Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniKisah Seorang Pendeta Perempuan: Menyembuhkan Luka Kekerasan dengan Damai, Anti Kekerasan dan...

Kisah Seorang Pendeta Perempuan: Menyembuhkan Luka Kekerasan dengan Damai, Anti Kekerasan dan Semangat Kasih

Pasca kerusuhan G-30 S/PKI, suasana kabut, duka, kekerasan, luka mendalam terus mengintai. Hidup dalam kondisi itu nyatanya menjadi sesuatu dilematis sendiri, ketika hari ini bisa melihat segala hal yang sangat berbeda. Kekerasan yang terjadi pada 1965 masih membekas pada beberapa orang yang menjadi bagian dari wilayah tersebut, apalagi kepada orang yang menjadi bagian dari fase tersebut.

Kekerasan massal yang terjadi pada 1965- 1967 akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman masyarakat NTT dan gereja. Stigma negatif yang tercatat pada PKI berdampak juga kepada anak cucu, seperti menanggung dosaa turunan yang tidak berhenti. Bagi Mery, hal itu sangat tidak adil, apalagi menghukumi dosa kepada orang yang tidak tahu betul bagaimana kronologi peristiwa tersebut bisa terjadi.

Perjalanan hidup Mery dimulai dari ketegangan yang terjadi. Mery pada 2 Juni 1972 di Soe, NTT. Kelahiran Mery tidak lain adalah sebuah permohonan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dengan dosa sosial yang dilekatkan oleh masyarakat kepada ayah Mery, karena sudah menjadi eksekutor dalam kasus yang terjadi pada tahun 1965-1967 tersebut. Ayah Mery, Bernadus Kolimon, adalah seorang polisi yang baru dua tahun ditugaskan di Soe Pulau Timor, sekitar 100 kilometer dari kota Kupang.

Pengalaman itu memiliki fase kelamnya tersendiri ketika pada bulan Januari 1966 hingga akhir tahun 1967 dia diperintah untuk mengeksekusi warga sipil yang tidak bersalah atas tuduhan keterlibatan dalam PKI. Sepanjang masa itu, dia mencatat tidak kurang dari 700 orang dieksekusi hanya di Kabupaten TTS itu saja. Dia sendiri mengeksekusi 17 orang. Pada 1978, Bernadus ditempatkan sebagai kepala polisi (Kapolsek) di Amanatun Selatan, sekitar 40 kilometer dari Soe.

Pada suku ini, kekerasan menjadi landasan untuk mengatasi masalah, termasuk juga praktik perang sebagai cara paling ampuh dalam menyelesaikan segala konflik. Dalam hal kecil misalnya, pola pengasuhan, konflik antara orang tua dengan anak juga bisa dilakukan dengan penyelesaian kekerasan. Hal itu juga karena superioritas makulinitas yang berkembang pada suku tersebut.

Tentu, pengalaman ayah Mery berpengaruh terhadap kehidupan Mery dengan keluarga. Hidup dalam pengalaman kekerasan, luka masa lalu, dendam yang dimiliki oleh ayahnya berpengaruh terhadap Mery. Akan tetapi, bersyukur bahwa mindset yang tertanam pada pada diri Mery bukanlah memperparah keadaan, melainkan ia belajar banyak, termasuk pandangan feminism yang juga ikut andil pada kehidupannya ketika menelaah berbagau fenomena yang terjadi.

Menyembuhkan luka masa lalu dengan sempurna Kalimat diatas rasanya perlu kita refleksikan kembali ketika masih banyak orang berkutat dengan masa lalu untuk memilih dan menilai sesuatu. Termasuk ketika kita menilai seseorang lantaran dari luka masa silam yang tercipta. Upaya yang dilakukan oleh sosok perempuan seperti Mery adalah upaya adil yang ia pilih sebagai manusia.

Bahwa sebenarnya, dalam hidup yang ia lakukan, luka lama menjadikan dirinya berfikir dendam masa lalu tidak bisa memberikan kehidupan di masa yang akan datang. Segala upaya yang dilakukan oleh Mery menununjukkan kehidupan yang berbeda. Segala kesakitan, tindakan ekstremism yang terjadi di masa silam sudah saatnya untuk dihilangkan.

Apalagi, sebagai manusia yang senantiasa menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang disertai dengan segudang pengalaman, pikiran untuk merubah luka tersebut dengan merajut perdamaian adalah misi utama yang dilakukan dalam hidupnya. Meskipun demikian, faktor yang mempengaruhi Mery juga pengalaman bertemu dengan orang-orang yang berbeda, apalagi lintas negara yang memiliki latar belakang daerah, suku, agama, serta ras yang berbeda.

Cakrawala berpikir Mery tidak lepas dari pengalaman menempuh pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Teologia, Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) di Kupang. Selain di kampusnya, ia juga aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan rajin mengikuti berita-berita sosial dan politik di tanah air.

Pengalaman hidup itu juga yang membuat Mery memilih untuk mengakhi segala luka lahir dan batin yang terus mengintai. Bagaimanapun, merubah masa silam tidak akan pernah bisa. Kita hanya bisa merubah diri kita hari ini dengan tidak mengulangi kesalahan silam yang tidak bisa diobati segala aspek apapun.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments