Budaya Mahar, Femisida dan KDRT di India
Di India, menikah bukanlah sekadar perkara ikrar janji antara dua individu. Di negara barata tersebut terdapat budaya di mana keluarga perempuan perlu membayar mahar kepada keluarga laki-laki yang akan menikahinya. Pemberian mahar ini bukan sebatas penyerahan materi asset semata, namun juga persoalan status simbolik yang berpengaruh pada hubungan kedua keluarga.
Ketika kedua keluarga bersepakat menikahkan anak-anaknya, seharusnya persoalan mahar dapat dipermudah atau diringankan. Sayangnya itu tidak banyak terjadi di banyak keluarga India. Seringkali, ketika keluarga perempuan tak memenuhi permintaan keluarga laki-laki, nyawa sang perempuan menjadi taruhan.
Tak heran, pada tahun 2021 saja, kasus kematian mahar yang dilaporkan di India berjumlah hampir 6,8 ribu. Meski angkanya masih tinggi, namun angka tersebut sejatinya jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2014 lalu saja jumlahnya sekitar delapan ribu ratusan perempuan yang telah menjadi korban.
Undang-undang Suksesi Hindu yang telah diamandemen sudah menyatakan bahwa perempuan memiliki hak atas harta orang tua mereka terlepas dari status pernikahan yang melekat pada mereka. Namun dalam praktiknya, warisan perempuan secara sosial diberikan kepada sang suami sebagai mahar dalam perkawinan yang menyebabkan ketergantungan finansial pada pasangan atau mertua.
Cacat ekonomi ini lah yang selanjutnya menjadi faktor penghambat kemajuan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di negara tersebut. Untuk mencegah kekerasan ekonomi terhadap perempuan. Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Larangan Mahar pada tahun 1961 yang melarang pemberian atau penerimaan mahar di India.
Namun, regulasi ini masih banyak dilanggar oleh warga yang mengakibatkan perempuan seringkali ‘disandera’ secara sosial dan ekonomi oleh suami dan keluarga mertua. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan dengan alasan keluarga perempuan tidak memenuhi mahar menjadi hal yang jamak di sana.
Pada tahun 2018, India bahkan sempat dinobatkan sebagai negara paling berbahaya di dunia bagi wanita. Konsensus umum tentang keselamatan perempuan menunjukkan bahwa warga lokal menganggap bahwa upaya untuk meningkatkan keselamatan perempuan melalui penerbitan regulasi tidaklah efektif. Banyak kasus KDRT yang tidak ditindak tegas oleh apparat hukum terlebih bila korbannya dari kasta yang paling rendah.
Sneha Jawale: Korban KDRT yang Berupaya Bangkit Kembali
Sneha Jawale muda adalah perempuan yang ceria dan berparas cantik. Di masa lampau ia selalu berusaha tampil menarik dengan memadupadankan sari yang dipakainya. Namun, semenjak menikah keceriaan Sneha berangsur-angsur pudar. Suaminya yang dulu baik, kini berperangai kasar. Ia berdalih bahwa Sneha patut mendapat perlakuan buruk karena keluarganya tak kunjung melunasi mahar yang ditawarkan padanya.
Pada suatu hari ketika emosi sang suami sedang memuncak, Sneha bahkan digampar berkali-kali sebelum disiram dengan minyak tanah. Belum sempat mengelak, suami Sneha sontak melempar korek api yang membuat sekujur tubuh Sneha terbakar. Syukurlah, Sneha masih bisa menyelamatkan diri dari kobaran api.
Walau usai api itu padam, wajah dan sekujur tubuhnya menderita luka bakar hebat. Hal yang miris, meski Sneha masih hidup, keluarga kandung dan mertuanya justru menganggapnya telah meninggal dunia. Satu-satunya kekuatan yang ia peroleh hanya dari anak laki-lakinya yang berkata, “ibu tetap cantik. Wajah ibu seperti bayi, merah merona”. Kata-kata penguat anak laki-lakinya tersebut membuat kesedihan dan kepedihan Sneha berkurang.
Tak lama kemudian sang anak justru dibawa pergi oleh suaminya yang lalu meninggalkan ia seorang diri. Kenyamanan hati yang diperoleh Sneha dari putranya lantas pudar. Stigma buruk korban KDRT yang dicap sebagai istri tak becus dan kurang taat suami itu membuat Sneha hanya bisa berjuang sendiri untuk menyembuhkan luka.
Untunglah, di tahun 2015 seorang aktris yang mengetahui kisah pahit Sneha mengajaknya bermain peran dalam drama “Nirbhaya”. Drama “Nirbhaya” mengisahkan pengalaman perempuan bernama Nirbhaya yang meninggal akibat diperkosa oleh sekelompok geng di New Delhi. Terlibat dalam pementasan teater membuat Sneha menemukan gairah untuk terus berjuang melawan stigma kekerasan terhadap perempuan.
Usai pementasan selesai, ia bahkan ditemui oleh sejumlah anak muda yang terharu akan kisahnya dan memintanya untuk menganggap mereka sebagai anak. Simpati audiens kepada Sneha membuatnya terharu. Sejak saat itu, ia banyak melakukan kerja sosial dan membantu proses healing korban kekerasan yang masih dilabeli negatif oleh masyarkat secara umum.