Friday, March 14, 2025
spot_img
HomeFigurFigur NasionalUpaya Resiliensi Neng Hannah Merangkul Istri Eks-Napiter

Upaya Resiliensi Neng Hannah Merangkul Istri Eks-Napiter

“Dengan memperlakukan mereka sebagai teman dan menempatkan napiter sebagai manusia, maka dengan sendirinya kepercayaan diri akan terbangun,” ungkap Dr. Neng Hannah, M.Ag—yang biasa disapa Teh Hannah ini.

Diakui atau tidak, dalam banyak kesempatan yang menyangkut kasus terorisme, kita acapkali fokus terhadap pelaku penyerangan. Tak heran jika penangkapan dan penjara dianggap sebagai hukuman setimpal. Padahal dalam beberapa temuan di lapangan, ideologi pelaku diwarisi ke dalam tubuh istri dan anak di rumah.

Atas dasar konteks inilah, Teh Hannah memilih strategi lain dalam menyikapi kasus terorisme. Perempuan kelahiran Rangkasbitung, 24 Juli 1979 ini memutuskan bergabung dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Barat, dan menjabat sebagai Ketua Bidang Perempuan dan Anak periode 2022-2024.

Ketertarikan Teh Hannah terhadap kesetaraan gender sebenarnya dimulai ketika ia kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Aqidah Filsafat pada tahun 1997. Namun, pengalamannya ini semakin berkembang manakala Teh Hannah menjadi volunteer di SAPA Institute sekaligus mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima pada tahun 2008, di mana ia aktif mengikuti pelatihan keseteraan gender serta melakukan pendampingan terhadap perempuan.

 Ada satu momen yang makin memperkuat keputusan Teh Hannah untuk memperjuangkan kesetaraan. Kala itu, ia tengah membersamai seorang perempuan yang baru saja melakukan operasi caesar. Perempuan ini adalah korban KDRT. Barangkali karena menggunakan JAMPERSAL, akhirnya, luka jahitan di perut wanita tersebut tidak steril dan mengeluarkan nanah. Seketika Teh Hannah terenyuh lantaran merasa hidupnya selama ini berjalan amat baik, sementara di luar-an banyak perempuan bernasib kurang beruntung.

Membersamai Istri Eks-Napiter: Korban yang Jarang Tersentuh

Secara garis besar, kontra narasi terhadap terorisme kerap berkaitan dengan jihad, persaudaraan Islam, pengkafiran atau pembahasan terkait thaghut. Konfrontasi sosial semacam ini, belakangan menjadi doktrin turun temurun sehingga melahirkan kebencian yang amat pekat yang disebar para pelaku, termasuk terhadap anak dan istri. Tak ayal, anak dan istri teroris juga memiliki pandangan serupa akan pemahaman agama selayaknya sudut pandang sang suami.

Teh Hannah menyadari tantangan akan esktrimisme semacam ini. Bahkan ia mengaku jika tak mudah mendekati istri teroris. Mereka seolah memiliki dinding kuat yang sulit sekali ditembus. Para istri teroris ini amat susah bercerita dan terbuka kepada orang luar. Oleh karena itu, Teh Hannah memilih melakukan pendekatan dengan membawa nama profesinya selaku akademisi, yaitu tempatnya mengajar di Fakultas Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pada awal pertemuan, Teh Hannah sering membawa buku cerita untuk sang anak, lalu mengajak membaca bersama. Kadang ia mengajak menyanyi bersama di mana lagu yang disampaikan sarat akan nilai nasionalisme. Ia tak serta merta membicarakan kasus terorisme yang menimpa keluarga tersebut. Terlebih, stigma di masyarakat begitu pelik di mana orang-orang memandang istri teroris begitu buruk. 

Pendekatan humanis yang dilakukan berulang-ulang ternyata membuahkan hasil. Istri pelaku mulai terbuka. Ia mulai menceritakan bagaimana kondisi psikisnya selaku istri teroris. Bahkan percakapan Teh Hannah dan istri pelaku menggunakan bahasa Sunda yang menandakan keakraban keduanya.

Tak jarang, Teh Hannah mendapati cerita getir dari istri pelaku, yakni setika sang suami tertangkap, maka si istri mati-matian bekerja demi menghidupi dirinya beserta buah hati. Sayangnya, tak mudah mendapatkan pekerjaan mengingat tekanan dan stigma masyarakat begitu kuat. Persepsi negatif selalu menghantui istri teroris ketika keluar rumah. Dikucilkan serta dipandang buruk seolah imbas dari perbuatan sang suami yang mesti dipikul. Akibatnya, ia memandang masa depan sebagai jalan suram.

Dalam upaya mengembalikan reseliensi istri teroris, Teh Hannah lantas meyakinkan jika masa depan tidaklah seburuk bayangan istri napiter tersebut. Manusia memang tempat salah dan dosa. Namun, selama ada kemauan untuk berubah, kesalahan tersebut dapat diperbaiki, dan keadaan yang pelik akan terlewati. 

Teh Hannah mengakui jika program deradikalisasi yang dilakukan dengan cara manusiawi, alih-alih melalui jalan kekerasan sangatlah efektif. Oleh karena itu, ketika melakukan pendampingan terhadap istri teroris, ia selalu melakukannya dengan segenap hati agar bahasa dan nilai yang ingin disampaikan dapat diterima. Bahkan yang membuatnya terenyuh adalah ketika istri teroris yang telah melalui pendekatan deradikalisasi ini turut serta dalam menyadarkan sang suami. Tak sedikit, ketika suaminya keluar dari penjara justru mengikrarkan diri kembali ke NKRI.

Selain merangkul istri teroris, Teh Hannah juga terlibat dalam pembuatan Buku Saku yang diterbitkan oleh AMAN Indonesia, WGWC serta Rahima. Buku Saku ini memang diperuntukkan untuk petugas lapas. Namun, tujuannya tidak jauh dari upaya deradikalisasi narapidana terorisme yang dilakukan secara humanis.

Misalnya, bagaimana mengingatkan napiter perempuan ketika melihat anaknya terlantar sebab orang tuanya dipenjara atau melakukan bom bunuh diri. Dengan upaya pendekatan semacam ini, maka napiter dengan sendirinya akan terbuka lalu barulah secara perlahan petugas bisa memasuki kontra narasi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments