Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeBukuResensi Buku #NamaBaikKampus

Resensi Buku #NamaBaikKampus

Judul buku    : #NamaBaikKampus

Penulis           : Sarjoko S.

Editor             : Suhairi Ahmad

Tebal              :  184 halaman

Penerbit         : Gading

Kota Penerbit: Yogyakarta

Tahun Terbit : 2022

 

Gambaran Buku #NamaBaikKampus

Meski dalam beberapa tahun terakhir isu kekerasan seksual mengemuka luas, tidak banyak buku seperti #NamaBaikKampus yang menghadirkan ulasan mendalam mengenai kompleksitas problem tersebut.

Berawal dari riset tesis, analisis mengenai kerja-kerja kolaborasi jurnalis ini kemudian dibukukan dengan bahasa lebih ringan dan mudah dipahami bagi pembaca awam. Selain menyajikan hasil penelitian secara lebih singkat dan padat. Struktur tulisan mengalir dengan apik untuk membantu pembaca mendalami persoalan dari akar hingga harapan ke depannya.

Dengan tujuan membumikan karya akademis. Utamanya yang berkenaan dengan isu ‘tabu’ seperti kekerasan seksual, buku dengan cover hitam ini mengkelompokkan ulasannya ke dalam sembilan bagian. Secara urut, kesembilan bagian itu antara lain: awan mendung korban kekerasan seksual; jurnalisme kolaboratif; membentuk kolaborasi #NamaBaikKampus; mengelola kolaborasi; di persimpangan etika; journo-activism dan objektivitas media; elemen kesepuluh jurnalisme; menulis berita kekerasan seksual; dan viral culture.

Bab awal diutarakan mengenai betapa sulitnya membongkar kasus kekerasan seksual, dilanjutkan dengan fenomena media sosial yang ternyata berdampak positif pada pengungkapan kasus kekerasan seksual, yang kemudian disusul dengan inisiatif sejumlah media untuk menyuarakan isu kekerasan seksual utamanya di kampus dengan menggunakan tagar #NamaBaikKampus.

Ide kerjasama antar media untuk mengungkap dinamika kekerasan seksual nyatanya tak semudah membalikkan tangan. Berupaya merinci persoalan di lapangan, Sarjoko mengelaborasikan peliknya kerja media dalam tujuh bab sendiri. Tak hanya mengambil sudut pandang dari media besar seperti The Jakarta Post, penulis juga membuka ruang untuk menggambarkan bagaimana upaya media yang waktu itu tergolong baru seperti Tirto.id berusaha menyajikan informasi yang akurat kepada publik.

Menyuarakan Isu Kekerasan Seksual

Mengangkat tema yang sensitif dan kerap dianggap tabu, ternyata menghadirkan dilema tersendiri bagi jurnalis yang bekerja pada kerja kolaborasi #NamaBaikKampus. Kompleksitas isu dan bagaimana respon pihak kampus digambarkan dengan detail oleh Sarjoko, sehingga ketika pembaca melahap halaman demi halaman, situasi yang penuh tekanan itu amat terasa.

Keunggulan lain dari buku ini selain tata bahasanya yang mudah dicerna meski membawakan topik yang berat adalah hal-hal detail terkait jurnalisme yang ditulis dengan apik. Poin berikutnya yang perlu diapresiasi adalah penulis berani mengambil sudut pandang korban dan wartawan, yang selama ini kerap dipandang mata ketika meliput kasus kekerasan seksual.

Sudut pandang korban yang dihadirkan dan dijelaskan dalam buku ini juga diterangkan dari berbagai angle. Sehingga pembaca dapat menyelami betapa kompleks isu kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi. Terlebih ketika kasus tersebut terjadi di luar kampus, misalnya saat dilaksanakan praktik kerja lapangan. Lokasi pelecehan yang berjarak jauh tersebut kerap dijadikan peluang emas bagi pelaku untuk melancarkan tindakan buruknya. Sebab,  dianggap lebih aman dan pengawasan dari tenaga pendidik yang sangat terbatas.

Kelonggaran inilah yang berulangkali menyulitkan posisi korban. Selain faktor lokasi, aspek relasi kuasa antara korban dan pelaku tak luput digambarkan dengan jelas dalam buku ini. Apalagi, budaya pemerkosaan atau rape culture yang selalu menyudutkan korban masih jamak diamini oleh publik kita. Sehingga, argumen yang mendukung korban kerap kali diremehkan.

Di satu sisi, ketika korban dan pelaku selama ini dekat, sering kali kasus pelecehan seksual dianggap sebagai konsekuensi tindakan, bukan hal yang harus dipersoalkan. Pemakluman tindakan negatif ini lah yang sayangnya masih menjangkiti banyak pendidik di lingkungan kampus. Alih-alih kemudian menindak pelaku dan menyelamatkan korban, pejabat perguruan tinggi sering menawarkan jalan damai karena apa yang terjadi dilihat sebagai peristiwa yang dapat memperburuk citra kampus.

Dengan sikap kampus yang jarang bersikap adil, penyelesaian kasus kekerasan seksual akhirnya memperburuk trauma bagi korban. Sehingga, peliputan kasus dengan bantuan media diharapkan dapat membawa angin segar kepada para penyintas. Walau pada realitanya masih banyak kasus kekerasan seksual yang sulit diungkap dan sering berujung ‘damai’ di ranah perguruan tinggi, dinamika kolaborasi jurnalisme yang ditulis oleh Sarjoko dapat disebut sebagai oase bagi padang literasi kita.

Tidak hanya membantu publik mendalami ‘lingkaran setan’ penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus, penulis juga mampu menghadirkan asa bahwa kerja-kerja perlawanan terhadap kekerasan seksual bukan hanya sebatas advokasi hukum semata tapi perlu juga diimbangi dengan kerja nyata akademisi untuk menyajikan teori dan fakta.

 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments