Akhir-akhir ini isu kekerasan seksual ramai diperbincangkan, apa lagi isu kekerasan seksual di pesantren. Pasalnya, banyak kasus kekerasan seksual di pesantren yang mulai terungkap dan masyarakat sudah mulai terbuka dengan kemungkinan terjadi kekerasan seksual di ruang-ruang praktik keagamaan. Tetapi, tidak demikian dengan isu kekerasan seksual di wilayah konflik, banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa wilayah konflik juga termasuk wilayah rentan kekerasan seksual terutama bagi perempuan dan anak. Padahal isu kekerasan seksual di wilayah konflik tersebut merupakan isu lama, tetapi sampai sekarang kurang diperhatikan.
Wilayah Konflik Lumbung Kekerasan Seksual
Misalnya, dalam situasi konflik pasti mengharuskan warga sekitarnya untuk mengungsi. Akan tetapi tempat pengungsiannya tidak layak, yang membuat perempuan dan anak–anak tidak memiliki privasi atau tempat khusus, sehingga rentan menjadi korban kekerasan seksual. Lalu pada saat ingin melaporkan kasus kekerasan seksual, korban merasa kesulitan karena ruang pelaporan bagi korban tidak tersedia, terlebih bukti yang sulit didapatkan. Hal serupa terjadi pada saat konflik di Poso dan di Aceh, dimana bukti kekerasan seksual yang terjadi bisa saja tiba-tiba hilang karena tidak tersedianya ruang privasi.
Bahkan ada anggapan bahwa solusi satu-satunya adalah menikahkan korban dengan pelaku. Bayangkan saja, bagaimana menderitanya korban harus hidup selamanya dengan orang yang sudah merenggut hak asasi manusianya. Bukannya seharusnya pelaku dijauh dari korban? Bukan malah diberi simpul tali.Selain tidak memiliki ruang pengaduan, korban kekerasan seksual juga tidak memiliki akses pemulihan yang menyeluruh. Hal tersebut terjadi karena sedikitnya perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan di perundingan damai, sehingga kebutuhan dalam penanganan kekerasan seksual yang kebanyakan korbannya perempuan tidak terakomodir. Akibatnya penanganan kasus kekerasan seksual tersendat, impunitas tinggi, dan keberulangan kasus serupa pasca konflik.
Angka Kekerasan Seksual Dibalik Konflik
Hasil diskusi “RUU TPKS Dalam Kacamata Situasi Konflik dan Pendekatan Peace Building” yang diadakan oleh AMAN Indonesia menunjukan beberapa data kekerasan seksual di wilayah konflik, yaitu di Aceh, KKR Aceh merilis laporan 1.376 perempuan dan janda, ada 128 perempuan di perkosa dan 28 diantaranya mengalami kekerasan seksual, ditambah masih banyak korban yang belum melapor.
Sedangkan di Maluku, Kapolda menyatakan bahwa ada 54 titik Kekerasan Seksual, dan data detailnya belum terkonfirmasi. Di Lampung, kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Januari hingga Desember 2021 sebanyak 239 kasus dan kasus kekerasan seksual sebanyak 179 kasus. Berdasarkan kategori usia korban, 170 kasus berusia anak dan sisanya adalah orang dewasa. Kasus di Lampung sendiri, untuk kategori usia pelaku, berbanding terbalik dengan korban, hanya ada 25 pelaku yang tergolong usia anak. Sebanyak 208 pelaku berusia di atas 18 tahun atau usia dewasa. Pelaku mulai dari Guru ngaji, kepala desa, teman, pacar, dan orang dekat lainnya.
Kekerasan Seksual Mengancam Kehidupan Korban
Kekerasan seksual bukan hanya sekedar angka, ini menyangkut keberlangsungan hidup manusia. Karena banyak dari dampak kekerasan seksual ini yang mengancam kehidupan korban., diantaranya yaitu:
Pertama, trauma fisik. Misalnya karena ada unsur pemaksaan dalam berhubungan seksual, maka kerusakan organ reproduksi bisa terjadi dan kemungkinan fungsi reproduksi tidak kembali. Kedua, trauma psikologis. Misalnya berupa kehilangan rasa hormat dari suami, terpecah dari hubungan keluarganya, tidak percaya diri, stereotype “anak rumput”, dan ditambah konseling keluarga tidak dilakukan karena dianggap hanya korban yang punya masalah trauma.
Ketiga, kesulitan mengakses layanan publik. Korban kekerasan seksual dengan stigmanya yang “buruk” akan kehilangan akses pendidikan, akses bantuan aborsi aman, dan akses perlindungan hukum. Sedangkan dampak residu pada korban kekerasan seksual, residu jangka panjangnya korban bisa menjadi pekerja seks, recycle trauma dan segala macam gangguan kejiwaan serta hilangnya masa depan.
Apakah Disahkannya RUU TPKS Cukup Menjadi Solusi?
Kekerasan seksual dianggap sebagai pemicu konflik, tapi disaat bersamaan konflik justru menyisakan kekerasan seksual, bahkan kekerasan seksual menjadi alat teror dan rencana sistemik penaklukan, pertanyaan besar dalam benak saya, apakah disahkannya RUU TPKS cukup menjadi solusi dalam penanganan kekersan seksual di wilayah konflik?
Jawabannya belum, isu perempuan di wilayah konflik belum secara komprehensif dibahas dalam UU TPKS. Misalnya dalam Pasal 60 ayat (3), Belum ada pengaturan mengenai pencegahan kekerasan seksual dalam situasi khusus. Dalam berbagai situasi seperti konflik dan bencana alam, pada umumnya yang diutamakan dan menjadi prioritas adalah pemenuhan kebutuhan primer dari pada pencegahan kekerasan seksual. Padahal dalam situasi khusus seperti itulah, potensi kekerasan seksual makin besar karena kerentanan perempuan dan anak semakin tinggi.
Pun, jika secara hukum sudah diatur semuanya, namun tetap ternyata tidak cukup untuk menjawab persoalan yang hubungannya dengan residu dan hak korban untuk bisa hidup kembali diterima di masyarakat ataupun kita bicara ruang lingkup di masyarakat yang sehat dan suportif terhadap korban. Jadi tetap harus ada semacam pemulihan berbasis komunitas, agar ada ruang masyarakat untuk andil dalam penyelesaian isu kekerasan seksual tersebut.
Pemulihan berbasis komunitas tersebut bisa berupa komunitas sadar kekerasan seksual, rumah aman dan pengelolaan bersama, rehabilitasi untuk korban dan keluarga, serta pelaku dan keluarga, dan rekonsiliasi untuk seluruh masyarakat agar peka terhadap kekerasan seksual, mencegah impunitas serta mencegah prilaku bias gender di komunitas.