Friday, September 13, 2024
spot_img
HomeFigurFigur NasionalDesakralisasi Nyadran, Perempuan Krecek Men-tajdid Tradisi (II)

Desakralisasi Nyadran, Perempuan Krecek Men-tajdid Tradisi (II)

Ditulis oleh Nita Nurdiani, Fina Nihayatul, dan Ruby Kholifah

Kirmi, Perempuan Muda Pembaharu Tradisi 

Dilahirkan di dusun Krecek, Kirmi merasa bahwa menemani orang tua merupakan kewajiban anak yang tidak bisa digantikan. Tampaknya ini bukan saja keyakinan pribadi Kirmi, karena kenyataannya tidak banyak anak muda dari dusun krecek memutuskan untuk bermigrasi ke kota lain apalagi merantau mati di kota lain. Selain karena alasan cuaca panas di perkotaan, juga karena pesona kerukunan Dusun Krecek, memang tidak banyak ditemui di tempat lain. 

Kirmi sempat mengenyam pendidikan teologi agama Budha, tetapi juga belajar sedikit tentang keislaman. Ini yang membekali Kirmi untuk lebih baik dalam menjalin komunikasi dengan tetangganya yang muslim. Meskipun penduduk beragama Budha mendominasi dusun Krecek, tetapi hubungan harmonis mereka dengan umat muslim terjaga dengan baik. 

Atas pandangannya yang terbuka dan pembawaannya yang bisa diterima oleh kaum tua dan kaum muda, Kirmi dipilih sebagai ketua Sekolah Perempuan di Dusun Krecek. Keaktifan Kirmi di sebuah organisasi berbasis agama Budha bernama Wandani, memperluas jembatan komunikasi antara SP dengan organisasi ini. Kelas reguler sekolah perempuan juga membahas tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam segala forum. Dalam kehidupan nyata, justru partisipasi perempuan di Dusun Krecek, kurang mendapatkan perhatian, dan tidak dianggap penting oleh kaum perempuan sendiri, meskipun juga tidak ada aturan pelarangan. 

Tahun 2019, Kirmi bersama dengan AMAN Indonesia, mulai membicarakan pentingnya partisipasi perempuan dalam Nyadran, sebagai awal untuk membangun pondasi kepercayaan warga, terkait dengan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai aspek. Bahkan, ketika Kirmi didaulat sebagai ketua panitia Nyadran, ruang partisipasi perempuan semakin terbuka lebar. 

Kirmi tidak saja melibatkan perempuan, tetapi juga anak-anak muda di kampungnya. Bersama AMAN Indonesia, Ia menemui sejumlah pimpinan dan tetua Dusun Krecek untuk menyampaikan usulan pelibatan perempuan dan anak-anak muda. Saat Kirmi masih kecil, Nyadran adalah momen yang dirindukan oleh banyak anak-anak. Selain pesta rakyat dimana makanan tumpah ruah, para

orang tua biasanya juga membelikan baju baru untuk anak-anak, yang kemudian dipakai saat menghadiri ritual nyadran. 

Gebrakan Kirmi mendorongkan partisipasi perempuan dalam ritual Nyadran, membuka ruang-ruang partisipasi yang lainnya. Sekarang para ibu di kampungnya bisa dan diminta hadir di semua forum-forum warga yang berpotensi mengambil keputusan. Suara mereka mulai diperhitungkan. Bahkan saat pembentukan Satgas Covid 19, perempuan juga diberikan kepercayaan untuk menjalankan program “jogo tonggo” (menjaga tetangga). 

Partisipasi Perempuan dan Pembaharuan Tradisi Nyadran 

Tahun 2017 adalah tahun dimana Sekolah Perempuan Perdamaian membuka kelas reguler perdana di Dusun Krecek. Diawali dengan training mengenai perdamaian dan toleransi di tingkat kelurahan melibatkan perempuan-perempuan perwakilan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), organisasi-organisasi perempuan dan perwakilan dusun Krecek, Porot, dan Getuk. Hingga berdirilah SP Catur Manunggal yang diambil dari bahasa sanskerta. Catur berarti empat, manunggal artinya menyatu. Pada awalnya nama Catur Manunggal dipilih untuk menyatukan perempuan-perempuan di empat dusun tersebut. Namun kemudian, terdapat sedikit perubahan dimana pada akhirnya di desa Getas, terdapat dua Sekolah Perempuan, yaitu Sekolah Perempuan Catur Manunggal di dusun Krecek dan Sekolah Perempuan Kartini di dusun Porot. 

Pembelajaran di Sekolah Perempuan sangat bervariatif, mulai dari pengetahuan mengenai pendidikan gender hingga perempuan dalam perspektif agama-agama yang terangkum dalam pembelajaran modul dan didiskusikan di dalam kelas reguler. Selain sebagai ruang bertukar pengetahuan, Sekolah Perempuan hadir sebagai ruang berbagi pengalaman melalui curahan hati. Meskipun kemudian tidak semua orang memiliki kesempatan bercerita di hari yang sama, akan tetapi momen berbagi ini merupakan momen yang paling dinantikan. Melalui sesi ini, ibu-ibu di Dusun Krecek memiliki ruang dalam memperkuat sisterhood diantara mereka; menumbuhkan empati pada mereka yang lebih rentan hingga menerima keadaan orang lain tanpa penghakiman, 

Di sisi lain, budaya diskusi yang dibangun juga menguatkan kepercayaan diri dan karakter mereka. Ibu-ibu mulai lebih sensitif dalam mengambil keputusan, menalar apakah keputusan yang akan diambil akan mempengaruhi kehidupan mereka. Tidak hanya manut-manut saja. Tak lagi “ah kita mah perempuan ngga usah ikut-ikutan”. Melalui obrolan dan diskusi-diskusi itu, perlahan sensitifitas pada keterlibatan perempuan ini lekat dalam kehidupan dan mempengaruhi cara berpikir Ibu-ibu Krecek. Salah satu yang paling kentara misalnya refleksi Kirmi, mengenai mengapa perempuan tidak banyak berpartisipasi dalam ritual inti dalam kenduri, dan atau nyadran. 

Bagaimana dengan keluarga yang janda dan tidak memiliki anak laki-laki atau yang belum punya anak atau yang anaknya ngga ada di rumah. Jadi saya kepikiran, saya belum mendalami tapi masih dalam pemikiran saya supaya mereka juga ikut langsung terlibat” 

Refleksi Kirmi mengingatkan penulis mengenai daya kritis perempuan dan altruisme yang dibangun. Altruisme adalah sikap dalam kondisi konflik maupun non konflik, perempuan lebih sensitif melihat keadaan manusia lainnya, terutama sesamanya, kelompok rentan lainnya, perempuan dan anak-anak. Sikap altruistik Kirmi dibangun dari realitas hidup bahwa formasi keluarga di Dusun Krecek beragam dan tidak selamanya memiliki figur laki-laki. Pemaksaan hanya figur laki-laki yang

bisa menjadi representasi keluarga dalam rapat-rapat kampung, secara sistematis meminggirkan keluarga yang tidak memiliki bapak atau anak laki-laki, atau bahkan para perempuan yang anaknya tidak ada di rumah. 

Menurut penuturan Kirmi, ketika ia masih kanak-kanak, sebagai anak perempuan ia juga mengikuti rangkaian kenduri. Bahkan sebelum nyadran perdamaian, anak-anak perempuan juga tidak apa-apa ikut-ikutan dalam kenduri. Hal berbeda memang dialami perempuan yang telah dewasa, di sebagian besar kenduri keterlibatan mereka sebatas di belakang layar, mengurus dapur. Sementara di kondisi lainnya, jika dalam satu keluarga hanya terdapat satu laki-laki, maka akan ada ibu-ibu yang mengantarkan makanan untuk prosesi kenduri sampai ke lokasi. Namun, ketika acara inti berlangsung, mereka akan bersembunyi, tidak menampakkan diri dan sebisa mungkin tidak terlihat keberadaannya. Baru kemudian muncul kembali jika waktu makan bersama. 

Sejatinya, partisipasi perempuan dalam ritual-ritual dan tradisi keagamaan ini bukan dilarang, akan tetapi belum terbudaya. Dalam hal ini tradisi lokal tidak secara tegas menolak atau menganjurkan perempuan untuk terlibat dalam setiap sesi di rangkaian Nyadran. Pasalnya perbincangan mengenai keterlibatan perempuan tidak banyak dibuka. Di sisi lain, tidak ada teks di dalam agama budha maupun islam yang menjustifikasi pelarangan keterlibatan perempuan dalam kenduri. Namun, ketika akses mereka untuk terlibat di acara inti dibuka untuk pertama kali, tidak juga ada gunjingan yang menjadi tanda penghalang. Maka, tidak adanya kendala adat maupun agama atas keterlibatan perempuan ini menjadi peluang tersendiri untuk mengukuhkan keterlibatan perempuan. 

Melalui tangan-tangan perempuan seperti Kirmi, melibatkan perempuan dalam acara inti tradisi dan ritual keagamaan mulai dilakukan. Kondisi ibu-ibu yang lelah setelah berkecimpung di perapian dari awal memang bukan menjadi penghalang utama akan keterlibatan mereka dalam acara inti. Narasi kebersamaan dalam menggerakkan perempuan berpartisipasi menjadi hal penting yang dengan “ayo hadir rame-rame”, mendorong antusias dan keterlibatan lebih banyak perempuan dalam agenda nyadran. 

Hal ini ditandai sejak 2019, ketika Nyadran bertransformasi menjadi Nyadran Perdamaian. Transformasi ini melibatkan banyak kalangan, tua, muda, bahkan anak-anak, laki-laki hingga perempuan yang tak lagi terlewat. Meskipun di semua forum sebelumnya ibu-ibu selalu aktif dan hadir mendukung kenduri dan slametan, namun kali ini keterlibatan mereka menjadi lebih bermakna. Tidak hanya mensukseskan di belakang layar dengan menyajikan konsumsi, baik makanan ringan ataupun makanan berat, akan tetapi mereka juga turut menyiapkan hal lainnya. Terlebih lagi kehadiran mereka secara fisik di acara inti. 

Selain mengukuhkan partisipasi perempuan, Nyadran perdamaian juga membuka ruang partisipasi pemuda. Sebagian besar panitia dalam persiapan Nyadran Perdamaian tahun 2019 adalah mereka yang masih muda, muda dalam hal ini bukan berarti mereka yang belum menikah saja. Melibatkan orang-orang muda menjadi hal baik dalam rangka transfer pengetahuan mengenai tradisi, kearifan lokal, dan kebudayaan untuk dihidupi dan dilestarikan mengingat demografi dusun Krecek yang memiliki modalitas dimana tidak banyak penduduk asli yang merantau. 

Bersambung ke Part III

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments