Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeFilmKisah Struggle Jurnalis Perempuan di India

Kisah Struggle Jurnalis Perempuan di India

Bagaimana rasanya menjadi jurnalis perempuan? jika pertanyaan ini dilontarkan kepada seorang jurnalis perempuan, jawabannya pasti membutuhkan beberapa halaman untuk menjelaskan secara rinci bagaimana perjuangannya menjadi seorang jurnalis. Berpacu dengan waktu, disertai dengan budaya patriarkis, seorang jurnalis perempuan kerapkali mendapatkan perilaku yang kurang baik ketika mencoba untuk mencari data di lapangan.

Kondisi serupa juga terjadi pada jurnalis di India. Dilansir dari Committee to Protect journalists, tahun 2021 merupakan salah satu tahun mematikan bagi para jurnalis. Tahun 2021, ada 6 jurnalis terbunuh. Sedangkan tahun 2022, India menduduki peringkat 150 diantara 180 negara dalam indeks kebebasan pers. Kekerasan terhadap jurnalis sering dialami di india dan menjadi salah satu alasan menurunnya kebebeasan pers di India.

Berdasarkan fakta tersebut, film Writing with fire, bisa menjadi salah satu film rekomendasi untuk mengetahui bagaimana perjuangan menjadi seorang jurnalis perempuan. Writing with fire merupakan salah satu film karya Sushmit Ghosh dan Rintu Thomas yang mendapatkan nominasi film dokumenter terbaik. Film ini mengisahkan tentang kehidupan 3 jurnalis perempuan yakni:Meera Devi, Shyamkali Devi, dan Suneeta Prajapati yang bekerja di koran mengguan Khabar Lahariya. Kondisi media ini sedang berada di fase persimpangan jalan.

Memasuki zaman yang sudah berubah, yakni kemudahan dalam mengakses informasi, keberadaan media cetak berada di ujung eksistensi. Akhirnya, Khabar Lahariya membuat chanel youtube sebagai salah satu platform untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi para jurnalis untuk beradaptasi dengan media digital. Artinya, pada era saat ini, jurnalis harus memiliki bekal kemampuan untuk mengoperasikan media sosial serta memegang handphone untuk memberikan kabar kepada masyarakat.

Kisah para jurnalis perempuan ini terekam dalam sebuah film yang menguras emosi para penonton sekaligus menjadi refleksi utama kepada kita semua tentang kehidupan berat menjadi perempuan. Kisah di dalamnya dibuka dengan cerita pilu seorang istri yang tinggal di rumah.

Suatu hari, ia diperkosa oleh beberapa laki-laki yang tidak dikenalnya. Korban dan suami melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Namun, laporan itu ditolak secara telak oleh aparat kepolisian. Pada scene ini kita memiliki pemahaman yang cukup terekam dengan baik bagaimana sebuah negara belum memberikan ruang aman kepada rakyatnya, khususnya kepada perempuan.

Kisah Suneeta, ditampilkan sebagai seorang jurnalis yang sedang meliput kasus penambangan illegal di kampung halamannya yang digerakkan oleh mafia. Kondisi tersebut diperparah dengan ketiadaan standart perlindungan yang jelas. Suatu hari, terowongan bawah di lokasi penambangan tersebut roboh dan menewaskan para pekerja. Sayangnya, tidak ada yang menindaklanjuti musibah itu.

Sementara Shyamkali memiliki kesulitan untuk beradaptasi dengan teknologi. Kondisinya diperparah dengan suaminya yang kerapkali melakukan KDRT. Posisi kepala keluarga sebagai pelindung, memberikan ruang aman bagi keluarga, justru tidak didapatkan oleh Shyamkali. Tidak hanya itu, sang suami justru mencuri gaji Shyamkali sebagai jurnalis. Mengetahui hal itu, ia tidak terima dan mengadu ke aparat.

Kondisi Suneeta ini sebenarnya menjawab kondisi daerah yang ada di India yang tidak bisa menjangkau akses internet memadai. Sehingga untuk mengabarkan informasi, terkadang terkendala sinyal internet dan membuat informasi tidak tersampaikan dengan baik. Di samping itu, pada beberapa daerah, belum dijangkau dengan aliran listrik.

Melalui film ini, beban ganda para perempuan jurnalis yang memiliki peran dalam rumah tangga, mewakili suara dan curahan hati seorang perempuan. Tidak hanya itu, stratifikasi sosial menjadi salah satu hal yang sangat dilihat. Persoalan kasta di india, masih menjadi beban yang sangat besar untuk mendapatkan ruang kebebasan yang sempurna. Bagi kalangan perempuan bawah, ia hanya memiliki sedikit ruang berpendidikan, berkarir hingga melakukan hal sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya demikian. Disinilah tercipta ketimpangan yang cukup jauh antara kasta atas dan kasta bawah.

Potret kehidupan para perempuan di Indonesia, seperti problematika pernikahan, hingga pendidikan tinggi bagi perempuan, nyatanya juga sama terjadi di India. Kondisi di India justru diperparah dengan ketiadaan ruang aman bagi perempuan untuk berkarir, bekerja hingga mendapatkan kebebasan dalam hidup. Jurnalis memiliki ruang untuk mengabarkan ketimpangan ini, menjadi corong informasi bagi masyarakat supaya memiliki kesadaran utuh tentang ruang aman bagi perempuan. Untuk sampai pada tahap itu, butuh proses yang panjang disertai kesadaran kolektif dari masyarakat.

 

 

Previous article
Next article
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments