Agenda pemberdayaan memang tidak serta merta ada di program-program pendampingan petani. Neta secara kreatif mengintegrasikan pengetahuan yang didapatkan di SP, ke dalam proses pemberdayaan pada petani laki-laki maupun perempuan. Tujuannya agar proses pemberdayaan juga diikuti dengan perubahan pola pikir dan prilaku para petani terhadap peran perempuan. Sejumlah strategi dilakukan untuk mendorong agar upaya pemberdayaan pada perempuan terjadi di desa-desa yang dia dampingi. Beberapa strategi dan pendekatan yang saya tuliskan di artikel ini adalah kompilasi kerja-kerja Neta di Desa Piura, Panjoka, Lena, Wayura, Kancu, dimana Neta.
Pertama, membiasakan kesetaraan gender. Pembagian gender yang rigid sering tidak sengaja disosialisasikan oleh masyarakat. Keluarga berperan penting dalam mensosialisasikan pembagian gender. Misalnya ayah pergi ke kebun, ibu mengurus tangga. Maka, saya merasa tergelitik untuk memberikan visualisasi yang berbeda di desa dampingan saya. Beberapa kali saya sengaja memamerkan saat mengoperasikan cultivator atau mesin penggembur tanah. Dengan mesin ini, kerja-kerja mencangkul bisa digantikan. Alat ini sangat nyaman untuk petani. Khususnya petani perempuan yang jarang mencangkul. Maka keberadaan alat ini mempercepat pengolahan lahan sebelum ditanam.
Meskipun sederhana, warga melihat alat cultivator harusnya laki-laki yang mengoperasikannya. Tetapi Neta memberi contoh bahwa alat tersebut netral gender. Artinya perempuan juga bisa menjalankannya, asalkan belajar dan berlatih. Dibandingkan teknik mencangkul, cultivator jauh lebih meringankan pekerjaan penyiapan lahan, bagi perempuan.
Kedua, membentuk Sekolah Perempuan Perdamaian. Keberadaan petani perempuan atau Kelompok Wanita Tani (KWT) sangat strategis untuk memperkuat ideologi kesetaraan gender dan upaya pemberdayaan perempuan. Institusi perempuan seperti KWT sangat berguna untuk mempercepat gagasan kesetaraan gender dan pemberdayan perempuan. Tidak saja karena anggotanya pasti, tapi institusi perempuan lebih kuat dalam mendorongkan perubahan karena suara kolektif yang dibawahnya. Khususnya dalam mendorongkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Singkat cerita, Neta kemudian mendirikan SP dengan melibatkan anggota KWT. SP Sukamaju akhirnya berdiri, engan anggota para petani perempuan. Sejak berdirinya, SP Sukamaju di Welingcu. Disinilah Netaria mengadopsi konsep kebun sayur Ibu Wuri di Desa Sawidago. Netaria yakin bahwa meskipun masyarakat didominasi penganut kristiani, bukan berarti perbedaan tidak ada. Meskipun Neta tidak lagi menetap di Desa Welingcu, tetapi keberadaan SP Sukamaju masih
tetap diperhitungkan. Mereka selalu diundang dalam pengambilan keputusan, dan masih lantang berbicara di forum.
Ketiga, mengusulkan dana khusus untuk pemberdayaan Perempuan. Hadirnya dana desa adalah peluang untuk mempercepat proses pemberdayaan di masyarakat, khususnya pemberdayaan perempuan. Pembiayaan selalu menjadi kendala untuk memajukan pembangunan desa, apalagi bicara pemberdayaan perempuan. Di tengah trend alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur, slot pemberdayaan perempuan tetap dijaga. Neta melihat ini adalah peluang besar untuk mempengaruhi desa-desa yang didampinginya agar bisa mengalokasikan dana khusus perempuan dari sejumlah dana desa yang diterima setiap tahunnya.
Kelas Kesetaraan Gender Bagi Petani Laki-laki
Keterlibatan laki-laki dalam pemberdayaan perempuan sangat krusial. Laki-laki dan perempuan secara alamiah memiliki cara berpikir, cara merasa, dan cara berekspresi berbeda. Tingginya cara berpikir bias gender pada laki-laki, karena sosialisasi dari lingkungan yang kuat terkait peranperan sosial yang dijalankannya. Begitu pula perempuan-perempuan desa yang banyak menghabiskan waktu luang untuk ngobrol di depan rumah dengan tetangga atau mencari kutu. Ini
semua karena secara turun temurun disosialisasikan oleh orang tua dan lingkungan.
Menyadari bahwa keberadaan laki-laki sangat penting untuk mengubah kebiasaan di masyarakat, maka Neta memastikan sesi-sesi terkait dengan gender dihadirkan di dalam pendampingan petani melalui tauladan yang positif. Neta juga mengintegrasikan pemahaman kesetaraan gender ke dalam kelas-kelas Sekolah Lapang, dimana kelompok tani laki-laki mendapatkan materi terkait dengan pertanian.
Neta juga menyisipkan pentingnya laki-laki terlibat dalam pengasuhan anak. Sebuah pekerjaan yang biasanya hanya ibu yang dominan melakukan peran pengasuhan. Bapak yang biasanya disibukkan di sawah, otomatis jarang memperhatikan secara detil. Suatu hari, seorang bapak menyapanya dan membagi pengalamannya mulai mau mengganti popok anaknya. Dia bilang “ternyata mengganti popok si dedek, saya merasa punya kedekatan pada anak saya,’.
Akuntabilitas Bantuan Pemerintah ke Warga
Kini, setiap desa menerima sejumlah bantuan dari pemerintah untuk memastikan secara ekonomi masyarakat memiliki daya beli sehingga akan tetap bertahan di masa pandemi. Meskipun ide bantuan ini berlawanan dengan Neta, karena dianggap tidak mendidik. Tetapi kenyataannya hampir semua desa dan kelurahan menerima bantuan berbagai macam jenis untuk warga yang kurang mampu, kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, anak-anak dengan disabilitas,
perempuan kepala keluarga. Begitu banyaknya bantuan yang diterima oleh desa, tidak berbanding lurus dengan perbaikan sistem akuntabilitas desa kepada warga, terkait dengan bantuan-bantuan yang masuk.
Neta menyarankan kepada kepala desa untuk menuliskan semua jenis dan jumlah bantuan yang diterima oleh pihak desa, dan dipasang di papan pengumunan. Tujuannya agar warga desa mengentahui seberapa besar bantuan yang diterima oleh pemerintah pusat maupun daerah. Mekanisme sederhana ini akan membantu komunikasi pihak desa dan warganya terkait dengan dana bantuan.