Judul buku : Keberangkatan,
Penulis: NH. Dini,
Edisi cetakan-8: 2019,
Penerbit: Gramedia,
Jml.hlm: 199,
ISBN: 9789792258363
Kalau hari ini kita melihat banyak perempuan Indo yang hidup dengan bebas bahkan selayaknya perempuan asli Indonesia, fenomena tersebut berbanding terbalik dengan masa setelah kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, perempuan Indo, keturunan campuran Indonesia Belanda ditolak oleh warga setempat. Penolakan tersebut sejalan dengan perlakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka memilih untuk menjadi WNI atau pergi ke Belanda. Kenyataan pahit tersebut dilami oleh Elisa, yang memiliki nama lengkap Elisabeth Frisaart.
Elisa memiliki latar belakang yang cukup pelik, diwujudkan dengan kondisi kesenjangan keluarganya, termasuk ibunya. Sang ibu adalah perempuan yang gila harta dan tidak menyayangi anaknya. Hal itu dibuktikan dengan sikap yang diberikan oleh ibunya kepada Elisa. Kerap kali ia dipukul dan mendapatkan kekerasan. Bahkan ketika ia menjadi pramugari di GIA, semua hasil gaji diambil oleh ibunya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menatap di asrama dan membiayai semua kehidupannya sendiri.
Perjalanan dirinya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri cukup struggle. Gadis Indo cukup banyak mendapatkan penolakan sosial. Hampir dalam hidupnya, ia selalu menerima penolakan, dianggap sebagai perempuan yang memiliki pergaulan bebas, tidak memiliki keturunan yang jelas, dll. Di tengah hiruk pikuk stigma negatif pasca kemerdekaan kepada Belanda, menjadi Elisa sangat tidak mudah. Suara-suara bising dari luar tentang gadis Indo sangat tidak enak. Akan tetapi, beruntungnya Elisa memiliki sahabat karib yang bernama Lansih.
Masalah tersebut nyatanya juga berdampak terhadap keberadaan ayahnya. Dilahirkan dari ibu petualangan cinta, ia sendiri tidak mengetahui betul, siapa ayah kandungnya. pada pencarian masa lalunya itu, ia diingatkan dengan Talib, seorang seniman yang pernah tinggal bersama keluarganya, dan diketahui sebagai ayahnya. Talib adalah seorang pelukis handal yang karyanya luar biasa. Elisa mencari keberadaan Talib dengan susah payah. Semesta menuntunnya dengan pelbagai kemudahan yang dialami dan akhirnya mempertemukannya dengan Talib.
Sesampainya di rumah Talib, kondisinya lumpuh dan tidak bisa melakukan apapun sesuai dengan informasi yang didapatkan sebelumnya. Semua hidupnya terasa hancur dan tidak memiliki gairah untuk sembuh. Kedatangan Elisa menemui Talib menjadi babak baru dalam kehidupan Talib. ia mencoba membujuk ayahnya itu untuk berobat. Dengan segala usaha dan bantuan yang diberikan oleh Tuan Sayekti, sahabat karib Talib, seorang yang kaya harta, membuat Talib kembali normal dan bisa melukis kembali.
Masalah lain dalam diri Elisa adalah penolakan cinta yang dialaminya. Ia memiliki hubungan dengan Sukiharjito, laki-laki asal Solo yang menjadi bagian dari Istana. Sukoharjito masih saudara dengan Lansih. Dengan kondisi itu, Lansih sangat mendukung hubungan keduanya. Akan tetapi, hubungan tersebut kandas lantaran informasi yang beredar bahwa Sukoharjito akan menikah dengan keponakan ajudan presiden yang diketahui sudah hamil duluan.
Kabar tersebut membuat hidup Elisa hancur. Lansih mengunggapkan kekesalannya dalam kalimat berikut:
“..setelah terpaksa, mereka mengawini perempuan-perempuan itu. atau kalau perempuan itu mereka sukai sementara. Sampai pada suatu ketika, jika bosan, dicerai, cari lainnya,” kata Lansih.
Konon, orang-orang yang memiliki jabatan, khususnya orang-orang istana, kebanyakan laki-laki yang suka perempuan, meniduri banyak perempuan. Hal itu dirasakan oleh Elisa yang sempat memiliki hubungan dengan Sukoharjito tapi menolak untuk memberikan semua miliknya kepada laki-laki tersebut. Elisa adalah gadis Indo yang tetap memegang nilai-nilai baik itu. Ia tidak seperti kebanyakan gadis Indo lain yang tergerus arus pergaulan bebas. Ia hampir menyerah dengan kehidupannya karena ditinggal oleh Sukoharjito.
“Untuk mati, orang tidak memerlukan kepandaian maupun bakat istimewa. siapa pun dapat mati sewaktu-waktu dengan cara yang dikehendaki atau dipilihnya. Sebaliknya, untuk hidup, orang membutuhkan keberanian, kecakapan yang kadang-kadang luar biasa. Setiap hari banyak orang mati, dengan mudah tanpa usaha atau daya upaya. Tetap setiap hari berjuta-juta orang berjuang dengan susah payah untuk hidup.” (hlm.183).
Kalimat tersebut membuat Elisa memiliki kekuatan besar untuk hidup dan menjalani kehidupannya. Pemikiran yang dimiliki oleh Elisa tentang pernikahan dibantah keras oleh Lansih untuk meneguhkan kehidupannya di masa mendatang.
“perkawinan bukan satu-satunya tujuan hidup. Masing-masing kita wajib mencari pengisian yang sesuai dan sepadan guna mengimbangi kebutuhan jiwa. Oelh karenanya, cerita manusia tidak berakhir hanya pada perkawinan, jangan kau kira orang-orang yang telah kawin tidak mempunyai persoalan lagi dalam hidupnya.” (hlm.184)
Cerita Elisa adalah kisah panjang perjalanan pencarian jati diri seorang perempuan Indo yang memiliki banyak penolakan. Salah satu cara untuk diterima dan diakui menjadi bagian negara Indonesia adalah menikah dengan laki-laki Indonesia. Kisah pelik itu dirangkum oleh NH. Dini dengan utuh cukup ciamik menggambarkan kegelisahan seorang perempuan.