Friday, November 22, 2024
spot_img
HomeBukuLathifah: Perempuan yang Berdamai dengan Takdir Lalu Bangkit dari Keterpurukan

Lathifah: Perempuan yang Berdamai dengan Takdir Lalu Bangkit dari Keterpurukan

Karya sastra pesantren memiliki ciri khas tersendiri bagi para pembacanya, termasuk saya sebagai salah satu penikmat. Novel “Cincin Kalabendu” merupakan salah satu cerita yang sering terjadi pada masyarakat. Di tengah maraknya poligami, novel ini hadir menjadi kritik atas praktik poligami yang dilakukan oleh kiai. Pada cerita ini, sosok Kiai Ghani yang belum diberikan keturunan atas keluarga yang dibangun dengan Nyai Syarifah, kemudian memilih Lathifah, seorang abdi dhalem untuk dijadikan istrinya.

Kenyataan ini menciptakan pergolakan yang cukup serius kepada diri Lathifah. Di satu sisi, Lathifah tidak ingin menyakiti Nyai Syarifah. Ditambah lagi dengan perasaannya yang selama ini menyuka Kang Zaka, sopir dalem. Atas dorongan dari keluarganya, akhirnya Lathifah bersedia menjadi istri kiainya dan resmi menjadi madu. Bagaimana kehidupan santri sangat berbeda dengan pemikiran masyarakat pada umumnya. Konsep barokah melekat kuat dalam diri seorang santri. Pilihan untuk mengabdi kepada kiai, kepada pondok, bahkan ketika harus menjadi seorang madu, tetap dipilihnya. Alasan lain adalah untuk mendapat keturunan yang sangat baik.

Apalagi jika hal itu berdasarkan keturunan kiai. Tentu, kita akan berpikir bahwa, cara belajar, beragama yang ditampilkan oleh kiai, sangat berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Melalui kisah tersebut, konflikpun dimulai. Jika dibayangkan, hidup Lathifah seperti serba salah. Bagaimana posisinya yang awalnya menjadi abdi dalem, belajar ngaji kepada Nyai Syarifah, lalu menjadi madu dari suami nyai tersebut. Sejak menjadi istri Kiai Ghani, ia sama sekali tidak pernah bertukar informasi dengan Nyai Syarifah.

Kehidupannya menjadi dingin, penuh dengan diam, serta tidak ada lagi komunikasi seperti sebelumnya yang tercipta seperti ibu dan anak. Kisah Lathifah adalah luka yang sangat dalam, seperti judulnya “Cincin Kala bendu”. Semenjak ia menjadi istri Kiai Ghani, pergolakan batin sering dialami. Sikap yang ditampilkan oleh Nyai Syarifah menjadi salah satu faktor pemicu ketidaknyamanan Lathifah. Puncaknya, ketika Nyai Syarifah berada pada fase terpuruk, sakit dan disinyalir mendapat sihir dari keluarga Lathifah. Seluruh anggota keluarga meng-iyakan adanya sihir tersebut, sehingga Lathifah semakin terpojok.

Hal ini pula yang memicu konflik semakin besar, ditambah dengan perlakukan Kiai Ghani untuk memilih istrinya dibandingkan dengan Lathifah. Atas dasar konflik ini, Lathifah kemudian diceraikan oleh Kiai Ghani. Sedangkan Nyai Syarifah, dianugerahi keturunan. Duka Lathifah semakin berlipat dengan takdir demikian. Pasca bercerai dengan Kiai Ghani. Lathifah harus menerima takdir sebagai seorang janda. Sebenarnya ini bukan masalah. Sebab menjadi janda tidaklah seburuk apa yang di stigmatisasi oleh masyarakat.

Menariknya, kita bisa melihat bagaimana cara Lathifah bangkit dari keterpurukannya. Ia memilih untuk melanjutkan pendidikan, menekuni dunia bisnis dan berdaya atas kemampuan yang dimilikinya selama ini. Sehingga hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi pembaca. Lathifah adalah sosok yang tangguh. Di tengah keterpurukannya diceraikan oleh suaminya, keluarga menjadi support system terbaik untuk penyembuhan yang dilakukan. Lathifah muncul sebagai sosok perempuan luar biasa. Pengetahuan agama serta pengetahuan umumnya juga seimbang. Sehingga hal itu yang harus tercermin dalam jiwa santri, yakni semangat untuk terus menimba ilmu.

Akan tetapi, hal itu menjadi masalah bagi Kang Zaka, laki-laki yang selama ini menaruh hati kepada Lathifah. Sebab keluarganya tidak setuju apabila dirinya memilih Lathifah untuk hubungan yang lebih serius. Sehingga keduanya tidak melanjutkan hubungan ke jenjang yang serius. Sebagai pembaca, ada beberapa hal yang belum terlihat dari isi cerita dalam buku ini. Pertama, cerita yang disampaikan seperti belum selesai, sehingga ending yang ditampilkan cukup membingungkan.

Kedua, watak tokoh seperti Nyari Syarifah belum ditampilkan secara kuat. Sehingga peran yang besar justru datang dari keluarga Lathifah. Padahal penokohan seorang Nyai Syarifah sangat penting dalam alur cerita yang disampaikan. Ketiga, setiap penulis memiliki ciri khas masing-masing dalam tulisannya. Cerita tulisan ini tidak ada bedanya dengan cerita-cerita poligami pada karya sastra lainnya. Sehingga kekhasan yang terdapat dalam tulisan ini belum dilihat begitu kuat.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments