“Ranjuri hutan penyanggah bagi kehidupan…Titipan tuhan untuk kita jaga dan lestarikan”. (Penggalan lirik “Tentaraka Ranjuri” cipt. Ahdiyat dari LIBU Muda)
Tak ayal, pemuda mengambil peran penting dalam peacebuilding. Namun, tidak ada ruang yang tersedia bagi pemuda lintas identitas di Sigi, Sulawesi Tengah. Steven Yunius dan Ahdiyat, pemuda dari Sigi mengambil peran itu. Steven memfasilitasi dialog dan menginisiasi LIBU Muda (Lingkar Belajar Untuk Pemuda).
Membuka Ruang Dialog di Tengah Curiga
Awalnya, Steven atau biasa disapa Utho mengikuti pelatihan RSD (Reflective Structured Dialog) yang diadakan oleh AMAN Indonesia. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman dari komunitas JAKA TARUB (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) dari Jawa Barat. Utho kembali mengingat keinginannya untuk mendirikan komunitas interfaith. Ditambah lagi semangatnya terpantik oleh pidato Ruby Kholifah (Direktur AMAN Indonesia) mengenai keberagaman.
Pengetahuan dari pelatihan itu diejawantahkan dalam pelaksanaan dialog untuk anak muda di Sigi dengan tema “Merayakan Hari Raya Umat Beragama Lain”. Dialog pada Agustus 2023 itu mengajak serta pemuda beragama Islam dari berbagai latar belakang menjadi peserta. Ada pemuda Muhammadiyah, Al Khairat, NU, dan lainnya.
Utho sebagai pemuda Katolik mendapatkan berbagai kecurigaan saat melakukan profiling. Utho bersama Ahdiyat, melakukan pendekatan dengan kawan karang taruna Desa Sibedi yang mana mengalami konflik tertutup antar umat Islam dan Kristen. Utho menjamin, RSD tidak akan memberikan doktrin tertentu yang akan mengganggu keyakinan peserta.
Creative Peacebuilding ala LIBU Muda
Pertemuan peserta RSD belum usai walau RSD sudah selesai. Hingga muncul kesepakatan membuat komunitas interfaith untuk anak muda yang dinamai LIBU Muda. Nama ini dipilih karena mereka mengacu pada LIBU Perempuan, yang dianggap sebagai pendukung penuh LIBU Muda. Komunitas ini menghadapi stigma yang hampir sama dengan Utho di awal-awal profiling. Namun, mereka terus meyakinkan bahwa tidak akan ada pemaksaan keyakinan di LIBU Muda melainkan menjadi ruang pemuda lintas agama berkegiatan sosial.
Sekitar 30 anggota LIBU Muda menggunakan cara-cara kreatif dalam membangun perdamaian, yakni kampanye melalui media sosial, membuat quotes perdamaian, hingga terlibat dalam festival seni bertajuk Festival Arsitektur. Menurut Utho, semua yang dilakukan LIBU Muda ini membentuk narasi baru mengenai perdamaian di Sulawesi Tengah. LIBU Muda bernyanyi, berpuisi, dan bermain musik untuk merayakan keberagaman. Mereka yakin, musik bisa menyatukan perbedaan dan membawa pesan kebaikan.
Tak seperti anak muda lain yang lebih familiar dengan instagram, pemuda Sulawesi lebih akrab dengan Facebook. Sehingga, hal ini membuat LIBU Muda memilih campaign melalui Facebook. Utho bercerita, ia mendorong teman-teman untuk berbagi cerita mengenai LIBU Muda melalui media sosialnya masing-masing sebagai bagian dari campaign.
Suara Anak Muda; Lebih dari Keberagaman Agama
Ahdiyat belum lama ini membagikan ceritanya menghadiri perayaan Natal Pemuda dan pelaksanaan RSD bersama korban terorisme di Desa Lembantongoa melalui akun Facebook pribadi yang menandai LIBU Muda. Ia bercerita betapa interaksi dalam agenda natal malah membuatnya ingin lebih mencintai agamanya, Islam. Sebagai yang juga memfasilitasi kegiatan RSD bersama korban terorisme, ia belajar untuk mencintai semua manusia tanpa pandang perbedaan.
Pesan kebaikan yang dibawa oleh LIBU Muda tidak hanya mengenai keberagaman agama. Seperti lirik yang saya kutip di awal tulisan, Ahdiyat membuat lagu mengenai seruan menjaga hutan Ranjuri, hutan tua di Sulawesi.
Bersama LIBU Perempuan, LIBU Muda turut menyuarakan penolakan kekerasan terhadap perempuan. LIBU Muda turut terlibat dalam agenda workshop mengenai penerapan alat audit gender dalam mencegah ekstremisme kekerasan yang diadakan LIBU Perempuan dan AMAN Indonesia. Mereka juga menghadiri advokasi untuk mencegah dan menangani perkawinan anak dalam rangka Hari Sumpah Pemuda.
LIBU Muda menjadi representasi anak muda yang memperjuangkan kesetaraan. Mereka mengkampanyekan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak bersama Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah dalam kegiatan 16HAKtP. Rekognisi atas komunitas ini juga membuat mereka diundang menjadi peserta dalam agenda pemerintah daerah, seperti BAWASLU
Dialog yang diinisiasi oleh Utho bertumbuh menjadi tunas komunitas muda yang akan menjaga perdamaian di Sulawesi Tengah. Ia terus berupaya merawat tunas ini dengan sering melakukan capacity building bagi anggota, di tengah tantangan manajemen waktu dan rendahnya minat organisasi di kalangan pemuda. Utho dan LIBU Muda seakan menegaskan, bahwa semangat perdamaian di Sulawesi Tengah masih memiliki masa depan.