Lika-liku proses penerimaan di masyarakat yang Obet upayakan dijalaninya dengan hati yang lapang. Sekali, dua kali, hingga puluhan kali penolakan yang dihadapi tak menyurutkan semangatnya untuk terus berusaha agar keluarga dan para jemaatnya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Meruntuhkan sekat dan menghapus prasangka. Berbagai strategi Obet dan para jemaat gereja lakukan untuk menyiasati agar terciptanya ruang perjumpaan antara umat Muslim dan Kristen. Baik pendekatan secara sosial, maupun kultural. Baik yang telah Obet pelajari dari orang tuanya, terutama mamah, maupun yang ia rancang sendiri.
Seperti yang telah diteladankan orang tua Obet. Setibanya di kampung, Obet “lapor diri” kepada Pak RT, Pak RW, atau tokoh yang dituakan di kampung. Sikap “lapor diri” ini sangat penting dilakukan bagi pendatang agar mencerminkan sopan santun terhadap sesamanya. Saat lebaran tiba, keluarga Obet pun turut suka cita menyambutnya. Bersalam-salaman dengan tetangga dan memberikan parsel kepada tokoh masyarakat.
Hal ini dilakukan agar antara umat Muslim dan Kristen dapat berbaur satu sama lain. Menghapus prasangka bahwa kehadirannya akan mengancam keyakinan masyarakat. Nyatanya tidak. Dengan turut serta menyambut hari raya agama lain, artinya perbedaan sudah tidak lagi diperdebatkan, melainkan adanya perbedaan untuk dirayakan bersama.
Selain merayakan keberagaman, Obet juga berupaya memperkuat kepekaan sosial. Ketika terjadi banjir di pemukiman warga, gereja di bawah kepemimpinan Obet menunjukkan respon cepat untuk membantu masyarakat yang terdampak banjir. Obet dan para jemaat membagikan sembako, pakaian layak pakai, makanan, dan kupon untuk berobat kepada masyarakat sekitar. Sebanyak 250 kupon berobat, 500 bungkus nasi, bisa ludes dalam waktu sehari. Siapapun boleh mendapatkan bantuan dari gereja, termasuk orang-orang yang sering berdemo mengganggu para jemaat beribadah.
Obet dan para jemaat tidak pandang bulu dalam urusan kemanusiaan. Melayani seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau agama. Bahkan, bantuan yang diberikan juga tidak terbatas untuk orang yang berdomisili di kampung tempat gereja berada, melainkan korban banjir di kampung tetangga juga mendapatkan bantuan.
Garda terdepan yang mengurus bantuan untuk korban banjir adalah ibu-ibu jemaat gereja. Mereka langsung mendirikan posko bantuan dan membuka dapur umum. Ketika memberikan bantuan seperti pakaian layak pakai, ibu-ibu jemaat sangat teliti untuk menyortir pakaian terlebih dahulu. Misalnya, baju atau celana seragam olahraga yang ada tanda salibnya tidak diberikan ke masyarakat. Hanya pakaian yang bersih dari tanda atau simbol Kristen yang didistribusikan untuk korban banjir.
Naluri kepekaan dan ketelitian yang cenderung dimiliki perempuan ini sangat membantu Obet dan para jemaat gereja lainnya, khususnya perempuan, untuk menghapus stigma ada misi Kristenisasi ketika umat Kristen tinggal di kampung, menghapus prasangka juga yang mengatakan umat Kristen itu kafir dan patut diperangi, sehingga selalu memupuk harapan dan semangat untuk mengupayakan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda di masyarakat.
Membuka Ruang-ruang Perjumpaan untuk Memadamkan Bara Api Intoleransi
Kepiawaian yang dimiliki pemimpin perempuan juga diperlihatkan Obet saat menghadapi respon jemaat ketika mengalami gangguan. Tidak jarang para jemaat, khususnya jemaat laki-laki, ikut terbawa emosi, merasa frustasi, bahkan berniat untuk menyudahi segala macam cara yang dilakukan untuk memperoleh penerimaan dari masyarakat. Bahkan, ada beberapa jemaat justru berniat untuk membalas penolakan dengan kekerasan. Namun, Obet meresponnya dengan tenang.
Karakter penyayang yang cenderung dimiliki perempuan menjadi kelebihan tersendiri dalam membangun ketahanan komunitas. Dengan tutur kata yang santun dan intonasi yang tenang, Obet mengingatkan para jemaat dengan ayat-ayat Tuhan yang menganjurkan untuk membalas keburukan dengan kebaikan. Memilih damai, tapi bukan berarti abai. Seluruh agama mengajarkan untuk berbuat baik, termasuk berbuat baik kepada orang yang telah melakukan keburukan sekalipun. Mengingatkan para jemaat untuk tidak menaruh bara api di kepala orang. Artinya, tidak membalas keburukan dengan keburukan yang lain. Sebuah petuah yang menjadi prinsip Obet memupuk kekuatan untuk dirinya sendiri dan para jemaatnya.
Sebaliknya, jemaat perempuan lebih memikirkan bagaimana cara merespon dengan tanpa menggunakan kekerasan. Mereka berpikir untuk membuat ruang atau kegiatan yang bisa dimanfaatkan bersama-sama masyarakat. Hal ini dilakukan untuk membuka ruang-ruang perjumpaan agar umat Kristen dan Islam bisa saling berinteraksi agar meruntuhkan dinding prasangka dan stigma yang mengakar kuat di masyarakat.
Terbentuklah kursus bahasa Inggris dan Matematika untuk anak-anak di kampung. Para mahasiswa jemaat gereja yang menjadi pengajar. Selain belajar Bahasa Inggris dan Matematika, ada juga perpustakaan yang menyediakan buku-buku islami dengan cover buku bergambar anak perempuan memakai jilbab dan peci, dan buku-buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya). Anak-anak kampung boleh meminjam buku dan membawanya pulang selama seminggu. Obet juga memastikan kursus dan perpustakaan tidak ada indikasi yang menguatkan stigma atau prasangka masyarakat terhadap umat Kristen. Kehati-hatian dan ketelitian yang cenderung dimiliki perempuan ini mampu untuk mencegah konflik di masyarakat semakin mengeras.
Komunitas Lintas Iman sebagai Solusi Melawan Intoleransi
Menurut hasil penelitian Setara Institute, Bogor dan Bandung menempati urutan 10 kota dengan indeks toleransi terendah di Indonesia. Bahkan, Jawa Barat masuk peringkat ke-2 dengan jumlah pelarangan kebebasan beragama dengan jumlah kasus terbanyak se-Indonesia. Bagaimana tidak, sikap intoleran ini tidak hanya datang dari masyarakat sipil saja, melainkan sikap pejabat daerahnya pun kerap kali menjadi sorotan.
Fakta ini sangat kontradiktif dengan kultur Sunda yang mengenal nilai-nilai kearifan lokal seperti silih asih (saling mengasihi atau menyayangi), silih asah (saling mengasah atau memberikan pengetahuan), dan silih asuh (saling mengayomi, saling menjaga, atau saling membimbing). Berangkat dari temuan ini, gerakan masyarakat sipil mulai masif mengadakan kegiatan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi di akar rumput, salah satunya melalui Youth Interfaith Camp dimana Obet menjadi salah satu tokoh yang terlibat di dalamnya.
Di tahun 2005, Obet menginisiasi lahirnya sebuah program yang bernama Youth Interfaith Camp (YIC) bersama Kang Wawan, Yunita, dan Soni. Belum banyak partisipan yang ikut, tetapi tetap Obet lakukan sekalipun ia dan para pencetus terlibat menjadi peserta juga.
Seiring berjalannya waktu, program YIC semakin dilirik kalangan anak muda. Obet juga mulai fokus membangun dan mengembangkannya. Di tahun 2011-2017, ia mendapatkan amanah sebagai program officer. Berbagai program digagas Obet untuk membuka ruang-ruang perjumpaan antar kelompok berbeda. Di samping YIC, ia juga menerapkan sejumlah program untuk remaja gereja, seperti Sahur on The Road.
Dengan bantuan dari para donatur, remaja gereja membelanjakan uang donasi untuk membeli bahan-bahan pangan. Mereka meminta bantuan ibu-ibu untuk memasak bahan-bahan yang telah mereka beli. Mereka lakukan kegiatan itu sampai menginap di gereja. Ketika tiba waktu sahur, mereka menyebar ke pasar dan ke jalan untuk bertemu dengan orang yang membutuhkan makanan sahur.
Obet menggagas program ini supaya anak-anak yang tumbuh dengan pengalaman menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama tidak memendam kebencian terhadap umat Islam. Ketika merayakan Natal bersama, Obet juga melakukan inovasi untuk memberikan santunan ke panti asuhan Islam, bukan Kristen, dengan melibatkan para jemaat gereja. Semua kegiatan dilakukan dengan melibatkan peran aktif dan bermakna anak muda.
Obet berharap nilai-nilai perdamaian bisa tumbuh subur dari apa yang telah ia tanamkan baik melalui YIC dan remaja gereja. Saat ini sudah banyak sekali alumni program YIC. Jumlahnya bisa mencapai ratusan. Beberapa dari mereka sudah mulai terbuka, tidak enggan berkunjung ke rumah ibadah agama lain seperti gereja, pura, masjid, vihara, dan lainnya. Banyak dari alumni YIC juga membentuk komunitas baru yang bergerak di isu keberagaman. Bahkan, ada salah satu alumni yang menjadi wartawan Internasional. Ide-ide Obet selalu bermunculan untuk menggemakan perdamaian di lingkungan sekitar. Ketika satu cara belum berhasil ditempuh, selalu ada ribuan cara lainnya untuk bisa membangun perdamaian.
Buah dari Upaya Menentang Intoleransi yang Tanpa Henti
Berbagai cara berdiplomasi dilakukan Obet. Mulai dari pendekatan sosial dengan lapor diri ke ketua RT, RW, atau orang yang ditokohkan ketika tiba di kampung sebagai pendatang, berbaur bersama masyarakat menyambut lebaran, bersilaturahmi ke tetangga dan berbagi kue saat natal, membentuk kelompok belajar untuk anak-anak, hingga kegiatan kemanusiaan yang dilakukan saat banjir datang.
Pendekatan sosial ini juga cerminan dari kultur Indonesia yang ramah dan gotong royong kepada sesamanya, terutama tetangga. Pendekatan sosial yang acap kali Obet lakukan ini lambat laun mulai menghapus prasangka di masyarakat. Meskipun jumlahnya masih sedikit, tetapi cukup membantu Obet dan para jemaat gereja untuk bisa merdeka dalam beribadah. Apalagi jika penerimaan itu datang dari tokoh masyarakat, seperti Pak RT, salah satu yang mulai memberikan tanda-tanda penerimaan.
Pernah suatu kali ketika masyarakat mulai mempersoalkan suara-suara dari gereja yang datang dari para jemaat yang sedang beribadah, Pak RT mencoba membela dengan memberitahukan pada masyarakat bahwa, “Mereka sedang rapat atau latihan paduan suara saja.” Ucapan Pak RT itu cukup ampuh menahan masyarakat untuk tidak mengganggu para jemaat yang sedang beribadah. Meskipun tak jarang juga Pak RT masih mendapat tekanan dari masyarakat sekitar jika menampakkan keberpihakannya kepada para jemaat gereja, setidaknya ada secercah harapan untuk mewujudkan penerimaan terhadap kelompok berbeda. Sekalipun prosesnya masih panjang.
Masih kuatnya penolakan di masyarakat yang berbuntut pada perampasan hak kebebasan beragama di Dayeuhkolot-Bandung, membuat para jemaat penasaran apa faktor yang mempengaruhi ideologi masyarakat, sehingga mereka enggan menerima perbedaan. Padahal, apa yang masyarakat khawatirkan misalnya tentang misi Kristenisasi itu tidak bisa dibuktikan. Selama 54 tahun umat Kristen menetap di sana, tidak ada satupun warga yang berpindah keyakinan. Kalaupun ada, alasan warga berpindah keyakinan karena pernikahan, bukan kegiatan khusus yang dilakukan jemaat gereja.
Tanda tanya besar ini mengantarkan Obet untuk melakukan penelitian di kampung tentang faktor apa yang melatarbelakangi masyarakat sulit menerima kelompok berbeda dan apa faktor yang menguatkan pemahaman ini mengakar di masyarakat. Begitupun mengapa nilai toleransi sulit ditanamkan di masyarakat, nilai apa yang sebenarnya mempengaruhi ideologi masyarakat, dan sebagainya. Gagasan penelitian ini disambut dengan antusiasme yang tinggi dari para jemaat gereja.
Namun untuk saat ini, Obet harus bertahan dengan perjuangan menumbuhkan nilai-nilai perdamaian di masyarakat senyatanya tidak mudah. Perlu kegigihan, ketangguhan, dan kesabaran. Keterlibatan perempuan dalam membangun perdamaian juga sangat diperhitungkan. Lewat pendekatan perempuan yang afektif dan persuasif, peran perempuan mesti ada di garda terdepan dalam membangun ketahanan masyarakat. Obet bersikeras untuk terus berjuang dengan kesadaran bahwa upaya yang saat ini dilakukan kelak bisa dituai oleh generasi selanjutnya.***