Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia telah membuat peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hal tersebut merupakan langkah maju yang tidak hanya bicara pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual namun juga bicara terkait pemulihan korban.
Permendikbud tersebut terdiri dari IX Bab dan 58 Pasal, dalam peraturan tersebut juga membahas kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pasal 5 juga disebutkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya perkosaan namun juga menyampaikan informasi ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.
Pada bab IV Peraturan tersebut juga menghimbau Perguruan tinggi agar membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan di Bab lain juga secara tertulis disebutkan terdapat sanksi pada Perguruan Tinggi jika dengan sengaja membiarkan perilaku kekerasan seksual. Dan Pemimpin perguruan tinggi berhak menjatuhkan sanksi ringan, sedang dan berat pada pelaku kekerasan seksual termasuk pada tenaga pendidik.
Seperti yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi, fungsi dan peran perguruan tinggi salah satunya sebagai pusat kekuatan moral. Perguruan tinggi atau biasa disebut kampus merupakan lokasi yang rawan terjadinya aksi kekerasan seksual. Tindakan kekerasan seksual bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan namun pada kenyataannya perempuan lebih banyak menjadi korban. Itu artinya sekelas lembaga atau institusi pendidikan pun belum mampu menciptakan ruang aman untuk mahasiswanya khususnya perempuan.
Mirisnya dalam kelas perkuliahan sering dibumbui dengan lelucon yang bernuansa seksual termasuk pada pelecehan bentuk tubuh dan organ reproduksi perempuan bahkan sangat jarang yang memiliki sensitivitas gender sehingga kegiatan tersebut dianggap wajar (dinormalisasikan), yang mana hal tersebut sama sekali sangat tidak selaras dengan Tri Dharma dan peran perguruan tinggi sebagai pusat kekuatan moral yang seharusnya membentuk perilaku dan nilai-nilai positif termasuk yang berkeadilan gender.
Kerawanan tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Kampus biasanya dipengaruhi oleh beberapa hal. Mulai dari pihak kampus belum sadar sepenuhnya terkait isu kekerasan pada mahasiswanya sehingga bentuk kekerasan seksual tersebut masih dinormalisasikan bahkan banyak kasus yang ditutup rapat hanya untuk menjaga citra pelaku dan nama Perguruan Tinggi.
Selain itu meskipun ada beberapa kasus yang ditangani namun tidak ada sanksi yang cukup memberikan efek jera untuk pihak Perguruan Tinggi termasuk dosen yang menjadi pelaku. Begitu juga terkait perlindungan dan pemulihan korban yang tidak diperhatikan yang mana hal tersebut bisa berpotensi pada minimnya keamanan korban pasca terkuaknya kasus tersebut.
Marak dan lestarinya kekerasan seksual di Lingkungan Perguruan tinggi juga dipengaruhi oleh korban yang enggan bersuara dan melaporkan karena biasanya korban diiming-imingi bantuan materi atau nilai yang menjanjikan yang mana keduanya bukan merupakan suatu hal yang mudah didapatkan. Selain itu korban enggan melapor karena mendapatkan intimidasi seperti mengancam akan dipersulit dalam perolehan nilai dan proses kelulusan bahkan ada yang mendapat ancaman akan menyebarkan foto korban.
Dengan adanya Permendikbud tentang pencegahan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi tentunya menjadi angin segar khususnya untuk para perempuan yang mayoritas menjadi penyintas kekerasan seksual di Lingkungan Kampus. Sehingga hal tersebut bisa menjadi payung hukum yang jelas untuk melakukan pencegahan, penanganan dan pemulihan kekerasan seksual pada wilayah pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi.
Semoga Peraturan Permendikbud tentang pencegahan kekerasan seksual tersebut bukan hanya dirancang, disusun, disahkan, dipublikasikan dibaca lalu disimpan saja. Namun perlu di pahami dan direalisasikan peraturannya. Karena keadilan adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan sesuatu dikatakan adil jika adil juga untuk kemaslahatan perempuan. Dengan menerapkan keadilan tersebut bukan hanya mematuhi peraturan Permendikbud tentang pencegahan kekerasan seksual namun juga menjalankan pancasila khususnya sila kelima.
Dalam hal ini diperlukan kolaborasi lebih dalam antara pemerintah, pihak Perguruan tinggi dan mahasiswa baik laki-laki dan perempuan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual agar kekerasan seksual tidak lagi dinormalisasikan dan banyak korban yang berani melaporkan sehingga korban mendapatkan keadilan termasuk pendampingan dalam pemulihan dan pelaku mendapat sanksi atas perbuatannya. Mau dibawa kemana moral anak bangsa jika keadilan tidak menyentuh perempuan?