Saturday, August 23, 2025

Perempuan di Balik Senjata: Cerita dari Pakistan

Sejak Desember 2010, fenomena bom bunuh diri oleh perempuan mulai mengganggu stabilitas keamanan Pakistan. Tiga insiden utama terjadi, melibatkan kelompok teroris seperti Tehrik-e-Taliban Pakistan (TTP) dan kelompok separatis Balochistan Liberation Army (BLA). 

Pertama, pengeboman di pusat distribusi makanan WFP pada 25 Desember 2010 di Bajaur Agency menewaskan 43 orang dan melukai lebih dari 100 orang. Kedua, pada 25 Juni 2011 di Dera Ismail Khan, pasangan muda asal Uzbekistan meledakkan diri di kantor polisi dan menewaskan 10 polisi. Ketiga, pada 11 Agustus 2011 di Peshawar, seorang perempuan meledakkan diri di dekat kantor pemeriksaan keamanan.

Tren ini berlanjut dalam sepuluh tahun terakhir (2015-2025), dengan empat kasus yang berhasil dikonfirmasi sebagai bom bunuh diri oleh perempuan. Contohnya, pada 21 Juli 2019 di Dera Ismail Khan, serangan menyebabkan 9 orang tewas dan 30 orang terluka. 

Pada 26 April 2022, Shari Baloch melakukan pengeboman di Universitas Karachi yang menewaskan 4 orang dan 4 orang terluka. Serangan lain terjadi pada 15 Mei 2022 di Miranshah, pada 25 Juni 2023 di Turbat, dan pada 3 Maret 2025 di Kalat, Balochistan. 

Rangkaian serangan ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme bukanlah kasus yang terisolasi, melainkan tren yang terus berkembang dan memerlukan analisis serius.  

 

Pergeseran Peran Perempuan dalam Ekstremisme Kekerasan: From Backyard to Dining Room

Keterlibatan perempuan dalam aksi bom bunuh diri di Pakistan tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor individu seperti aspek psikologis dan sosial, serta faktor sosial seperti norma masyarakat, ideologi, dan kehancuran sistem sosial. 

Namun, bukti yang dikumpulkan pihak berwenang Pakistan menunjukkan bahwa selain faktor radikalisasi—yang umum terjadi pada pelaku bom bunuh diri laki-laki maupun perempuan—banyak perempuan muda justru dipaksa oleh anggota keluarga laki-laki, seperti ayah atau saudara, untuk melakukan serangan.

Dua kasus terpisah menunjukkan bahwa alih-alih melakukan indoktrinasi, kelompok teroris sering menggunakan tekanan untuk memaksa perempuan muda menjadi pelaku bom bunuh diri. Kasus pertama terjadi pada Januari 2010, ketika Meena Gull, seorang pengungsi Afghanistan berusia 11 tahun, melarikan diri dari kamp pelatihan pembom bunuh diri di Bajaur Agency. 

Ia mengaku kepada pihak berwenang bahwa ayah dan dua saudaranya yang terlibat dalam pembakaran sekolah di Swat menekannya untuk melakukan serangan, namun ia menolak dan berhasil melarikan diri. Kasus kedua terjadi pada 19 Juni 2011, saat pasukan keamanan menangkap Sohana Javed, gadis berusia delapan tahun, di Lower Dir, Khyber Pakhtunkhwa. Sohana mengaku diculik oleh teroris dari Peshawar, dipaksa mengenakan rompi bom, dan ditinggalkan di dekat pos keamanan untuk meledakkan bom, namun ia memilih menyerahkan diri kepada pihak berwenang.

Faktor lain yang mendorong keterlibatan perempuan di Pakistan dalam aksi bom bunuh diri adalah pertama, kondisi masyarakat Pakistan yang konservatif secara budaya, yang membatasi akses perempuan terhadap pendidikan dan ekonomi. Kedua, banyak madrasah yang tidak berada di bawah pengawasan pemerintah menjadi tempat penyebaran radikalisme. 

Ketiga, jumlah personel perempuan di kepolisian dan lembaga keamanan masih sangat minim, sehingga memberi celah bagi pergerakan pelaku bom bunuh diri. Selain itu, perekrutan perempuan juga menjadi strategi kelompok teroris untuk menambah jumlah kombatan mereka saat dibutuhkan.

 

Pentingnya Peran Perempuan Peacekeeper

Di sisi lain perempuan diperalat oleh jaringan kekerasan karena kerentanan mereka dalam masyarakat patriarkal, terutama di wilayah konflik, kemiskinan, dan keterbatasan akses pendidikan. 

Di sisi lain, hal ini juga mengindikasikan bahwa perempuan memiliki potensi signifikan dalam dinamika konflik, sehingga perlu menjadi pusat perhatian dalam pencegahan terorisme dan pembangunan perdamaian. 

Misalnya dengan melibatkan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan dan strategi kontra-terorisme di tingkat lokal dan nasional. Kemudian, pencegahan juga bisa dilakukan melalui peningkatan akses pendidikan dan pemberdayaan untuk perempuan. Salah satunya dengan membangun kapasitas perempuan sebagai mediator komunitas dan agen perdamaian untuk mendeteksi potensi radikalisasi sedini mungkin. 

Penting juga melibatkan ulama dalam memberikan narasi tandingan untuk membantah propaganda yang merekrut perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri dan menolak penggunaan agama sebagai justifikasi kekerasan. Karena sebagian besar wanita tidak memiliki pengetahuan agama yang benar dan bergantung pada sumber informasi yang terbatas dan menyimpang.

Media juga perlu lebih proaktif menampilkan bahwa aksi bom bunuh diri melawan ajaran agama dan norma tradisional, agar tidak dipandang sebagai tindakan mulia. Dalam hal ini, fatwa yang dikeluarkan oleh ulama terkemuka akan berguna. 

Peningkatan kemampuan badan intelijen keamanan negara juga diperlukan untuk mencegah perekrutan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Pemeriksaan keamanan di pos pemeriksaan pinggir jalan juga harus ditingkatkan dengan penempatan personel perempuan tambahan.

 

Sumber:

Noor, S. (2011). Women Suicide Bombers: An Emerging Security Challenge for Pakistan. Counter Terrorist Trends and Analyses, 3(11), 1–3.

Ayu Kristina
Ayu Kristina
Aku alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM yang tertarik pada isu-isu perdamaian, gender, dialog antaragama, lingkungan, agama lokal dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Terpopuler
Artikel

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here