Tanggal 10 November 2021 lalu, film Penyalin Cahaya yang disutradarai oleh Wregas Bhatuneja memecahkan rekor meraih 12 penghargaan dalam acara Festival Film Indonesia. Bahkan raihan ini tercatat mengalahkan film apiklainnya, “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” yang dirilis 2017 lalu. Sayangnya, tak lama berselang dari pengumuman prestasi yang ditorehkan, film penyalin cahaya terganjal dugaan skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu krunya yang bernama Henricus PriaSetiawan.
Terlepas dari kontroversi yang membelut film dengan judul lain “photocopier” ini, film yang dibintangi Shenina Cinnamon tersebut menyuguhkan kisah sendu seorang mahasiswi tahun pertama yang menjadi korban pelecehan seksual tanpa ia sadari. Cerita sendiri terfokus pada perjuangan Suryani, atau yang akrab dipanggil ‘Sur’ sebagai anak baru di kampus. Di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarganya, Sur adalah anak yang rajin dan berprestasi. Tak ayal, ia mampu memperoleh beasiswa di awal tahun kuliah.
Sayangnya, nasib naas menimpa Sur ketika akan menghadapi sidang seleksi kelanjutan beasiswa. Ia datang terlambat dan tim seleksi kampus tiba- tiba membobardirnya dengan berbagai pertanyaan terkait selfie di akun media sosial Sur yang tengah mabuk di tengah pesta. Sur yang linglung pun kemudian mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin malam.
Betul, waktu itu ia memang datang ke pesta. Tapi, di sana ia tak mampu mengingat semua kejadian yang dialami karena sempat minum minuman keras dan mabuk, hingga tak sadarkan diri. Saat ia bangun, ia menyadari bahwa waktu yang ia miliki untuk datang tepat waktu pada sidang komisi beasiswa sangatlah terbatas. Di tengah kepanikan, ayahnya justru menghardiknya karena pulang dini hari dalam keadaan mabuk.
Sur bahkan sempat dihadang untuk naik motor oleh ayahnya, meski kemudian ia memutuskan untuk berangkat dengan kendaraan umum atas saran dari ibunya. Usai ‘dibantai’ habis-habisan oleh komisi beasiswa yang memandangnya sebagai mahaswi yang berperilaku kurang baik, Sur yang masih linglung pun kembali ke rumah dan mendapati ayahnya malah mengusir dirinya. Ia dianggap telah mempermalukan keluarga karena pulang dini hari dengan diantar taksi online yang menggedor-gedor pintu beberapa rumah untuk memastikan mana rumah Suryani.
Di tengah keterpurukan, Sur akhirnya memutuskan untuk menginap di kedai foto copy milik Amin, sahabatnya. Ia bertekad menginap di sana hingga teka-teki yang belum terselesaikan menemukan titik terang. Kejadian Sur sebagai korban pelecehan seksual memang memiliki alur yang menarik. Perlu diakui, puzzle siapa pelaku pelecehan seksual berhasil mendorong para penonton penasaran dan bertahan hingga film ini selesai.
Namun, sayangnya itu juga yang menjadi titik poin kelemahan film. Alih-alih memperlihatkan beban berlapis yang dialami oleh korban, film yang tak banyak melibatkan kalangan perempuan dari tim produksi ini justru gagal menggambarkan derita internal korban. Di film, Sur diperlihatkan amat kuat dan berani, ia bahkan mampu mengurai benang kusut kasus yang menimpa dirinya.
Tak hanya itu, jika menangkap film penyalin cahaya bulat-bulat, penonton mungkin akan melihat apa yang dialami oleh Sur karena dia sedang apes saja, sebab akar permasalahan kekerasan seksual hanya diperlihatkan lamat-lamat dan penyelesaiannya pun seakan buru-buru. Adegan pelaku dalam gerak teatrikal di penghujung film juga kurang greget dan terkesan dipaksakan sehingga tidak memberi ruang eksplorasi maksimal pada cerita yang membutuhkan penjelasan detail.
Tetapi, meski emosi korban pelecehan seksual tak tergali mendalam, “Penyalin Cahaya” mampu memuat pesan-pesan tersembunyi bagaimana kasus kekerasan seksual diatasi dengan cara 3M di negeri ini. 3M: Menguras, mengubur dan menutup, yang lebih familiar dengan kasus demam berdarah berkali-kali ditampilkan dalam adegan, tak hanya berhubungan dengan kondisi sakit adik Amin, sahabat Sur (diperankan oleh Chicco Kurniawan), tapi juga bermakna bahwa kasus kekerasan seksual seringkali menguras habis kondisi korban (baik fisik maupun mental).
Namun, penyelesaiannya hanya sebatas menutup dan mengubur kasusnya dalam-dalam. Tak heran, pada akhir film, seluruh korban dari pelaku yang telah muak akan sikap dari orang-orang di sekitar dan pihak kampus mengenai penegakan hukum akhirnya lebih mendayagunakan energinya untuk mengungkap kisah pilu mereka secara independen dengan bantuan mesin foto copy.
Sebab, korban pelecehan, seperti kata Alex Elle, seorang penulis dari Maryland Amerika Serikat, mereka bukanlah korban karena telah kuat berdiri dan tegar bercerita, mereka justru penyintas yang telah menghentak public dengan fakta pahit bahwa dunia tidak baik-baik saja.
thanks alot of information goodjobs