Fatima Seedat adalah salah satu pemateri yang hadir dalam International Converence KUPI II di UIN Walisongo Semarang. Di sesi plenary 1, aktifis sekaligus akademisi yang berasal dari Afrika Selatan tersebut menyampaikan paper dengan judul KUPI-Progress, Challenges and Responses Toward Gender Equality in The Muslim Community of South Africa. Bersama dengan tiga pemateri lainnya, Fatima Seedat menyampaikan keoptimisannya akan lahirnya otoritas keagamaan perempuan yang diawali dari Indonesia melalui KUPI.
Bukan tanpa alasan, kehadiran Fatima Seedat dalam forum pra KUPI tersebut berkaitan dengan focus kajiannya tentang praktik keagamaan dalam konteks komunitas muslim. Praktik keagamaan yang ada dalam KUPI merupakan fenomena pembaharuan pemikiran yang progresif. Dimana perempuan dalam kajian teks fikih literalis selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua. Namun dalam KUPI ini, otoritas perempuan diakui bahkan dalam hal keagamaan eksistensinya dipertimbangkan sebagai salah satu sumber pengambil keputusan.
Latar belakang Pendidikan dan Fokus Kajian
Fatima Seedat menempuh Pendidikan S1 di Universitas Toronto Canada dengan mengambil jurusan Religious Studies di tahun 1991. Pendidian Magister diselesaikan di African Gender Institute Universitas Cape Town RSA dengan mengambil Magister Social Sciences: Gender and Social Transformation di tahun 2004. Pada tahun 2014, Pendidikan doctor beliau selesaikan di Institute of Islamic Studeis McGill University Kanada dengan mengambil jurusan Islamic Law.
Selain menempuh Pendidikan formal, Fatima Seedat juga mengikuti berbagai kursus yang mendukung kajian keilmuannya. Antara lain: divorce mediation di Durban RSA, Monitoring and Evaluation di Mosaic International Ottawa Canada, DAWN International Feminis di Bangalore India, International Human Right Law di Nottingham University United Kingdom, dan Short Course in Islamic Law di Universitas Islam Pakistan.
Saat ini, Fatima Seedat menjabat sebagai kepala departemen African Feminist Studies di Universitas Cape Town sekaligus menjadi associate professor di African Feminist Studies di perguruan tinggi yang sama. Beliau tertarik dengan kajian seputar bagaimana manusia bisa hidup damai dan berdampingan di tengah perbedaan. Maka penelitian beliau banyak difokuskan pada kajian hukum, gender, seksualitas, dan juga praktik keagamaan yang ada di negara-negara muslim.
Latar belakang akademik yang bersifat interdisipliner tersebut menggabungkan studi agama, studi hukum kritis, dan filosofi feminis untuk mengeksplorasi bagaimana suatu komunitas dan individu menegosiasi perbedaan dan menjalankan praktik keagamaan. Dimana perbedaan dalam menjalankan praktik keagamaan tersebut akan membentuk realitas seksual dan juga reproduksi berkaitan dengan hak-hak perempuan.
Kajian Fatima Seedat bertujuan untuk membuka pembebasan ruang agama, bidaya, dan hukum untuk individu yang terpinggirkan di Afrika Selatan khususnya. Hal ini lantaran Afrika Selatan masih terbelakang dari sisi pemanusiaan perempuan dan juga masih menjalankan cara beragama konservatif yang merugikan perempuan.
Pendiri Shura Yabafazi
Selama ini, praktik yang terjadi di Afrika Selatan dan mungkin di negara lainnya juga adalah adanya otoritas keagamaan khusus laki-laki sehingga memunculkan penerapan hukum perkawinan dan perceraian yang tidak adil gender. Bahkan dalam hal beribadah, Afrika Selatan hanya memberikan ruang ibadah untuk laki-laki saja di ruang public. Adapun perempuan hanya boleh melaksanakan ibadah di dalam rumah saja.
Begitupula dalam praktik perkawinan, pembayaran mahar dianggap sebagai akad jual beli sehingga perempuan berada di bawah dominasi suami. Hubungan seksual yang seharusnya bisa dinikmati kedua belah pihakpun juga didominasi oleh pemenuhan kebutuhan seksualitas laki-laki. Bahkan kebebasan perempuan juga diatur oleh laki-laki.
Maka Fatima Seedat mendirikan Shura Yabafazi. Â Sebuah NGO di Afrika Utara yang berisikan kelompok individu yang berkomitmen untuk mempromosikan kesetaraan gender substantif bagi perempuan. Fokus utama perjuangan yang digaungkan Shura Yabafazi adalah mengenai hukum keluarga Islam. Fatima Seedat melalui Shura Yabafazi ingin menyampaikan bahwa nilai utama dari hukum keluarga Islam adalah kesetaraan.
Kampanye ini digalakkan melalui Shura Yabafazi untuk mewujudkan harapan bahwa hukum Islam memberikan keadilan bagi muslim. Pengalaman ketidakdilan yang dialami oleh perempuan di Afrika Selatan bukan karena hukum yang menghendaki demikian. Namun karena praktik keagamaan yang dikooptasi menggunakan pemahaman laki-laki dan menguntungkan laki-laki saja.