal ini diperparah dengan system kekuasaan yang berdasarkan oligarki. Dimana pemimpin suatu kabilah dikuasai oleh suku tertentu yang memiliki kemampuan perang terkuat.
Kondisi perempuan dimasa Arab Pra Islam juga memicu perperangan. Hal ini lantaran posisi perempuan yang dijadikan sebagai hadiah dalam peperangan. Tak jarang perang dilakukan demi memperebutkan perempuan sebagai pelampiasan nafsu hewani. Derajat perempuan tak ubahnya sebagai suatu benda yang dipindahtangankan, dan diperjualbelikan oleh pihak yang kuat. Perempuan tak dianggap sebagai manusia, sehingga tak memiliki harga diri pun tak memiliki kuasa atas dirinya.Â
Jauh sebelum Islam lahir dan masuk ke tanah Arab, perang memang sudah menjadi tradisi bangsa Arab. Nabi Muhammad membawa syariat Islam di tengah kondisi masyarakat yang memang sudah menjadikan perang sebagai suatu kebiasaan. Maka salah besar jika dinyatakan Islamlah yang membawa tradisi perang pada bangsa Arab.Â
Daftar Pustaka
Andrey Caesar Effend, dkk, Kajian Literatur: Etnografi Digital Sebagai Cara Baru Dalam Pencarian Data Dalam Proses Perencanaan Arsitektur, Jurnal Aksen, Volume 6 Nomor 1 Oktober 2021.
Phillip K. Hitty, History of the Arabs, terjemah oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul yang sama, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014
Karim, M. Abdul. 2015. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. VI. Yogyakarta: Bagaskara, 54.
Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam, cet. VIII. Bandung: Pustaka Setia
Yuangga Kurnia Yahya, Pengaruh Penyebaran Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara: Studi Geobudaya dan Geopolitik, Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam Vol. 16 No.1, Juni 2019.