Friday, November 22, 2024
spot_img
HomeOpiniMendamaikan Diri dengan Gaya Hidup Minimalis

Mendamaikan Diri dengan Gaya Hidup Minimalis

Gaya hidup minimalis sebagai satu pilihan dalam menjalani kehidupan dengan memiliki barang sesedikit mungkin sesuai kebutuhan, kini sedang menjadi tren, terutama di Jepang dan Amerika. Meski bukan suatu hal yang baru, tapi konsep, yang membebaskan diri dari godaan materi yang tak kunjung habis, sebenarnya telah ada dari zaman dahulu. Bahkan, banyak figur publik masa lampau telah mempraktikkannya sepanjang mereka hidup, termasuk junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW.

Hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah dulu menegaskan bahwa kekayaan bukanlah untuk berfoya-foya, tapi untuk umat lewat jalan perjuangan dakwah. Syahdan, Sayyidina Umar ketika masuk ke rumah Nabi bahkan pernah menangis tersedu-sedu karena melihat begitu lengang dan sederhananya rumah Nabi. Tempat tidur beliau tidak terbuat dari permadani, tapi dari tikar biasa yang seolah tidak layak bagi seorang pemimpin Madinah saat itu sekaligus Nabi dari umat Islam.

Melihat apa yang dimiliki Nabi Muhammad, Sayyidina Umar pun tertegun heran: bagaimana bisa seorang pemimpin umat yang sangat disegani, tidur hanya beralaskan tikar? Melihat keterkejutan Umar, Nabi dengan tenangnya menjawab, “bukankah hanya ini kebutuhan manusia di dunia ini?”

Jawaban singkat Rasul lantas membuat Umar malu. Ternyata beliau betul-betul melihat dunia hanya sebagai persinggahan untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya sebelum meninggal. Tak heran, apa yang beliau dan keluarganya miliki hanyalah barang-barang yang memang mereka butuhkan, bukan benda-benda mahal untuk dipamerkan. Beliau fokus melihat esensi, bukan aksesori.

Tak hanya Islam yang menitikberatkan gaya hidup minimalis dalam ajarannya. Dalam agama Buddha misalnya, anjuran untuk cenderung menghindari kepemilikan materi, telah diimplementasikan selama ribuan tahun. Namun, praktik itu tidak menjadi arus utama hingga abad ke-20, ketika para penulis, fotografer, dan seniman menganut gagasan tersebut. Menurut New York Times, gerakan minimalis secara massal dan mengglobal dimulai di dunia seni.

Konon, seperti halnya semua gerakan, minimalis telah berubah dari waktu ke waktu, tetapi berkat Marie Kondo dan munculnya rumah- rumah mungil, praktik ini mulai bangkit kembali. Orang-orang di di seluruh dunia menyadari bahwa memiliki lebih sedikit barang justru membuat mereka menyadari makna hidup yang lebih dalam.

Setelah diteliti, ternyata banyak sekali keuntungan yang kita dapat jika mampu menerapkan hidup minimalis secara konsisten. Lebih sedikit barang yang kita miliki, berarti potensi berantakan di rumah akan semakin kecil. Dengan kata lain kita dapat menghindari kekacauan yang suatu waktu akan muncul. Hal itu berarti akan lebih sedikit juga waktu yang dihabiskan untuk membersihkan atau mengatur barang-barang.

Bila dikaitkan dengan hubungan personal keluarga, kita nanti akan punya lebih banyak waktu dalam sehari untuk keluarga dan teman. Minimalisme juga memungkinkan kita untuk fokus pada prioritas kita. Sebuah studi pada tahun 2009 oleh Darby Saxbe dan Rena Repetti menemukan bahwa kekacauan domestik sebenarnya bisa memicu peningkatan level kortisol— alias hormon stres.

Oleh karenanya, memiliki barang-barang sesuai dengan kebutuhan akan turut membantu membebaskan pikiran kita dari hal remeh temeh yang bisa saja membuat kita pusing tujuh keliling. Tak hanya itu, mempertahankan lingkungan yang bebas dari kekacauan, akan membantu kita untuk meningkatkan fokus dan produktivitas.

Founder Social Connect, Sepri Andi, sebuah komunitas bagi penyintas kesehatan mental menilai gaya hidup minimalis membantu seseorang lebih simpel dalam menjalani hidup. Misalnya dalam mengkonsumsi apa yang dibutuhkan, atau membeli barang seperlunya. Menjadi seorang minimalis bahkan membantu banyak orang untuk lebih bijak, dan tidak terjebak pada kesenangan sesaat.

Hal ini berkaitan dengan pola pikir yang tenang, sederhana dan aktif. Kemudian mendorong orang lebih mudah memproses informasi dan cenderung lebih mudah mengutarakan isi hati atau perasaan dan ini membantu mereka lebih mudah memanajemen stress. Sejalan dengan Sepri, Adam Alfares Abednego, Co-Founder Menjadi Manusia, sebuah platform kampanye digital untuk kesehatan mental, juga memiliki pendapat yang senada bahwa pada dasarnya, masalah yang mengganggu psikologis dan mental bersumber dari beban pikiran.

Semakin banyak yang dipikirkan, akan semakin rumit isi kepala dan membuat seseorang kewalahan hingga depresi. Analoginya, kalau kita masuk kamar yang penuh barang dan sumpek, otomatis respon natural dari otak kita akan menangkap semua informasi di kamar. Sedangkan dengan isi yang secukupnya, kita tidak perlu banyak memproses barang-barang di kamar kita, isi kamar itu sama dengan isi kepala kita.

Dari perumpamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjalankan minimalisme membantu kita mengurangi beban mental yang bertumpu pada gaya hidup bermewah- mewahan dan pamer, utamanya di era media sosial. Dengan menerapkannnya, kita mendorong diri untuk fokus pada kebutuhan dasar, bukan pada penilaian orang lain. Menjadi kaum minimalis juga membantu kita berdamai dengan diri sendiri dengan mensyukuri apa yang ada, dan jika memiliki kelebihan barang maupun uang, kita diingatkan untuk berbagi kepada kaum papa.

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Hasna sedang menempuh studi doktoral antropologi politik di Universiteit van Amsterdam (UVA), Belanda. Di kala senggang ia berkomunitas di kelompok riset Gender and Sexuality PhD club di UVA dan masih berkolaborasi dengan teman-teman komunitas Puan Mmenulis. Sebelumnyaia mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Universitas Terbuka. Bisa dikontak melalui email: hasna.af@live.com atau melalui twitter @sidhila/Insta: @ngopidulubarunulis
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments