Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeOpiniProblematika Pengungsi Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat: Antara Pulang atau Bertahan?

Problematika Pengungsi Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat: Antara Pulang atau Bertahan?

Tahun 2022 adalah tahun ke-16 bagi para pengungsi jemaat Ahmadiyah mengungsi di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Mereka terusir dari tempat tinggal mereka di dusun Ketapang, desa Gegerung Kecamatan Lingsar Lombok Barat pada Februari 2006. Siapa sangka, mereka masih bertahan selama itu di pengungsian. Bagi mereka, pulang ke kampung halaman dan punya rumah sendiri masih menjadi mimpi di awang-awang.

Kehidupan di Pengungsian yang Pelik

Tinggal di lokasi pengungsian dengan segala keterbatasan tentu tidak mudah. Apalagi dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Bayangkan, 37 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 95 orang harus rela berbagi ruang bersama keluarga yang lain dan hanya disekat triplek tipis. Belum lagi kesulitan akses ekonomi karena diskriminasi yang mereka alami sehingga kehilangan sumber penghidupan. Banyak yang kemudian banting setir bekerja serabutan untuk menyambung makan.

Hak identitas yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara pun, harus mereka perjuangkan dengan tidak mudah. Perlu waktu bertahun-tahun sampai akhirnya mereka bisa mempunyai KTP dan terdata sebagai warga kota Mataram. Sebelumnya, setiap ingin mengurus KTP mereka hanya dilempar kesana dan kemari bak bola pingpong karena baik di Mataram maupun di Lombok Barat mereka tidak diakui. Tanpa kartu identitas, para pengungsi pun kehilangan hak-hak dasar lainnya. Mereka tidak bisa mengakses fasilitas jaminan kesehatan, anak-anak yang lahir pun terlahir tanpa mendapatkan akta kelahiran. Ketika anak-anak tersebut memasuki usia sekolah pun, mereka mereka kerap mendapatkan stigmatisasi sesat sehingga mengalami diskriminasi dan tindak perundungan di sekolah.

Mungkinkah untuk Pulang?

Dikutip dari Mandalikapost.com, Saat ditanya apakah mereka tidak ingin pulang dan memiliki rumah sendiri? Mereka menjawab bahwa sebenarnya keinginan itu ada. Terlebih, aset mereka berupa rumah dan lahan pekarangan ada di sana. Siapa juga yang mau hidup tanpa masa depan. Namun, rasa trauma atas kerusuhan dan pengusiran yang terjadi belasan tahun lalu masih terus ada dan menjadi kekhawatiran terbesar.

Pemerintah daerah juga belum bisa menjamin keselamatan dan keamanan jemaat Ahmadiyah jika mereka ingin kembali tinggal di dusun Ketapang, khawatirnya hal tersebut akan memicu hal yang sama terulang kembali. Mengingat penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah juga terus terjadi di wilayah Lombok.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Cahyo Pamungkas bekerjasama dengan LIPI tahun 2018 menemukan bahwa rekonsiliasi yang berdasarkan pada pendekatan perlindungan HAM terhadap kelompok-kelompok minoritas sulit diwujudkan bukan karena pemerintah tidak mau melaksanakannya, melainkan karena konteks sosial budaya masyarakat yang belum mendukung.

Pendekatan antropologis menjelaskan bahwa kesulitan proses rekonsiliasi disebabkan oleh saling berhimpitnya antara klaim kebenaran terhadap keyakinan teologis dan klaim wilayah. Keyakinan teologis diartikulasikan oleh pemeluknya ke dalam konteks geografis tertentu yang berimplikasi pada ekslusi dan resistensi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda keyakinannya dalam ruang tersebut. Selain itu, keyakinan teologis masing-masing kelompok juga menjadi hambatan proses rekonsiliasi. Misalnya kelompok Sunni menganggap Ahmadiyah telah keluar dari agama Islam dan merusak akidah.

Hal ini dikarenakan jemaat Ahmadiyah menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi baru yang tentu bertentangan dengan keyakinan Sunni bahwa tidak ada nabi lain sesudah nabi Muhammad. Di sisi lain, jemaat Ahmadiyah tetap meyakini bahwa keyakinan mereka tidak menyimpang. Terkait dengan pengungsi Ahmadiyah di Mataram, pemerintah daerah NTB sudah berusaha membuka ruang dialog antara jemaat Ahmadiyah dan MUI NTB namun selalu menemui jalan buntu.

Kedua belah pihak tetap pada pendiriannya, MUI menuntut ahmadiyah untuk bertaubat ke Sunni dan tidak beribadah secara ekslusif, sedangkan Ahmadiyah menuntut diakui sebagai bagian dari komunitas Islam dan hak-haknya dipenuhi. Faktor-faktor tersebut yang kemudian membuat pemerintah kesulitan untuk memulangkan jemaat Ahmadiyah ke dusun Ketapang, sehingga diperlukan strategi lain guna mefasilitasi hak-hak pengungsi untuk mendapatkan tempat tinggal dan kepastian masa depan.

Solusi Rekonsiliasi dan Peran Negara

Melihat konteks sosial dan budaya di pulau Lombok yang cenderung fanatik dalam keagamaan, Sementara memenuhi hak-hak pengungsi menjadi suatu hal yang lebih urgent untuk dilakukan. Karena itu, rekonsiliasi hanya bisa dimungkinkan dengan menggunakan pendekatan kultural daerah tanpa menyentuh dimensi perbedaan keyakinan teologis. Alih-alih kembali ke Lombok yang masyarakatnya masih sangat sensitif dengan perbedaan keyakinan.

Mataram dinilai menjadi tempat yang tepat untuk jemaat Ahmadiyah karena berada di kawasan perkotaan yang masyarakatnya lebih terbuka pada perbedaan. Hal ini bisa dilihat dari interaksi pengungsi Ahmadiyah dengan masyarakat di sekitar wisma Transito Mataram yang berjalan dengan baik. Apalagi setelah program inklusi sosial yang prakarsai oleh Lakpesdam NU di Mataram bekerja sama dengan berbagai pihak.

Dimulai dengan kegiatan bersama di sekiar pengungsian seperti rapat warga, olahraga atau berbagai pelatihan untuk mencairkan komunikasi antarwarga sekitar. Kegiatan ini secara bertahap membentuk ikatan sosial antara warga pengungsi dan masyarakat yang bermuara pada penerimaan pengungsi di wilayah Transito dan pemberianKTP oleh kelurahan. Pada konteks ini interaksi antara agensi dan struktur berperan dalam mendorong proses-proses rekonsiliasi pada akar rumput.

Gagasan mengenai relokasi secara bertahap dan menyebar merupakan tawaran yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah untuk meyelesaikan persoalan pengungsi Ahmadiyah. Bagaimanapun mereka berhak mendapatkan tempat tinggal yang aman dan juga kepastian masa depan di manapun mereka berada. Karena itu relokasi perumahan pengungsi di sekitar kota Mataram yang relatif multikultur dan menerima perbedaan menjadi suatu kebutuhan.

Hal yang mungkin dilakukan pemerintah adalah menyediakan program perumahan murah bersubsidi dan memasukkan anggota-anggota komunitas pengungsi untuk tinggal menyebar. Mengapa menyebar? Seperti yang dikatakan Jeremi Menchik, konsep mengenai HAM yang dimiliki oleh komunitas keagamaan di Indonesia adalah HAM yang berbasis komunal atau perlindungan terhadap hak-hak asasi komunal, termasuk dalam keyakinan keagamaan.

Begitu juga dalam konteks Indonesia, nasionalisme ketuhanan membuat agama tidak dipisahkan sepenuhnya dalam ruang publik sehingga masih berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika pengungsi Ahmadiyah pindah bersama-sama dan kembali tinggal mengelompok di suatu tempat maka dikhawatirkan kelompok intoleran akan mencari mereka dan mempersoalkan kembali eksklusivisme Ahmadiyah yang bermuara pada konflik kekerasan baru.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments