Tidak jenuh saya membaca buku ini. Buku banyak bercerita tentang pemikiran penulis. Saya berpikir, saya melihat penulis di hadapan saya. Buku ini bercerita tentang pemikiran penulis tentang pernikahan bagi perempuan muda di daerah urban. Perempuan ini memutuskan untuk tidak menikah. Dia menyebut dirinya sebagai Si Parasit Lajang. Dia memiliki banyak alasan hidup untuk tidak menikah. Karakter perempuan ini diceritakan sebagai perempuan yang cuek, cerdik tapi sebenarnya sangat peka dengan lingkungan sekitar. Kehidupan sekitar membuatnya banyak bertanya dengan kehidupan sekitar.
Ada banyak pertanyaan tentang seksualitas dalam pikiran Perempuan tersebut. Selain seksualitas, dia mempertanyakan gender. Peran perempuan menjadi ganda karena pernikahan. Antara pekerjaan dan rumah tangga. Dirinya membandingkan dengan kehidupan di Jepang, di mana para perempuan Jepang yang sukses memilih untuk tidak menikah. Dan hidup menjadi mandiri.
Hingga dewasa, perempuan ini hidup bersama ibunya. Hal tersebut, dianggap sebagai benalu. Bagi perempuan ini, pernikahan dan keluarga bukan masalah yang mudah. Menikah, baginya adalah kontrak seumur hidup. Pernikahan adalah hal yang sacral. Tapi, kebanyakan orang hanya ingin berlindungan pada seksualitas yang suci dibawah pernikahan.
Dalam beberapa kalimat, penulis mengungkapkan jika dirinya memiliki kekasih, tapi tidak ingin menikah dengan kekasihnya. Tapi di masyarakat, ada banyak pertanyakan kapan menikah untuk perempuan yang masih lajang. Dalam buku tersebut, perempuan tersebut tidak pedulu dengan keperawanannya. Dia tidak peduli jika dirinya sudah tua dan tidak menikah, begitu juga perawan dan tidak.
Saat ini, di masyarakat di Indonesia masalah keperawanan masih menjadi masalah. Penulis cukup berani membuat pertanyaan, ”Jika kalian mendapatkan perempuan yang masih perawan, kalian akan memberikan apa untuk perempun tersebut? Kejantanan kalian tidak bisa dilihat”.
Berbagai cerita yang ada di masyarakat diceritakan oleh penulis. Seperti, masalah poligami yang dianggap jawaban adil untuk lingkungan masyarakat yang tidak adil. Terkait seksualitas, penulis menganggap jika lelaki tidak bisa menjadi hebat. Tapi, perempuan bisa mengubah laki-laki menjadi jagoan.
Penulis menyinggung tentang mainset masyarakat yang mana anak di luar pernikahan dianggap anak haram. Sedangkan di luar negeri tidak ada istilah anak haram. Di sisi lain, penulis juga berpikir untuk memiliki anak. Dalam beberapa kali cerita, penulis menegaskan jika dirinya tidak anti pada perkawinan atau anti berkeluarga. Dia juga menegaskan jika berkeluarga cocok bagi orang lain. Dirinya membenci orang-orang yang menjadikan pernikahan sebagai tolak ukur kebahagiaan manusian.
”Manusia boleh menikah tapi tidak harus,” begitu yang diungkap oleh penulis.
Dari buku ini saya berpikir rasional dan bukan untuk membenci pernikahan. Buku ni banyak bercerita tentang pekerjaan, sahabatnya dn fakta lainnya yang ditemukan sehari-hari. Pandangan pernikahan yang disampaikan oleh penulis sangat menarik. Kritis dan sangat tajam. Alasannya tidak menikah pun sangat jelas. Saya membaca buku ini, membaca juga banyak pemikiran penulis untuk tidak menikah.
Penikahan dianggap ruang yang selalu laki-laki sebagai makhluk yang superior. Sehingga, perempuan menjadi lemah dan bergantung pada laki-laki. Bagi para feminis, hal ini sangat sensitif. Bahasa yang digunakan dalam buku ini mudah dipahami. Singkat, lugas dan jelas. Buku ini tidak terlalu memihak pemikiran feminis tapi banyak mengangkat cerita dari segi perempuan. Selain itu, buku ini adalah satu buku trilogy. Buku pertama berjudul, Si Parasit Lajang. Buku Kedua, Cerita Cinta Enrico dan Ketiga Cerita Eks Parasit Lajang.