Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniReduksi Strategi 3T ala Valveeta Viban

Reduksi Strategi 3T ala Valveeta Viban

Pendekatan triple T. Think (pikirkan), Talk (bicara), Tackle (atasi) sebagaimana dilakukan Valveeta Viban di Kamerun telah berhasil mengurangi angka kekerasan seksual terhadapa anak di Kamerun. Namun demikian, Valveeta menyadari bahwa pendekatan 3T akan berjalan lamban jika tidak disertai dengan menggandeng beberapa pihak (stakeholder). Oleh sebab itu, selain menjalankan strategi 3T Valveeta juga aktif menjalin kerjasama dengan lembaga strategis lainnya. Adapun contoh kerjasama kolaboratif yang dilakukan Valveeta antara lain:

Pertama, bekerjasama dengan lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulum pendidikan yang inklusif. Agar pemahaman mengenai apa itu kekerasan seksual bisa dipahami semenjak di bangun sekolah. Kedua, bekerjasama dengan lembaga keagamaan untuk mengedukasi pengikutnya tentang anjuran mengedepankan kemanusiaan dan menyadarkan bahwa kekerasan seksual adalah dosa besar yang harus dihindari. Lembaga keamaan didorong untuk menjadi ruang aman bagi pemeluk agamanya. Terlebih, lembaga keagamaan juga ikut melibatkan anak-anak dalam kegiatan keagamaannya. Ketiga, bekerjasama dengan media lokal dan internasional untuk memberikan pendidikan publik mengenai kekerasan seksual. Dan aktif memberikan kasus kekerasan seksual untuk memberikan efek jera bagi pelaku.

Peluang untuk  Mereduksi 3 T di Indonesia

Meskipun secara budaya dan masyarakat kita berbeda dengan Kamerun, namun mereduksi apa yang dilakukan Valveeta Viban perlu dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang nir kekerasan seksual. Indonesia butuh  sosok Valveeta Viban yang lain untuk Indonesia yang lebih baik. Yang aktif bersuara dan terus mengedukasi masyakat tentang pentingnya memberantas kekerasan seksual.

Apalagi, Indonesia saat ini sudah masuk dalam kategori negara darurat kekerasan seksual. 736 juta perempuan atau 1 dari 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang mayoritas justru dilakukan oleh pasangannya. Baik ketika berada dalam hubungan pacaran maupun kekerasan dalam rumah tangga. Kasus pelecehan seksual yang melimpahkan kesalahan pada preferensi busana perempuan, begitu pula dalam kasus pemerkosaan. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan perempuan dalam melawan dianggap sebagai sebuah persetujuan.

Alih-alih bertanya dari segi apa yang dirasakan perempuan, masyarakat patriarki langsung menimpakan kesalahan ke pihak perempuan. Dituduh tak mampu menjaga kesucian, dituduh perempuan gampangan, dituduh perempuan yang tak bisa menjaga harga diri. Sedangkan pelaku dimaklumi karena berkaitan dengan hasrat dan birahi yang diyakini akan terpancing hanya jika ada godaan dari perempuan.

Stigma ini lahir dari pandangan masyarakat kita yang masih didominasi oleh pandangan laki-laki. Sehingga segala peristiwa juga diukur dalam kacamata laki-laki. Naasnya, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi kita saat menyusun sebuah regulasi. Bagaimana pasal disusun dan diformulasi, diambil berdasarkan cara pandang laki-laki. Tidak adanya peluang untuk membela diri dan mendapatkan keadilan, akan terus menempatkan korban sebagai makhluk terkutuk sepanjang hidupnya.

Jangankan melawan untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya sebagai korban, ketika mereka melaporkan kasus hubungan seksual diluar perkawinan ini justru mereka berada dalam ancaman hukuman pidana. Naasnya, telah terjadi juga fenomena normalisasi pelaku kekerasan seksual berawal dari sikap masyarakat yang acuh. Sehingga ketika terjadi kekerasan seksual, masyarakat akan langsung menyalahkan korban dan memaklumi kejahatan yang dilakukan pelaku.

Karena sikap acuh ini pulalah, masyarakat tidak memperdulikan bagaimana masa depan korban, dan bagaimana ia bisa diterima di masyarakat. Termasuk  bagaimana  pelaku membaur kembali di masyarakat dengan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Sehingga menikahkan korban dengan pelaku dianggap solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Penyintas kekerasan seksual bukanlah aib yang harus dikubur, justru mereka harus didorong untk aktif menyuarakan kekerasan yang ia terima. Selama penyintas diam saja, dan pemerintah tidak berpihak pada penyintas maka selamanya pelaku kekerasan seksual akan melancarkan aksi bejatnya dimanapun dan kapanpun.

Perjuangan yang dilakukan Valveeta Viban di Kamerun tentunya bukan kerja praktis yang bisa dilakukan dalam hitungan bulan. Melainkan sebuah kerja panjang dan membutuhkan sinergi dan kerjasama dengan berbagai pihak dan elemen untuk Kamerun yang lebih baik. Pun demikian dengan perjuangan penanganan kekerasan seksual di Indonesia, juga membutuhkan perjalanan yang panjang.

Disahkannya RUU TPKS saja belum cukup jika tidak ada sinergi atas lembaga untuk mengimplementasikan regulasi tersebut. Jauh lebih penting dari itu, seluruh masyarakat harus aktif mengedukasi teman sebaya untuk sama-sama memahami bahaya kekerasan seksual. Begitu juga pentingnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di semua sektor dan lini.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments