Tuesday, September 16, 2025

The Art of Mobilizing: Kisah Suraiya Kamaruzzaman Memimpin Gerakan Perdamaian Perempuan Aceh

Konflik panjang yang terjadi di Aceh menyisakan luka yang dalam di hati semua orang,  khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Perang yang terjadi antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan pemerintah Indonesia, memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat Aceh. 

Hadirnya seorang perempuan menyuarakan perdamaian di tengah konflik, menjadi angin segar yang membawa harapan baru. Perempuan yang berani bersuara lantang untuk hak-hak korban yang dibungkam dan perdamaian yang dikubur dalam-dalam.

Suraiya Kamaruzzaman, seorang aktivis perempuan menginisiasi organisasi perempuan bernama Flower Aceh. Gerakan ini menjadi salah satu pilar perjuangan hak asasi manusia (HAM) perempuan di tanah rencong. 

Mereka menyebarkan pesan-pesan perdamaian lewat striker-stiker dan poster yang dibagikan dari rumah ke rumah. “Perempuan punya hak hidup”, “Kami bagian Masyarakat anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Bagaimana dengan Anda?, “DOM, Jangan ada lagi di Aceh” ,“Nyala Panyot Tak Terpadamkan”, “Mereka berhak untuk hidup damai”.

Keresahan dan Langkah Awal

Suraiya menjadi seorang aktivis sejak masih kuliah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh sejaktahun 1980an. Ia melihat dengan jelas bagaimana konflik bersenjata membawa penderitaan besar bagi seluruh kalangan masyarakat Aceh. Banyak perempuan yang pada akhirnya kehilangan suami, anak atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual.

Keresahannya memberikan kekuatan untuk bergerak dan memulai langkah perubahan. Bersama beberapa temannya, ia mendirikan Flower Aceh pada tahun 1989. Flower Aceh sendiri fokus memberikan pendampingan bagi korban kekerasan dan pelanggaran HAM. Suraiya hadir dengan keberanian menyuarakan keadilan di tengah kekacauan yang terjadi di Aceh kala itu.

“Perempuan Aceh berhak hidup damai,” pesan Suraiya dalam setiap aksi yang ia lakukan. Baginya,  menegakkan hak perempuan bukan hanya tentang keadilan, tapi juga tentang kemanusiaan. 

Harapan Baru di tengah Kekerasan

Di tengah situasi militer yang mencekam, Flower Aceh hadir sebagai ruang aman. Suraiya dan timnya mendampingi para perempuan korban kekerasan, memberi pelatihan, mendistribusikan bantuan, bahkan mendirikan pusat krisis perempuan pasca tsunami 2004. 

Semua yang ia lakukan berlandaskan nilai-nilai gotong royong dan kemanusiaan. Melalui pelatihan hak asasi manusia dan kesetaraan gender, Suraiya memberdayakan perempuan Aceh dan membangun  kesadaran bahwa mereka punya hak bersuara dan berjuang untuk hidup yang lebih baik, tanpa kekerasan.

Salah satu cerita paling menyentuh adalah kisah ibu-ibu di Gampong Meunasah. Berkat pemberdayaan Flower Aceh, mereka berani bersatu menjemput 14 anak laki-laki yang ditangkap tentara. Tangan mereka saling menggenggam, membentuk “sapu lidi”, sehingga tidak mudah dipatahkan. Akhirnya, semua anak itu pulang selamat. Dari momen itulah membuktikan bahwa perempuan punya ketakutan besar.

Kepemimpinan Perempuan Membangun Damai

Suraiya selalu percaya bahwa perdamaian bukan sekadar kesepakatan politik, tetapi perubahan cara berpikir. Karena itu, ia menciptakan gerakan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan melibatkan perempuan. Melalui Flower Aceh, ia mengajarkan perempuan menanam sayur untuk ketahanan pangan, belajar pengobatan tradisional, dan menjaga energi komunitas tetap hidup di tengah perang.

Ia menyebut ini sebagai “The Art of Mobilizing”. Seni menggerakkan orang untuk berdaya, peduli, berani, dan bersatu. Bagi Suraiya, satu langkah kecil perempuan bisa memulai gelombang besar menuju perubahan. Pesan damai yang ia kampanyekan, lewat stiker, kaos, dan poster, perlahan-lahan menggantikan suara tembakan di banyak hati rakyat Aceh.

Membawa Suara Perempuan

Meski perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat konflik, Suraiya tak pernah berhenti mendorong keterwakilan mereka. Ia memimpin Kongres Perempuan Aceh,Duek Pakat Inong Aceh, pada tahun 2000 yang melahirkan gerakan perempuan Aceh bernama Balai Syura Ureung Inong Aceh serta rekomendasi penting untuk pemerintah nasional bahwa rakyat Aceh ingin damai, bukan perang.

Berbagai upaya Suraiya lakukan bersama gerakan perempuan Aceh. Tsunami Aceh di tahun 2004 tak menyurutkan semangatnya membangun damai. Hingga di tahun 2005, perjanjian damai Helsinki membuka wajah baru Aceh yang damai.

Meski Aceh kini sudah damai, bukan berarti upaya menjaga perdamaian usai. Paska damai, Suraiya fokus pada advokasi kebijakan agar program pemerintah daerah Aceh responsif gender.  Meskipun jalannya tak mudah dan sering diwarnai penolakan, ia tetap memperjuangkan suara perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari perdamaian Aceh.

Warisan yang Menginspirasi

Kerja keras Suraiya diakui dunia. Ia menerima Penghargaan Yap Thiam Hien (2001), N-Peace Awards (2012), hingga She Can Award (2014). Tapi baginya, penghargaan hanyalah simbol. Hal yang paling penting baginya adalah melihat bagaimana perempuan Aceh berani bangkit kembali, berani bersuara dan memimpin masa depannya sendiri. 

Kini, kisah Suraiya Kamaruzzaman menjadi teladan bagi generasi muda, khususnya perempuan, bahwa kepemimpinan perempuan bisa mengubah sejarah. Dari Flower Aceh, ia mengajarkan arti kemanusiaan, kesetaraan, dan kekuatan solidaritas di tengah badai konflik.

Suraiya Kamaruzzaman menunjukkan bahwa perdamaian bukan hadiah, tapi hasil perjuangan panjang. Ia tidak hanya menuntut perubahan, tapi menyalakan harapan di hati banyak perempuan Aceh. Kisah Suraiya adalah pengingat bahwa ada jalan lain. Jalan yang memanusiakan manusia, memberi ruang pada perempuan untuk memimpin, dan membangun masa depan tanpa terbelenggu rantai kekerasan. 

Leni Nur Azizah
Leni Nur Azizah
INFJ. Suka, buku, puisi dan alam. Sapa aku lewat instagram @Leni_azie.

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here