HomeOpiniCerita Sally Azar, Pastor dari Palestina

Cerita Sally Azar, Pastor dari Palestina

Siapa Sally Azar?

Perempuan paruh baya berusia 26 tahun itu tersenyum sembari menjelaskan latar belakangnya kepada jurnalis Jerusalem. Namanya, Sally Azar. Ia lahir dan dibesarkan di Palestina dari ayah yang juga berprofesi sebagai seorang pastor.

Dari ayahnya pula, ia banyak belajar dan mengamati bagaimana menyenangkannya melayani umat. Sally kecil yang dibesarkan dalam lingkungan gereja, selalu terpesona akan khotbah-khotbah indah yang menenangkan. Ia tak pernah bosan akan mendendangkan lagu rohani.

Sembari mengamati ayahnya bekerja, sejak kecil ia selalu memendam cita-cita akan pekerjaan yang sama. Dan hal itu ternyata tercapai dua setengah dekade kemudian.   Meski lahir dari ayah seorang pastor, Sally tidak pernah dipaksa orangtuanya untuk menjadi pelayan gereja. Baik ayah dan ibunya selalu memberikan kemerdekaan kepada seluruh anaknya untuk mengikuti minat dan bakat yang mereka sukai.

Tak heran, kedua saudara perempuan Sally juga bebas menentukan pilihan sesuai kehendak mereka. Satu orang dari mereka memilih menjadi dokter dan menekuni pekerjaan medis, sedangkan satu lagi lebih cocok menjadi pekerja sosial. Dan, kesemua pilihan itu diapresiasi oleh orangtua mereka.

Bagi Sally, kebebasan ini lah yang justru membawanya kian memantapkan pilihan untuk melayani umat. Meski pada awal perjalanannya belajar teologi, ia masih ragu apakah akan mengambil jalan yang sama seperti ayahnya. Namun, semakin ia mempelajari materi-materi yang ia dapatkan selama studi, pilihan hidup itu tampak nyata.

Perjalanannya mendalam teologi pun bukan dalam waktu singkat. Sally menghabiskan waktu selama hampir tujuh tahun di luar Palestina untuk menamatkan studi teologi. Empat tahun ia habiskan di Lebanon. Kemudian tiga tahun sisanya ia lanjutkan di Jerman sekaligus mengikuti pelatihan di sana.

Walau telah menggeluti teologi cukup lama, Sally megakui bahwa mempelajari Teologi bukanlah hal yang mudah. Apalagi, ia memulainya ketika menginjak usia 18 tahun, masa di mana remaja banyak mengeksplorasi diri dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

Pada waktu itu, dibandingkan memilih untuk berpesta pora, ia memutuskan untuk mempelajari seluruh konsep yang diajarkan oleh banyak gereja. Jadi bukan dari satu sumber saja, sehingga bisa dipastikan ia mempelajari banyak hal selama ia menyandang status sebagai mahasiswa.

Menyuarakan Keadilan Gender dan Perdamaian

Setelah bertahun mengenyam kuliah di bangku pendidikan, Sally akhirnya ditahbiskan sebagai pendeta pada akhir Januari 2023 di Gereja Lutheran Injili di Yerusalem. Upacara tersebut membuat Sally tak bisa berkata-kata, matanya selalu berkaca-kaca ketika mengingatnya, “ketika saya kembali ke Yerusalem pada bulan Januari, sambutannya sangatlah luar biasa, dan support dari gereja amat besar.

Dari situ saya meyakini bahwa mereka benar-benar menerima dan mendukung saya,” kata Sally Azar. Perasaan terkejut yang diungkapkan oleh Sally bisa dipahami, sebab konsep menahbiskan pendeta perempuan tidak dapat diterima 10 tahun yang lalu. Tak heran, sebelum ia diangkat sebagai pendeta terdapat dialog yang cukup panjang. Ia beberapa kali bertemu dengan sejumlah perempuan juga yang memantiknya untuk berbicara tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Syukurlah, komunikasi tersebut membawa dampak positif, ia diterima sebagai pemuka agama di lingkungannya. Sebagai bagian dari kewajibannya sebagai pendeta, Sally Azar memimpin doa di Gereja Lutheran. Ditanya tentang kegiatannya sehari-hari. Sally dengan antusias menjelaskan panjang lebar, “Tugas saya sebagai pendeta sama seperti rekan-rekan saya. Pendeta adalah pelayan Tuhan, oleh karena itu kami berdoa pada hari Minggu, membaptis, berdoa, dan berkhotbah kepada jamaah,” katanya.

Saat memimpin doa, ia tak hanya membatasi kepada jamaah perempuan semata. Ia memimpin berdoa untuk semua orang, termasuk pria dan wanita, di Gereja Lutheran di sini di Yerusalem dan di Gereja Beit Sahour (selatan Tepi Barat). Bagi Sally apa yang ia lakukan hanyalah awal, di masa depan putri dari agamawan Sani Ibrahim Azar ini ingin mendorong para gadis dari jemaatnya untuk mengikuti teladannya.

Sebab, ia merasa bahwa apa yang ia lakukan merupakan pesan umum untuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dan lebih dari itu, lewat amanah yang diembannya ia ingin menyampaikan pesan keadilan gender. Serta, seruan perdamaian untuk Palestina yang lebih baik ke depannya.

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments